Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Tari Tidak Memandang Perbedaan Status Sosial dan Agama

9 Agustus 2019   07:29 Diperbarui: 9 Agustus 2019   07:51 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Sanggar Tari "Giyan Laksita" Cilacap

SEBELUM mengalami perkembangan, seni tari yang merupakan seni adiluhung karena memiliki unsur tuntunan dan tatanan tersebut hanya menjadi tontonan para piyayi keraton. 

Beberapa jenis seni tari keraton yang mengandung unsur tuntunan filosofis yang dapat ditangkap melalui irama, gerak, komposisi, rasa, dan ekspresi penari, di antaranya: Bedhaya, Serimpi, dan Golek.

Banyak ragam tari Bedhaya, di antaranya: Bedhaya Sumregdi (Kesultanan Ngayogyakarta), Bedhaya Ketawang dan Bedhaya Semang (Kasunanan Surakarta), Bedhaya Anglir Mendhung (Praja Mangkunegaran), dan Bedhaya Tejanata (Kadipaten Pakualaman). 

Selain masih terdapat beberapa jenis tari Bedhaya, yakni: Bedhaya Sapta, Bedhaya Suryasumirat, Bedhaya Arjuna Wijaya, Bedhaya Hagorama, Bedhaya Angron Sekar, dan lain-lain.

Sementara, tari Serimpi yang digubah oleh beberapa raja di Kasunanan Surakarta, antara lain: Serimpi Anglir Mendhung (karya Sunan Pakubuwana IV), Serimpi Tameng Gita (karya Sunan Pakubuwana VIII), Serimpi Gandakusuma (karya Sunan Pakubuwana IX), Serimpi Sukarsih (karya Sunan Pakubuwana VIII), Serimpi Sangupati (karya Sunan Pakubuwana IX), Serimpi Lobong (karya Sunan Pakubuwana IX), Serimpi Glondhong Pring (karya Sunan Pakubuwana IX), dan Serimpi Ludira Madu (karya Sunan Pakubuwana V).

Uraian di muka menunjukkan bahwa seni tari semula digubah oleh koreografer istana yang hanya boleh disaksikan oleh raja, keluarga dan kerabat raja, punggawa, dan tamu agung keraton. 

Karena tidak diperkenankan menyaksikan tari keraton, koreografer di luar istana mencipta karya tari yang dapat disaksikan masyarakat biasa. Sehingga muncullah seni tari: Tayub, Lengger, Kudalumping, Reyog, Dolalak (Angguk), dll. 

Karena keterbatasan pengetahuan filosofis dan koreografis, koreografer dari luar istana hanya menciptakan karya yang cenderung sebagai tontonan tanpa memedulikan unsur tuntunan dan tatanan.

Seirama perjalanan waktu, tari keraton yang terikat dengan tatanan dan tuntunan mengalami stagnasi kreativitas. Sementara, tari di luar istana yang sekadar untuk tontonan justru mengalami perkembangan yang sangat dinamis. 

Terlebih ketika muncul pendidikan formal (sekolah atau kampus) dan pendidikan informal (sanggar) yang memiliki perhatian khusus terhadap kehidupan seni tari. Melalui sekolah, kampus, atau sanggar; banyak koregrafer dan penari dilahirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun