Sesudah kemangkatan Jayanagara, Gayatri mengangkat Dyah Gitarja (Tribhuwana Wijayatunggadewi) menjadi raja Majapahit (1328-1350). Semasa pemerintahannya, muncul praktik makar dari wilayah Sadeng dan Keta. Oleh Adityawarman dan Tribhuwana sendiri, makar itu berhasil dibasmi.
Pada tahun 1350, Tribhuwana Wijayatunggadewi mengundurkan diri sebagai raja untuk menjabat sebagai anggota Sapthaprabhu. Sebagai pengganti raja adalah Hayam Wuruk. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), terjadi peristiwa berdarah akibat Perang Bubat. Perang antara pasukan Majapahit di bawah komando Rakryan Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada dan pasukan Sunda di bawah pimpinan Maharaja Linggabuana. Perang itu muncul karena Linggabuana tidak bersedia menuruti perintah Gajah Mada agar Dyah Pitaloka Citraresmi diserahkan pada Hayam Wuruk bukan sebagai istri, melainkan sebagai tanda takluk Sunda pada Majapahit.Â
Paska pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami masa surut. Semasa kekuasaan Wikramawardhana (1390-1428), terjadi Perang Paregrek. Perang saudara antara Wikramawardhana (Majapahit Barat) dengan Bhre Wirabhumi (Majapahit Timur) pada tahun 1404. Perang itu mengakibatkan gugurnya Bhre Wirabhumi di tangan Bhra Narapati atau Raden Gajah (1406).
Selain Perang Bubad, Perang Paregreg, dan makar; Majapahit di masa pemerintahan Dyah Kertawijaya (1447-1451) diwarnai dengan pembunuhan penduduk Tidung Gelating oleh Bhre Paguhan (putra Bhre Tumapel). Peristiwa kelam pun menimpa Dyah Kertawijaya. Menurut Serat Pararaton, Dyah Kertawijaya turun tahta sesudah dikudeta dan dibunuh oleh Rasajawardhana yang kemudian menjadi raja Majapahit pada tahun 1451-1453. Sepeninggal Rajasawardhana, Majapahit dalam kekosongan pemerintahan (1453-1456).
Semasa pemerintahan Dyah Suprabhawa (1466-1474), Majapahit kembali dilanda kemelut politik. Dyah Suprabhawa terpaksa meninggalkan tahta kekuasaannya untuk melarikan diri ke Dayo atau Daha sesudah tidak berdaya menghadapi kudeta yang dilakukan Bhre Kertabhumi. Sesudah Dyah Suprabhawa meninggalkan istana, Bhre Kertabhumi naik tahta sebagai Raja Majapahit dengan ibukota di Majakerta (1474-1478).
Berakhirnya masa pemerintahan Bhre Kertabhumi karena pemberontakan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (putra Dyah Suprabhawa), berakhir pula Riwayat Majapahit dengan ibukota Majakerta. Oleh Dyah Ranawijaya yang kemudian menjadi raja, pusat pemerintahan Majapahit dipindahkan dari Majakerta ke Daha.
Kesultanan Demak  Â
Eksistensi Majapahit sebagai kerajaan yang pernah berjaya sebagai negeri gemilang di nusantara pun berakhir. Manakala kekuasaan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dapat dihancurkan oleh pasukan Kesultanan Demak semasa pemerintahan Raden Patah (1478-1518). Semasa Daha yang berstatus kadipaten itu melakukan makar terhadap Demak, Sultan Trenggana berhasil membasminya pada tahun 1527.
Pada tahun 1546, Sultan Trenggana tewas dibunuh oleh putra Adipati Surabaya yang masih kecil. Sebagai pengganti sultan Demak adalah Raden Mukmin (Sunan Prawata). Sebagaimana Sultan Trenggana, Sunan Prawata pun turun tahta karena dibunuh oleh Rangkut. Utusan dari Arya Penangsang (adipati Jipang) yang berbalas dendam karena Pangeran Kikin ayahnya tewas dibunuh Surayata (suruhan Sunan Prawata) saat terjadi sengketa perebutan kekuasaan Demak paska pemerintahan Patiunus (1521).
Terbunuhnya Sunan Prawata menimbulkan konflik antara Adipati Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) dan Arya Penangsang untuk menjadi raja di tanah Jawa. Berkat keberhasilan Pemanahan, Penjawi, Juru Mrentani, dan Danang Sutawijaya ketika mengikuti sayembara "Penggal Kepala Arya Penangsang" dari Ratu Kalinyamat, Adipati Hadiwijaya menjadi raja di Kesultanan Pajang (1549-1582).
Kesultanan Pajang  Â
Ketika Kesultanan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya relatif aman. Hanya saja Sultan Hadiwijaya berhadapan dengan sikap politis Danang Sutawijaya (Panembahan Senapati) yang tidak mau datang ke Pajang untuk menyerahkan upeti pada raja. Sikap politis Danang Sutawijaya yang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka semakin nyata ketika mengirim para mantri pajak untuk merebut Tumenggung Mayang beserta istrinya yang akan dibuang oleh Sultan Hadiwijaya ke Semarang.
Karena pembelotan Danang Sutawijaya semakin nyata, maka Sultan Hadiwijaya beserta pasukan Pajang menyerang Mataram. Sesampai di Prambanan, pasukan Pajang itu dihadang oleh paskan Mataram hingga terjadilah perang pada tahun 1582. Dalam perang itu, pasukan Pajang mengalami kekalahan. Sepulang dari berperang, Sultan Hadiwijaya gering dan tidak lama kemudian mangkat. Paska kemangkatan Sultan Hadiwijaya, Pajang dikuasai oleh Arya Pangiri (adipati Demak) yang merupakan menantu Sultan Hadiwijaya dan putra Sunan Prawata pada tahun 1583-1586.