Bila mengacu pada Serat Pranitiradya, urutan raja-raja Majapahit adalah Jaka Sesuruh (Prabu Bratana), Prabu Brakumara, Prabu Brawijaya I, Ratu Ayu Kencanawungu, Prabu Brawijaya II, Prabu Brawijaya III, Prabu Brawijaya IV, dan Prabu Brawijaya V.
Sementara fakta sejarah menyebutkan bahwa raja-raja Majapahit adalah Dyah Wijaya, Jayanagara, Tribhuwana Wijayatunggadewi, Hayam Wuruk, Wikramawardhana, Sri Suhita, Dyah Kertawijaya, Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, Girishawardhana Dyah Samarawijaya, Bhre Kertabhumi, dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Lebih jauh tilik tabel: Nama, Gelar, dan Masa Pemerintahan Raja-Raja Majapahit di bawah ini:
Bila dibandingkan dengan fakta sejarahnya, penyebutan raja-raja Majapahit versi Serat Pranitriradya terkesan sekadar karangan dan tidak benar. Pendapat ini berdasarkan analisa, sebagai berikut:
Bila Bhrawijaya memiliki makna Bhathra, Baginda, atau Raja Wijaya; seharusnya Dyah Wijaya sebagai Brawijaya pertama. Â Tetapi naskah tersebut justru menyebut Dyah Wijaya sebagai Jaka Sesuruh atau Prabu Bratana.
Bila para penguasa Majapahit yang menggunakan gelar Bhawijaya (Bhra Wijaya) sejumlah lima raja, namun fakta sejarahnya sebanyak enam raja, yakni: Dyah Wijaya, Tribhuwana Wijaya-tunggadewi, Kerta-wijaya, Rasajawardhana Dyah Wijayakumara, Girishawardhana Dyah Samarawijaya, dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Sementara, Dyah Wijaya dan Tribhuwana Wijaya Tunggadewi tidak termasuk Brawijaya I sampai V.
Sebagaimana Babad Tanah Jawa dan Serat Darmagandhul, Serat Pranitiradya pula memiliki penafsiran yang salah tentang Brawijaya V yang diidentikkan dengan Bhre Kertabhumi. Karena selain tidak memiliki unsur nama Wijaya, Bhre Kertabhumi bukan Raja Majapahit terakhir, melainkan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Berpijak pada penjelasan di muka, Serat Pranitiradya tidak bisa dianggap sebagai sumber terpercaya mengenai sejarah Majapahit. Dikarenakan naskah tersebut bernuansa fiktif yang setara dengan Babad Tanah Jawa, Serat Darmagandhul, dan Serat Kandha.Â
Dinyatakan demikian, karena naskah-naskah tersebut di dalam meriwayatkan Majapahit tidak bersumber pada fakta sejarah, melainkan dari karangan dan tutur tinular di lingkup masyarakat.[Sri Wintala Achmad]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H