Pengalaman unik keempat bahwa mencipta puisi hingga diakui sebagai penyair, menurut Gentong HSA, membutuhkan waktu 10-15 tahun. Awal mula saya tidak memercayai pendapat tersebut. Tetapi ketika saya mulai disebut oleh Suwarno Pragolapati dan Suminto A. Sayuti sebagai penyair sesudah berproses kreatif selama 13 tahun (1984-1997), barulah saya meyakini kebenaran pendapat Gentong. Sejak itu, saya menyebut Gentong sebagai guru. Â Â Â Â Â Â
Pengalaman unik kelima dalam penciptaan puisi. Semula diungkapkan bahwa awal saya mencipta puisi karena benci dengan buku sejarah. Tetapi faktanya sekarang, buku sejarah yang mencukupi kebutuhan ekonomi saya dan bukan puisi. Bahkan melalui buku sejarah, saya dapat melangsungkan proses kreatif saya di bidang puisi sampai kini. Mengingat untuk membeayai kreativitas dan produktivitas karya puisi, saya menggunakan sebagian honorarium (royalti) dari penulisan buku sejarah.
Dalam proses kreatif di bidang cerpen, saya pula memiliki pengalaman unik. Semasa Minggu Pagi diasuh redaktur Hadjid Hamzah, beberapa cerpen saya tidak dimuatnya. Menurut Hadjid, bukan lantaran cerpen-cerpen tersebut buruk, namun sedikit berbau pornografis. Karena teguran pembaca itulah, Hadjid akan memuat cerpen saya selama tidak berbau pornografis. Sungguhpun waktu itu belum terbit Undang-Undang Pornografi yang berkaitan dengan sastra.
Lain ketika berproses kreatif di bidang puisi atau cerpen, lain pula ketika berproses kreatif di bidang novel. Ketika menyelesaikan novel Jaman Gemblung pada bagian kematian Ranggawarsita, saya mencium aroma kemenyan Jawa yang bersumber dari luar rumah. Namun sesudah saya keluar rumah, aroma kemenyan Jawa itu lenyap serupa tersapu angin.
Begitulah pengalaman-pengalaman unik dan mistik yang saya alami selama merambah rimba sastra. Karena keunikan dan kemistikannya, beberapa pengalaman tersebut tidak bisa saya lupakan. Di samping, beberapa pengalaman tersebut menjadi bagian dari proses kreatif saya yang sesungguhnya juga unik.
Pesan bagi Calon SastrawanÂ
Sebagai calon sastrawan yang ingin berhasil dalam merintis karirnya sebagai sastrawan harus berbekal kedisiplinan. Setiap hari, calon sastrawan harus meluangkan waktu untuk mencipta karya. Artinya, calon sastrawan tidak menunggu mood, melainkan harus mencipta karya sastra dengan waktu terjadwal.
Hendaklah di dalam menjadwal waktu mencipta karya sastra tidak berbenturan dengan waktu melakukan aktivitas penting lainnya. Misal, bila kita menggunakan waktu siang untuk kuliah atau sekolah, maka gunakan waktu sore atau malam untuk mencipta karya sastra.
Dengan menjaga intensias dalam penciptaan bukan hanya akan melahirkan banyak karya sastra, melainkan pula dapat melahirkan karya sastra berkualitas. Bukankah pisau yang tumpul akan menjadi tajam bila terus diasah? Bukankah mata air akan didapat bila terus menggali lubang tanah?
Karenanya untuk dapat melahirkan karya sastra berkualitas, calon sastrawan bukan semata mengandalkan bakat, melainkan pula kesetiaan terhadap proses kreatif. Hanya dengan kesetiaan dan kedisiplinan, calon sastrawan akan mampu menciptakan karya berstandar kualitatif.
Agar karya dikenal dan dibaca publik, calon sastrawaan harus memublikasikannya baik ke media cetak maupun media sosial. Dengan demikian, calon sastrawan kelak tidak hanya dikukuhkan eksistensinya sebagai sastrawan, melainkan pula akan mendapat honorarium dan popularitas. Namun untuk mendapatkan semua itu tidak mudah. Karenanya, jangan menyerah sebelum berhasil memublikasikan karya. Jangan pula berhenti mencipta karya sastra. Karena, karya sastra akan menjadi warisan abadi yang tidak ternilai harganya sesudah penciptanya mati. [ ]