Pembaca pula harus diyakinkan bahwa cerpen yang merupakan kisah fiktif tersebut sebagai cerita faktual. Di sinilah keberhasilan suatu cerpen yang mengindikasikan bahwa cerpenis adalah seorang pembohong profesional.
Ketiga, mengakhiri cerpen dengan memberi kejutan logis pada pembaca. Sehingga ending yang ditebak pembaca pada awal membaca cerpen berbanding terbalik. Misal, pembaca menebak cerpen akan berakhir happy ending, namun berakhir sad ending; pembaca memastikan tokoh A yang mengalami kecelakaan lalu lintas meninggal, namun dapat diselamatkan; dll.Â
Selain itu, saya selalu mengakhiri cerpen dengan ending menggantung serta menyisipkan pesan moral yang tidak menggurui. Hal ini dimaksudkan, agar pembaca selalu mengenang cerpen saya.
Pada tahap revisi dan penyempurnaan ketika saya mencipta cerpen sama ketika saya mencipta puisi. Maka, saya tidak perlu lagi menjelaskan secara panjang lebar mengenai kedua tahap terakhir dalam penciptaan cerpen tersebut. Bukankah sesuatu yang  sudah jelas akan memuakkan bila dijelaskan lagi?
Proses Kreatif dalam Novel
Teori Six Steps yang saya terapkan ketika mencipta puisi atau cerpen, pula saya gunakan ketika mencipta novel. Perbedaannya terletak pada cara di dalam mendapatkan gagasan.Â
Di mana, cara untuk mendapatkan gagasan yang akan dituang ke dalam novel tidak sesederhana ketika memburu gagasan untuk puisi atau cerpen. Karena selain pengamatan dan mendengar orang-orang yang bercerita atau berdialog; saya harus melakukan penelitian, membaca buku, dan kelayapan ke suatu tempat yang akan menjadi setting dalam novel tersebut.
Selain lebih kompleks, cara mendapatkan gagasan untuk novel dibilang lebih berat. Dikatakan demikian, ketika gagasan tersebut harus saya dapatkan dengan ngelayap ke lokalisasi pelacuran atau makam angker. Sungguhpun begitu, saya terpaksa melakukannya demi lahirnya novel yang berdasarkan data valid. Bukan karya yang lahir dari imajinasi atau karangan murni.
Ketika saya akan mencipta novel pengembaraan Cebolang dalam "Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011), saya melakukan kelayapan di beberapa lokalisasi pelacuran. Di lokasi pelacuran tersebut, saya ingin mendapatkan informasi mengenai penyakit sipilis yang pernah diderita tokoh Cebolang dalam Serat Centhini.
Menurut informasi yang saya peroleh dari beberapa Pekerja Seks Komersial (PSK), bahwa penyakit kelamin tersebut cenderung disebarkan seorang lelaki hidung belang. Mengingat para PSK selalu mendapat perawatan rutin dari tim kesehatan.Â
Dari sini, saya memerkirakan bahwa PSK pada era Cebolang belum mendapatkan perawatan kesehatan. Sehingga Cebolang yang melakukan seks bebas ketika Mataram di bawah kendali Sultan Agung tersebut tertular penyakit sipilis.