Berdasarkan catatan sejarah, bahwa seni tari keraton yang sampai sekarang masih dilestarikan di Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunegaran, Kesultanan Ngayogyakarta, dan Kadipaten Pakualaman merupakan warisan Kesultanan Mataram.Â
Mengapa seni tari tersebut dilestarikan? Karena seni tari tersebut mengandung tuntunan (pendidikan) filsafat melalui gerak, irama, rasa, dan ekspresi dari para penarinya.
Sampai sekarang, seni tari yang tetap dijaga kemurniannya yakni tari Bedhaya, Serimpi, dan Golek. Kedua tarian itu dianggap paling sakral dibanding dengan tari-tari yang lain. Karena kesakralannya tersebut, para penari Bedhaya dan Serimpi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.
Menurut Sylvain Levi dalam bukunya "Theatre Indien", para penari Bedhaya dan Serimpi harus memenuhi 2 persyaratan, antara lain: pertama, mengenal cerita rakyat, legenda daerah, sajak, dan pengetahuan mengenai lakon-lakon utama. Kedua, mengenal sejarah tanah air, makna dari setiap intonasi, dan naik turunnya gamelan yang semuanya terdapat dalam cerita-cerita kuna.
Tari Bedhaya
Terdapat banyak ragam tari bedhaya. Di Kesultanan Ngayogyakarta, terdapat tari Bedhaya Sumregdi. Di Kasunanan Surakarta, terdapat tari Bedhaya Ketawang dan Bedhaya Semang.Â
Di Praja Mangkunegaran, terdapat tari Bedhaya Anglir Mendhung. Di Kadipaten Pakualaman, terdapat tari Bedhaya Tejanata. Selain itu, masih terdapat beberapa jenis tari Bedhaya, antara lain: Bedhaya Sapta, Bedhaya Suryasumirat, Bedhaya Arjuna Wijaya, Bedhaya Hagorama, Bedhaya Angron Sekar, dll.
Sebagai salah satu jenis tari keraton, tari Bedhaya dianggap tarian yang sakral. Karenanya tari Bedhaya yang terdiri dari 9 penari wanita itu harus ditampilkan di hadapan seorang raja.Â
Di mana ketika raja tengah diwisuda, berulang tahun, atau melakukan perayaan-perayaan yang lain. Sungguhpun demikian, tari bedhaya dapat ditampilkan di luar istana. Akan tetapi, penarinya tidak berjumlah 9, melainkan 7 atau 6 penari.
Berdasar jumlah penarinya yang "9", Bedhaya ditangkap sebagai karya tari adiluhung yang mengajarkan tentang kesempurnaan hidup manusia.Â
Mengingat angka "9" melambangkan kesempurnaan manusia sebelum mengalami keparipurnaan (mati) yang dilambangkan dengan angka "0". Angka "9" pula melambangkan jumlah warna pelangi (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, infra merah, ultra violet); jumlah planit yang ada di alam semesta (merkurius, venus, bumi, mars, yupiter, saturnus, urnaus, neptunus, dan pluto).
Dan jumlah cakra di dalam diri manusia (cakra mahkota/sahasra yang terletak di ubun-ubun, cakra ajna yang terletak di antara kedua mata, cakra tenggorokan/vishudda yang terletak di tenggorokan, cakra jantung/anahata yang terletak di tengah dada.
Cakra pusar/manipura yang terletak di pinggang atau perut, cakra seks/svadisthana yang terletak di bawah perut, cakra dasar/maludara yang terletak di antara alat kelamin dan anus, dan kedua cakra lainnya yang terletak di telapak tangan kanan dan kiri).
Terdapat suatu pendapat yang berbeda, bahwa 9 penari dalam tari bedhaya melambangkan manusia beserta anggota badannya, yakni: batak (jiwa dan pikiran), jangga/gulu (leher), dada, endhel ajeg (nafsu/hasrat), apit ngarep (lengan kanan), apit mburi (lengan kiri), buncit (simbol organ seks), endhel weton (kaki kanan), dan apit meneng (kaki kiri).
Secara filosofis, sembilan penari dalam tari bedhaya menyimbolkan 9 arah mata yang dikuasai 9 dewa, yakni: utara dikuasai Sang Hyang Bathara Wisnu, timur laut dikuasai Sang Hyang Bathara Sambu, timur dikuasai Sang Hyang Bathara Iswara, tenggara dikuasai Sang Hyang Bathara Mahasora.
Selatan dikuasai Sang Hyang Bathara Brahma, barat daya dikuasai Sang Hyang Bathara Rudra, barat dikuasai Sang Hyang Bathara Mahadewa, barat laut dikuasai Sang Hyang Bathara Sengkara, dan tengah dikuasai Sang Hyang Bathara Siwa. Selanjutnya 9 arah mata angin itu menyimbolkan mikrokosmis (jagad alit) dan makrokosmis (jagad ageng).
Tari SerimpiÂ
Berbeda dengan tari bedhaya. Tari Serimpi tidak dimainkan oleh 9 penari wanita, melainkan 4 penari wanita. Terdapat banyak ragam tari Serimpi, di antaranya: Â Serimpi Anglir Mendhung (karya Sunan Pakubuwana IV), Serimpi Tameng Gita (karya Sunan Pakubuwana VIII), Serimpi Gandakusuma (karya Sunan Pakubuwana IX).
Serimpi Sukarsih (karya Sunan Pakubuwana VIII), Serimpi Sangupati (karya Sunan Pakubuwana IX), Serimpi Lobong (karya Sunan Pakubuwana IX), Serimpi Glondhong Pring (karya Sunan Pakubuwana IX), Serimpi Ludira Madu (karya Sunan Pakubuwana V), dll.
Dari masing-masing tari serimpi memiliki perbedaan dalam hal tata rambut, tata busana, dan senjata yang digunakan. Namun semua tari serimpi terkesan mengadopsi cerita dalam Babad Menak dan terdapat gerakan ngleyang.Â
Perubahan posisi dari berdiri ke berlutut disertai gerakan melengkungkan badan ke belakang samping kanan, yang terlihat hendak jatuh pingsan.
Secara filosofis, jumlah 4 penari wanita dalam tari serimpi melambangkan 4 arah mata angin, yakni: utara, timur, selatan, dan barat. Selain itu, jumlah 4 penari wanita dalam tari serimpi melambangkan 4 unsur alam, yaitu: hagni (api), maruta (udara), tirta (air), dan bantala (tanah).
-Sri Wintala Achmad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H