Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menguak Filosofi Jawa dalam Tari Bedaya dan Serimpi

10 Mei 2018   20:35 Diperbarui: 10 Mei 2018   21:23 2895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: wisatajawa.com

Berdasarkan catatan sejarah, bahwa seni tari keraton yang sampai sekarang masih dilestarikan di Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunegaran, Kesultanan Ngayogyakarta, dan Kadipaten Pakualaman merupakan warisan Kesultanan Mataram. 

Mengapa seni tari tersebut dilestarikan? Karena seni tari tersebut mengandung tuntunan (pendidikan) filsafat melalui gerak, irama, rasa, dan ekspresi dari para penarinya.

Sampai sekarang, seni tari yang tetap dijaga kemurniannya yakni tari Bedhaya, Serimpi, dan Golek. Kedua tarian itu dianggap paling sakral dibanding dengan tari-tari yang lain. Karena kesakralannya tersebut, para penari Bedhaya dan Serimpi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.

Menurut Sylvain Levi dalam bukunya "Theatre Indien", para penari Bedhaya dan Serimpi harus memenuhi 2 persyaratan, antara lain: pertama, mengenal cerita rakyat, legenda daerah, sajak, dan pengetahuan mengenai lakon-lakon utama. Kedua, mengenal sejarah tanah air, makna dari setiap intonasi, dan naik turunnya gamelan yang semuanya terdapat dalam cerita-cerita kuna.

Tari Bedhaya

Terdapat banyak ragam tari bedhaya. Di Kesultanan Ngayogyakarta, terdapat tari Bedhaya Sumregdi. Di Kasunanan Surakarta, terdapat tari Bedhaya Ketawang dan Bedhaya Semang. 

Di Praja Mangkunegaran, terdapat tari Bedhaya Anglir Mendhung. Di Kadipaten Pakualaman, terdapat tari Bedhaya Tejanata. Selain itu, masih terdapat beberapa jenis tari Bedhaya, antara lain: Bedhaya Sapta, Bedhaya Suryasumirat, Bedhaya Arjuna Wijaya, Bedhaya Hagorama, Bedhaya Angron Sekar, dll.

Sebagai salah satu jenis tari keraton, tari Bedhaya dianggap tarian yang sakral. Karenanya tari Bedhaya yang terdiri dari 9 penari wanita itu harus ditampilkan di hadapan seorang raja. 

Di mana ketika raja tengah diwisuda, berulang tahun, atau melakukan perayaan-perayaan yang lain. Sungguhpun demikian, tari bedhaya dapat ditampilkan di luar istana. Akan tetapi, penarinya tidak berjumlah 9, melainkan 7 atau 6 penari.

Berdasar jumlah penarinya yang "9", Bedhaya ditangkap sebagai karya tari adiluhung yang mengajarkan tentang kesempurnaan hidup manusia. 

Mengingat angka "9" melambangkan kesempurnaan manusia sebelum mengalami keparipurnaan (mati) yang dilambangkan dengan angka "0". Angka "9" pula melambangkan jumlah warna pelangi (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, infra merah, ultra violet); jumlah planit yang ada di alam semesta (merkurius, venus, bumi, mars, yupiter, saturnus, urnaus, neptunus, dan pluto).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun