Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Otobiografi 2] Penciptaan Novel Sejarah, dari Kelayapan hingga Aroma Kemenyan

18 April 2018   00:26 Diperbarui: 18 April 2018   14:46 1906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Indra Tranggono (cerpenis dan pengamat budaya) dan R. Toto Sugiharto (novelis). Foto Abdul Azis Sukarno

Mengantitesa Serat Centhini

Membaca Serat Centhini yang disusun oleh R.Ng Ranggasutrasna, R.Ng Yasadipura II, dan R.Ng Sastradipura, Pangeran Jungut Manduraja, dan Kyai Mohammad di bawah koordinasi Raden Mas Sugandi (Sri SusuhunanPakubuwana V) yang berlatar belakang sejarah Kesultanan Mataram di era pemerintahan Sultan Agung; saya menangkap bahwa tokoh Centhini sekadar menyimbolkan sosok perempuan berpredikat babu yang tidak memiliki kemerdekaan penuh.

Sampai dalam persoalan jodoh, Centhini pun harus mengikuti perintah Syekh Amongraga (Jayengresmi) untuk menikah dengan Monthel (nama asli: Buras). Seorang abdi yang mengikuti pelarian Jayengsari dan Niken Rancangkapi (adik Jayengresmi) ketika Giri Parapen ditaklukkan oleh sepasang panglima perang Kesultanan Mataram -- Pangeran Pekik dari Surabaya (menantu Sultan Agung) dan Ratu Pandansari (putri Sultan Agung).

Dok. Araska Publsher.
Dok. Araska Publsher.
Melihat realitas getir nasib Centhini dalam Serat Centhini gubahan pujangga Surakarta tersebut, saya menangkap sebagai laku prihatin dari seorang babu yang kelak menuai buah termanisnya. Berdasarkan persepsi tersebut, saya mencipta novel Centhini: Perempuan Sang Penakluk di Langit Jurang Jangkung (Araska Publisher, 2012).

Novel yang mengisahkan tentang perjuangan Kinanthi atau Nyi Sendhang Klampeyan (tokoh baru yang saya munculkan dan tidak ada dalam Serat Centhini), anak perempuan Centhini dan Monthel, yang menjadi guru di Desa Jurang Jangkung sesudah suntuk menuntut ilmu pada Jayengresmi (putra Ki Bayi Panurta) dan melaksanakan laku spiritual dengan tapa kungkum 40 malam 40 hari di Sendhang Klampeyan.

Melalui novel tersebut, saya ingin menunjukkan bahwa derajat manusia akan terangkat bila melakukan prihatian. Sungguhpun yang memetik buahnya bukan orang tua kandungnya, melainkan anak keturunannya. Pendapat ini dibenarkan oleh orang-orang tua yang sering melakukan prihatian.

Melalui novel Centhini: Perempuan Sang Penakluk di Langit Jurang Jangkung, saya sengaja melakukan antitesa terhadap naskah Centhini yang cenderung memosisikan perempuan sebagai kanca wingking (obyek penderita lelaki). Karenanya melalui novel tersebut, saya menjunjung martabat tokoh-tokoh perempuan, seperti: Ratu Pandansari, Niken Rancangkapti, Niken Tambangraras, Centhini, Dewi Kilisuci, Ganda Arum, dan Kinanthi sebagai manusia pemberani, pejuang, dan imansipator nasib kaumnya.

Penciptaan novel Centhini: Perempuan Sang Penakluk di Langit Jurang Jangkung yang saya lakukan bukan sekadar bertujuan untuk membuat antitesa terhadap peran perempuan dalam Serat Centhini, melainkan pula untuk menyelaraskan realitas kehidupan perempuan pada zamannya.

Di mana di zaman modern, perempuan senantiasa menolak untuk menjadi kancawingking dan sekadar sebagai obyek eksploitasi kaum pria. Akan tetapi, perempuan modern cenderung sebagai sosok pemberani, pejuang, pembaharu, dan imansipator. Sehingga kedudukan antara kaum perempuan dan kaum pria adalah sederajat.

Pengalaman Mistik

Dari semua yang saya kemukakan di atas sekadar bagian dari proses kreatif saya selama menulis novel sejarah (berlatar belakang sejarah). Namun selama menulis novel sejarah, tidak ada pengalaman yang paling menarik selain pengalaman mistik yang tidak pernah saya lupakan sampai sekarang. Pengalaman mistik itu muncul, ketika saya sedang menyelesaikan novel Zaman Gemblung. Novel biografi R.Ng. Ranggawarsita III.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun