Menurut juru kunci (tidak perlu saya sebutkan namanya), kalau R.Ng. Ranggawarsita III merupakan putra Prabu Brawijaya (tidak menyebut Brawijaya ke berapa) sang raja Majapahit. Sebagai peziarah yang baik, saya yang pernah membaca literatur bahwa R.Ng. Ranggawarsita III (Bagus Burham) bukan putra Prabu Brawijaya melainkan putra Sudiradimeja (R. Ng. Ranggawarsita II) dan Pajangswara itu hanya mengiyakan.
Dari sini, saya berpikir kalau setiap makam tokoh penting dalam sejarah Jawa (Nusantara) ditunggui oleh seorang juru kunci yang buta sejarah, maka peziarah awam akan terjebloskan ke dalam kesesatan sejarah.Â
Lain juru kunci makam R.Ng. Ranggawarsita III, lain pula juru kunci makam R.Ng. Ngabehi Yasadipura I (Bagus Banjar) dan R. Ng. Yasadipura II (Mas Pajangwarsita/Tumenggung Sastranagara/R.Ng. Ranggawarsita I) di Pengging, Boyolali, Jawa Tengah.
Juru kunci makam yang melek sejarah itu mengisahkan kepada saya tentang hubungan R.Ng. Yasadipura I dan R.Ng. Yasadipura II dengan R.Ng. Ranggawarsita III sesuai dengan yang saya baca dalam buku sejarah. Di mana R.Ng. Yasadipura I merupakan kakek buyut R.Ng. Ranggawarsita III, dan R.Ng. Yasadipura II merupakan kakek R.Ng. Ranggawarsita III. Pengisahan juru kunci tentang silsilah R.Ng. Ranggawarsita III baru benar dan tidak menyesatkan.
Kembali pada proses penciptaan Centhini: Malam Ketika Hujan. Hal paling menarik ketika sedang mencipta novel Centhini: Malam Ketika Hujan, saya melakukan klayapan sambil mengandaikan diri sebagai tokoh Mas Cebolang (putra Syekh Akadiyat dari Padhepokan Sokayasa di kaki Gunung Bisma).
Mendatangi salah satu tempat ziarah di Yogyakarta sebagaimana pernah dikunjungi oleh Mas Cebolang beserta empat orang santri Sokayasa, yakni: Palakarti, Kartipala, Saloka, dan Nurwiti.
Sisi menariknya saat klayapan di beberapa tempat ziarah, saya mulai tahu bahwa sudah terdapat beberapa tempat ziarah yang mirip Gunung Kemukus. Beberapa tempat ziarah itu bukan hanya didatangi para peziarah asli, namun pula para pelacur atau peselingkuh.Â
Fakta ini yang kemudian menginspirasi saya untuk membumbui novel Centhini: Malam Ketika Hujan dengan kisah petualangan seks Mas Cebolang dan peziarah perempuan berstatus janda. Tentu saja hubungan seks antara Mas Cebolang dengan janda itu tidak dilakukan di makam yang masih dianggap sakral (takut kuwalat), melainkan di rumah si janda. Â
Selain tempat-tempat ziarah, saya juga melakukan klayapan ke lokalisasi-lokalisasi liar. Hal ini sekadar ingin mengetahui tentang penyakit kelamin 'sipilis' sebagaimana yang diderita Mas Cebolang. Menurut salah seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) yang saya temui di salah satu lokalisasi liar di Yogyakarta, bahwa penyakit kelamin 'sipilis' itu ditularkan pertama kali oleh lelaki hidung belang. Bukan dari seorang PSK. Mengingat seluruh PSK selalu mengontrolkan kesehatan kelaminnya secara rutin.
Dari sini, saya dapat mengatakan bahwa di era Mas Cebolang, banyak PSK yang tidak memiliki kesadaran akan kesehatan kelaminnya. Selain itu, belum ada Dinas Kesehatan yang melakukan kontrol secara intensif terhadap kesehatan para PSK yang menjadi penghuni lokalisasi-lokalisasi liar.
Dari proses penciptaan novel satu ke novel lainnya yang saya tempuh melalui klayapan ke tempat-tempat ziarah maupun lokalisasi liar tersebut kiranya tidak hanya berguna untuk melengkapi data dalam penciptaan novel, melainkan pula dapat memberikan pengetahuan baru serta pengalaman menarik, unik, dan terkadang getir yang sangat bermanfaat bagi saya di dalam proses kreatif di bidang garap kesusastraan.