Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bintang-bintang yang Berjatuhan di Pangkuan

16 April 2018   23:23 Diperbarui: 16 April 2018   23:29 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.suratkabar.id/10285/news/wow-akan-banyak-fenomena-alam-yang-terjadi-di-bulan-ini-fenomenanya-yaitu-baca-ini

Sejak dipecat dari pabrik tekstil karena diduga mencuri kain dari gudang, Mahmud bekerja sebagai tukang aduk pocokan di proyek bangunan. Terkadang ia berangkat seminggu, libur sebulan. Tekadang dapat menafkahi keluarganya sebulan, namun sering memaksanya perihatin tiga bulan.

Melihat Mahmud sering tampak linglung di teras rumah, tetangga kiri-kanannya merasa iba. Terlebih saat Surti mencaci-makinya sesudah dua minggu tidak memberikan uang belanja. SPP bulanan anaknya yang selalu nunggak. Listrik di rumahnya yang disegel PLN karena telat melunasi iuran bulanan.

Menanggung beban hidup yang semakin berat, Mahmud sering berpikir buruk untuk bunuh diri. Namun pikiran buruknya itu ditepis jauh-jauh, berkat petuah Kyai Naswan usai salat tarwih di surau. "Jangan suka berpikir buruk! Kamu akan tersesat di jalan iblis. Berpikirlah positif! Karena kamu akan mendapat cahaya Tuhan. Sekarang, pulanglah! Banyaklah mendarus Qur'an!"

Mahmud keluar dari surau. Pulang ke rumah yang diterangi lampu minyak. Duduk di kursi bambu untuk merenungkan petuah Kyai Naswan. Tanpa menjenguk istrinya yang telah mendengkur, ia melangkah ke senthong. Usai mendarus Qur'an, Ia serasa bertemu dengan Tuhan-nya yang sekian lama tersingsal di bilik hati.

Malam senyap. Mahmud mensujudkan tubuhnya serupa huruf ya'. Menadahkan kedua tangannya sebentuk bunga teratai. Memohon petunjuk pada Tuhan-nya. Di antara jaga dan tidur, ia menyaksikan bintang-bintang yang mengambang di langit berjatuhan di pangkuannya.

***

Menjelang adzan subuh berkumandang dari surau, Mahmud terbangun. Usai salat subuh, ia kembali tidur. Belum sejam memejamkan mata, Surti membangunkan. "Dicari Pak Darsuni, Kang."

Mahmud bangkit dari ranjang kayu. Tanpa membasuh muka di sumur yang bersebelahan dengan dapur, ia menuju ruang tamu. "Ada apa, Pak Dar?

"Apakah hari ini kamu tak ada kerjaan?"

"Bukankah Bapak tahu, kalau aku lama menganggur?"

"Kalau kamu sedang nganggur, aku menawarkan pekerjaan. Merehap teras rumah Pak Nasri."

"Sungguh, Pak? Apapun pekerjaannya, aku siap melaksanakan."

"Kalau begitu, mandilah! Kita berangkat sekarang."

Mahmud meninggalkan ruang tamu. Memasuki kamar mandi. Membasuh tubuh. Berganti pakaian. Sesudah memasukkan pakaian kerja di dalam ransel, ia keluar rumah. Membonceng motor Darsuni. Menuju rumah Pak Nasri. Anggota DPRD yang tersohor karena pelitnya.

***

Sabtu sore. Langit di mata Mahmud tampak cerah. Hatinya berbunga-bunga, saat menerima upah enam hari sebagai tukang aduk. Dengan girang, ia memasukkan amplop putih berisi tiga lembar uang ratusan ribu ke dalam saku celana kerjanya. Karena mengejar waktu buka, ia berpamitan pada Pak Nasri. Pulang ke rumah.

Setiba di halaman rumah, Mahmud merasa seperti pahlawan yang pulang membawa kemenangan. Disambut ceria di depan pintu oleh Surti yang tengah menunggu waktu buka. Waktu untuk menikmati hidangan yang dibeli di warung dengan uang pinjaman dari Kyai Naswan.

Bergegas Mahmud ke kamar mandi untuk membasuh tubuh yang berlepotan bekas adukan semen, pasir, kapur, dan remukan batu bata. Mengenakan sarung, baju, dan peci. Berkumpul dengan Surti dan anaknya di ruang tamu yang sering dijadikan sebagai ruang makan. "Berapa hutang kita pada Kyai Naswan?"

"Seratus duapuluh lima ribu."

Mahmud beranjak dari kursi. Kembali ke kamar mandi. Di mana celana kerjanya menggantung di cantelan. Wajahnya pasi. Pandangannya berkunang-kunang. Sesudah ia mengetahui kalau amplop gajiannya raib di dalam kantong celana kerjanya yang bolong. Sebelum kembali ke ruang tamu, ia terjatuh pingsan.

Melihat Mahmud pingsan, Surti berteriak meminta tolong. Tetangga kiri-kanan berdatangan. Mereka saling pandang, saat seorang lelaki asing yang baru turun dari mobil menggotong Mahmud untuk dibaringkan di ranjang. Mengusap-usapkan minyak kayu putih ke leher dan kaki Mahmud yang basah keringat dingin.

Tetangga kiri-kanan masih bertanya-tanya tentang siapa lelaki yang memberi pertolongan pada Mahmud. Sebagian mereka menduga, kalau ia adalah juru penolong. Sebagian lainnya mengatakan, kalau ia adalah malaikat yang diturunkan Tuhan di bumi manusia pada setiap bulan Ramadhan.

Tengah malam, Mahmud siuman. Surti yang semula mencemaskan keadaan suaminya itu tampak senang. Melihat wajah istrinya yang menyerupai purnama di ufuk timur, ia heran. "Kenapa kamu tampak senang, Surti? Padahal kalau tahu kabar yang akan aku sampaikan, kamu pasti marah. Amplop gajianku terjatuh di jalan."

"Lupakan, Kang! Itu bukan rezeki kita." Surti memberikan dua amplop besar pada Mahmud dengan tangan bergetar. "Itu pemberian Pak Achmad yang menolong kamu sewaktu pingsan."

"Pak Achmad? Achmad, siapa?"

"Pimpinan pabrik tekstil, di mana kamu pernah bekerja."

Bergegas Mahmud membuka amplop pertama. Mengetahui uang THR lima juta di amplop itu, ia serasa terlempar ke negeri mimpi. Ia semakin berbunga-bunga hatinya seusai membuka amplop kedua. Amplop berisi surat resmi yang menyatakan ia dipanggil kembali sebagai karyawan, karena tidak terbukti mencuri kain dari gudang. Dalam rasa syukur paling puncak, ia teringat kembali tentang bintang-bintang di langit yang berjatuhan di pangkuannya.

-Sri Wintala Achmad-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun