Solusi
Berpijak pada beberapa faktor penyebab tidak berkembangnya sasrtra Jawa di muka, kita dapat merumuskan solusi yang perlu diambil. Solusi yang bisa ditawarkan yakni melibatkan partisipasi kreator, masyarakat, pemerintah, lembaga pendidikan, dan media baik cetak maupun digital untuk pro aktif di dalam mengembangkan sastra Jawa.
- Partisipasi kreator bisa berupa meningkatkan intensitas dalam berkarya sertia kualitas karya.
- Partisipasi masyarakat yakni untuk gemar membaca karya sastra Jawa yang nilai-nilainya dapat membangun suatu peradapan manusia.
- Partisipasi pemerintah yakni menerbitkan media berbahasa Jawa baik cetak (termasuk buku) maupun elektronik dengan penghargaan yang lebih baik terhadap para kreatoer yang karya-karyanya terpublikasikan.
- Partisipasi lembaga pendidikan adalah menjadikan sastra Jawa sebagai mata pelajaran wajib yang mengarah agar siswa mencintai sastra Jawa.
- Partisipasi media cetak yang menghadirkan karya-karya sastra Jawa berstandar kualitatif senantiasa terbit dalam tempo waktu tidak terlalu lama, semisal seminggu 2 kali. Sementara, media digital semisal web, situs, atau blog bisa menampilkan karya-karya sastra Jawa terbaru pada setiap harinya.
Kompasiana dan Harapan
Berbicara mengenai media digital dalam konteks sebagai media pengembangan sastra Jawa tidak dapat dilepaskan dengan blog. Berbicara melalui blog, tidak dapat dilepaskan dengan beberapa blog baik blog pribadi maupun blog kroyokan. Berbicara blog kroyokan tidak dapat dilepaskan dengan Kompasiana.
Sebagai pengguna blog yang ingin berpartisipasi dalam pengembangan sastra Jawa, saya ragu ketika ingin mengungah cerita cekak (cerkak) di Kompasiana. Keraguan itu muncul dari pertanyaan, "Apakah Kompasiana berkenan menampilkan cerkak? Kalau bersedia, apakah kompasianer sudi membaca cerkak?"
Dari fakta inilah, saya mulai yakin bahwa Kompasiana peduli terhadap sastra Jawa. Sungguhpun karya sastra Jawa dimungkinkan tidak akan menjadi artikel utama dikarenakan seluruh kompasianer bukan berasal dari Jawa yang dapat memahami karya sastra Jawa.
Sunggupun demikian, muncul pertanyaan saya selanjutnya, "Akankah Kompasiana sanggup menjadi media sosialisasi karya sastra Jawa dengan sepenuh hati?" Seandianya sanggup, Kompasiana bisa menerapkan langkah-langkah, sebagai berikut:
- Membuka ruang khusus dengan kategori Sastra Jawa yang terdiri dari geguritan, cerkak, novel berbahasa Jawa, dongeng, dll.
- Tidak membeda-bedakan kategori Sastra Jawa dengan kategori lain, seperti: Fiksiana, Ekonomi, Politik, Humaniora, Muda, Wisata, Regional, Culinary, dll. Pengertian lain, karya sastra Jawa yang diunggah di Kompasiana berhak menjadi Artikel Utama.
- Ketentuan karya sastra Jawa untuk menjadi Artikel Utama harus memenuhi standar kualitatif. Karenanya, Kompasiana harus memiliki editor khusus yang benar-benar memahami kualtias karya.
- Agar menarik perhatian bagi kreator sastra Jawa yang masih berhelat dengan media cetak sebagai ruang publikasi karya-karyanya, Kompasiana perlu membuka blog kompetisi penciptaaan karya sastra Jawa. Bisa geguritan, cerkak, atau dongeng.
Apa yang saya uraikan di muka hendaklah ditangkap sebagai harapan kepada Kompasiana agar berperan sebagai media sosialisasi yang prospeknya dapat menggeliatkan kembali kehidupan sastra Jawa.
Apabila harapan ini dapat terealisasi, saya percaya bahwa Kompasiana akan mampu merekrut kompasianer baru yang terdiri para kreator sastra Jawa. Sehingga peran Kompasiana sebagai ruang publikasi berbagai genre karya tulis tidak hanya dirasakan para penulis berbahasa Indonesia, namun pula penulis berbahasa Jawa. Suatu bahasa yang menurut catatan National Encyklopedin 2007 digunakan oleh 1,25% penduduk dunia.
-Sri Wintala Achmad-