Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Kompasiana" sebagai Media Pengembang "Sastra Jawa", Mungkinkah?

13 April 2018   20:18 Diperbarui: 13 April 2018   21:33 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "SASTRA Jawa mengalami sekarat."

Ungkapan di muka sering saya dengar sewaktu mengikuti diskusi dan saresehan sastra Jawa. Tetapi, benarkah sastra Jawa mengalami sekarat, paling tidak serupa kakek jompo yang berdiri di lubang kuburnya? Jika "benar", apa alasannya? Jika "tidak", apa dalihnya?

Kalau mencermati fakta bahwa sastra Jawa tidak mengalami perkembangan signifikan baik berhubungan dengan kuantitas kreator maupun media, maka penyataan "Sastra Jawa mengalami sekarat" bisa dibenarkan. Namun, sastra Jawa belum bisa disebut mati total. Mengingat terdapat beberapa kreator sastra Jawa yang masih mencipta (memublikasikan) karyanya di beberapa media berbahasa Jawa, seperti: Jayabaya, Penyebar Semangat, Sempulur, Pagagan, Swaratama, Jaka Lodang, dan Mekarsari.

Sungguhpun demikian, realitas kehidupan sastra Jawa yang berkelindan dengan nasibnya sangat memrihatinkan. Hal ini yang kemudian memunculkan gagasan untuk memecahkan persoalan tersebut. Agar persoalan tersebut dapat dipecahkan, perlu dicari terlebih dahulu akar penyebab yang sangat mendasar.

Permasalahan 

Menangkap realitas keterpurukan nasib sastra Jawa tidak cukup turut prihatin atau berbela sungkawa, namun harus berupaya mengentaskannya. Sebelum melakukan pengentasan, perlu dicari faktor permasalahan yang berkelindan dengan keterpurukan nasib sastra Jawa.

slideshare.net
slideshare.net
Menurut hemat penulis, beberapa faktor permasalahan tersebut meliputi:

Bahasa, penulisan, kreator, dan honorarium

Tidak berkembangnya sastra Jawa dikarenakan mencipta karya sastra Jawa tidak semudah yang dibayangkan. Selain dituntut menguasai bahasa Jawa ngoko atau krama madya, calon kreator diharuskan dapat menulis karya dengan baik dan benar. Di samping itu, kreator juga harus memiliki keahlian dalam mencipta berbagai jenre karya, semisal: geguritan, cerita cerkak, ceriba sambung, atau novel.

Bagi calon kreator yang telah mampu mencipta karya dengan memenuhi standar kualitatif hingga mendapat predikat "Pernggurit", "Cerpenis Jawa", atau "Novelis Jawa" akan berpikir ulang di dalam mengembangkan proses kreatifnya.  Mengingat honorarium dari hasil karya-karyanya yang dimuat di media massa tidak sesuai harapan.

Selain itu, banyak penerbit cenderung menolak terhadap naskah sastra Jawa yang kurang diminati publik. Fakta ini yang merupakan biang keladi terhadap ketidakberkembangnya kuantitas kreator dan sekaligus kuantitas (kualitas) karya sastra Jawa.

Media dan pembaca (masyarakat)

Diakui bahwa kuantitas media massa yang memuat karya sastra Jawa di lingkup kehidupan masyarakat Jawa seperti di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur masih di bawah standar. Beberapa majalah Jawa berkala yang masih peduli dengan sastra Jawa, yakni: Jaka Lodang, Jaya Baya, dan Penyerbar Semangat. Mekarsari yang semula berupa majalah, kini sekadar suplemen koran Kedaulatan Rakyat. Sementara majalah bahasa Jawa di bawah naungan pemerintah, seperti: Sempurlur (Dinas Kebudayaan Yogyakarta), Pagagan (Balai Bahasa Yogyakarta), dan Swaratama (Balai Bahasa Jawa Tengah).

Dengan kuantitas majalah bahasa Jawa yang sangat jauh dari harapan menunjukkan bahwa majalah tersebut kurang diminati pembaca (masyarakat). Akibatnya penerbitan majalah tersebut dilakukan secara berkala. Hal ini yang menyebabkan para kreator tidak intens dan tidak fokus di dalam penciptaan karya sastra Jawa semata.

Dengan kuantitas majalah bahasa Jawa yang sangat minim serta penerbitannya yang berkala, dan lagi tidak adanya penerbit mayor bersedia menerbitkan karya sastra Jawa merupakan faktor penghambat  berkembangnya sastra Jawa baik kuantitas dan kualitas karya maupun kuantitas kreator.

Budaya 

Di masa sekarang, banyak orang tua berkomunikasi dengan anaknya dengan menggunakan bahasa Indonesia, bukan dengan bahasa Jawa. Akibatnya banyak generasi muda tidak suka menggunakan bahasa Jawa yang mereka anggap kolot itu sebagai media komunikasi.

Jauh sebelumnya, orang tua cenderung mengajarkan anak-anak untuk menjadi pendengar pasif melaui dongeng-dongeng yang dikisahkan ambang tidur. Fakta ini juga bisa menjadi penyebab generasi muda lebih menyukai budaya lisan ketimbang budaya baca dan tulis.

Dari dua fakta tersebut bisa ditangkap sebagai salah satu faktor kendala terhadap berkembangnya sastra Jawa. Mengingat generasi muda mulai tidak bangga dengan bahasa Jawa, apalagi membaca dan mencipta karya sastra Jawa yang mereka anggap kampungan.

Pemerintah 

Peran pemerintah terhadap kehidupan sastra Jawa mulai tampak, sungguhpun belum maksimal. Fakta tentang perhatian pemerintah terhadap kehidupan sastra Jawa dengan terbitnya majalah bahasa Jawa Sempulur, Pagagan, dan Swaratama. Bila dilihat dari penampilan majalahnya serta honorarium yang diberikan pada kreator tidak mengecewakan.

Akan tetapi, ketiga majalah tersebut masih terbit dengan oplah terbatas dan terbit secara berkala. Akikbatnya banyak pecinta sastra Jawa tidak dapat membaca karya-karya baru yang dimuat di majalah tersebut. Kalau toh bisa, mereka harus menunggu dalam waktu relatif lama.

Solusi

Berpijak pada beberapa faktor penyebab tidak berkembangnya sasrtra Jawa di muka, kita dapat merumuskan solusi yang perlu diambil. Solusi yang bisa ditawarkan yakni melibatkan partisipasi kreator, masyarakat, pemerintah, lembaga pendidikan, dan media baik cetak maupun digital untuk pro aktif di dalam mengembangkan sastra Jawa.

https://www.slideshare.net/RifdaLatifa
https://www.slideshare.net/RifdaLatifa
Adapun partisipasi dari kreator, masyarakat, pemerintah, lembaga pendidikan, dan media tersebut, sebagai berikut:
  • Partisipasi kreator bisa berupa meningkatkan intensitas dalam berkarya sertia kualitas karya.
  • Partisipasi masyarakat yakni untuk gemar membaca karya sastra Jawa yang nilai-nilainya dapat membangun suatu peradapan manusia.
  • Partisipasi pemerintah yakni menerbitkan media berbahasa Jawa baik cetak (termasuk buku) maupun elektronik dengan penghargaan yang lebih baik terhadap para kreatoer yang karya-karyanya terpublikasikan.
  • Partisipasi lembaga pendidikan adalah menjadikan sastra Jawa sebagai mata pelajaran wajib yang mengarah agar siswa mencintai sastra Jawa.
  • Partisipasi media cetak yang menghadirkan karya-karya sastra Jawa berstandar kualitatif senantiasa terbit dalam tempo waktu tidak terlalu lama, semisal seminggu 2 kali. Sementara, media digital semisal web, situs, atau blog bisa menampilkan karya-karya sastra Jawa terbaru pada setiap harinya.

Kompasiana dan Harapan

Berbicara mengenai media digital dalam konteks sebagai media pengembangan sastra Jawa tidak dapat dilepaskan dengan blog. Berbicara melalui blog, tidak dapat dilepaskan dengan beberapa blog baik blog pribadi maupun blog kroyokan. Berbicara blog kroyokan tidak dapat dilepaskan dengan Kompasiana.

Sebagai pengguna blog yang ingin berpartisipasi dalam pengembangan sastra Jawa, saya ragu ketika ingin mengungah cerita cekak (cerkak) di Kompasiana. Keraguan itu muncul dari pertanyaan, "Apakah Kompasiana berkenan menampilkan cerkak? Kalau bersedia, apakah kompasianer sudi membaca cerkak?"

Kompasiana
Kompasiana
Sebagai uji coba dan tanpa memedulikan pertanyaan itu, saya memberanikan diri untuk mengungah cerkak di Kompasiana. Hasilnya positif. Terbukti beberapa karya saya ditandai oleh penjaga gawang Kompasiana sebagai naskah pilihan. Antara 100-400 kompasianer mengunjungi (mungkin membaca) beberapa karya saya itu.

Dari fakta inilah, saya mulai yakin bahwa Kompasiana peduli terhadap sastra Jawa. Sungguhpun karya sastra Jawa dimungkinkan tidak akan menjadi artikel utama dikarenakan seluruh kompasianer bukan berasal dari Jawa yang dapat memahami karya sastra Jawa.

Sunggupun demikian, muncul pertanyaan saya selanjutnya, "Akankah Kompasiana sanggup menjadi media sosialisasi karya sastra Jawa dengan sepenuh hati?" Seandianya sanggup, Kompasiana bisa menerapkan langkah-langkah, sebagai berikut:

  • Membuka ruang khusus dengan kategori Sastra Jawa yang terdiri dari geguritan, cerkak, novel berbahasa Jawa, dongeng, dll.
  • Tidak membeda-bedakan kategori Sastra Jawa dengan kategori lain, seperti: Fiksiana, Ekonomi, Politik, Humaniora, Muda, Wisata, Regional, Culinary, dll. Pengertian lain, karya sastra Jawa yang diunggah di Kompasiana berhak menjadi Artikel Utama.
  • Ketentuan karya sastra Jawa untuk menjadi Artikel Utama harus memenuhi standar kualitatif. Karenanya, Kompasiana harus memiliki editor khusus yang benar-benar memahami kualtias karya.
  • Agar menarik perhatian bagi kreator sastra Jawa yang masih berhelat dengan media cetak sebagai ruang publikasi karya-karyanya, Kompasiana perlu membuka blog kompetisi penciptaaan karya sastra Jawa. Bisa geguritan, cerkak, atau dongeng.

Apa yang saya uraikan di muka hendaklah ditangkap sebagai harapan kepada Kompasiana agar berperan sebagai media sosialisasi yang prospeknya dapat menggeliatkan kembali kehidupan sastra Jawa.

Apabila harapan ini dapat terealisasi, saya percaya bahwa Kompasiana akan mampu merekrut kompasianer baru yang terdiri para kreator sastra Jawa. Sehingga peran Kompasiana sebagai ruang publikasi berbagai genre karya tulis tidak hanya dirasakan para penulis berbahasa Indonesia, namun pula penulis berbahasa Jawa. Suatu bahasa yang menurut catatan National Encyklopedin 2007 digunakan oleh 1,25% penduduk dunia.

-Sri Wintala Achmad-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun