Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menangkap Ajaran Bijak "Kakawin Sutasoma"

9 April 2018   10:26 Diperbarui: 9 April 2018   10:29 1668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.inquiriesjournal.com

KAKAWIN Sutasoma merupakan karya lain dari Mpu Tantular yang digubah di bawah lindungan Sri Ranamanggala semasa pemerintahan Hayam Wuruk, yakni sekitar tahun 1365-1389. Digubahnya Kakawin Sutasoma sangat penting, karena karya tersebut memaparkan ide-ide religius, terutama yang berkaitan dengan agama Buddha Mahayana dan hubungannya dengan agama Siwa.

Kakawin Sutasoma merupakan karya sastra yang unik karena kisah tokoh keturunan Pandawa telah digubah menjadi kisah Buddhis. Kisah hidup Sutasoma berpolakan kisah hidup Buddha dan dirangkai dengan kisah yang mengambil bahan dari cerita faktual.

Lain dengan Kakawin Arjunawijaya yang memberilan peringatan mengenai masa pasca Gajah Mada, Kakawin Sutasoma kiranya cenderung memberikan peringatan tentang masa timbulnya gejala-gejala pertentangan antara keraton barat (Kusumawardhani/Wikramawardhana) dan keraton timur (Bhre Wirabhumi). Pertentangan kedua kubu keturunan Hayam Wuruk tersebut kelak meletus dengan perang setahap demi setahap yang dikenal dengan Perang Paregreg.

Kiranya Kakawin Sutasoma memuat anjuran agar masalah pertentangan antara dua kubu keturunan Hayam Wuruk tersebut dapat diselesaikan dengan damai menurut prinsip Buddhis. Disamping itu, kakawin tersebut pula melukiskan bahwa Hayam Wuruk merupakan penjelmaan raja Buddhis yang ideal. Karena sifatnya yang sangat didaktis, Kakawin Sutasoma kurang digemari di Bali hingga sekarang.

A. Kandungan Kakawin Sutasoma

Kakawin Sutasoma yang menuliskan tentang "Mangkang jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal bhinneka tunggal ika tan hanadharmma mangrwa" tersebut mengisahkan tentang 13 hal: 

1) Kelahiran Sutasoma sebagai penjelmaan Sang Buddha; 

2) Perjalanan Sutasoma ke Gunung Sumeru dan tapa brata Sutasoma; 

3) Kisah Sumitra tentang asal-usul dan riwayat Jayantaka atau Purusada yang gemar melahap manusia; 

4) Pergulatan Sutasoma dengan Gajamukha, naga, dan harimau; 

5) Kematian Sutasoma dan penghidupannya kembali; 

6) Pengajaran Sutasoma pada Gajamukha, naga, dan harimau;

7) Godaan oleh bidadari dan Indra; 

8) Pertemuan Sutasoma dengan Dasabaku; 

9) Perkawinan Candrawati dengan Sutasoma; 

10) Kembalinya Sutasoma ke Hastina dan penobatannya sebagai raja; 

11) Kemenangan pasukan raksasa atau Singhala; 

12) Penawanan raja Widarbha oleh Kalmasapada (Purusada); dan 

13) Kedatangan pasukan raksasa di Hastina, penyerahan diri Sutasoma, dan pertobatan Kalmasapada. Adapun garis besar cerita dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular tersebut dapat dibeberkan sebagai berikut:

Calon Buddha (Bodhisattva) dilahirkan kembali sebagai Sutasoma, putra Prabu Mahaketu raja Hastinapura. Setelah dewasa, Sutasoma sangat rajin beribadah, cinta pada agama Buddha. Ia tidak senang dinikahkan dan dinobatkan sebagai raja. Suatu malam, Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina. Setelah kepergiannya, timbullah huru-hara di istana. Raja beserta permaisuri sangat sedih, lalu dihiburlah mereka oleh banyak orang.

Setiba di hutan, Sutasoma bersembahyang di dalam kuil. Datanglah kemudian sang Dewi Widyukarali dan bersabda, bahwa sembahyang Sutasoma telah dikabulkan. Kemudian Sutasoma mendaki pegunungan Himalaya dengan diantar oleh beberapa pendeta. 

Sesampai di pertapaan, Sutasoma mendengarkan kisah tentang seorang raja raksasa bernama Kalmasapada yang suka memangsa daging manusia: "Suatu hari, daging persediaan Prabu Kalmasapada habis dimakan anjing dan babi. Maka juru masak segera mencari daging pengganti. 

Juru masak pergi ke kuburan untuk memotong paha mayat, memasak, dan menyajikannya pada Kalmasapada. Karena reinkarnasi raksasa, Kalmasapada sangat senang menyantap masakan yang nikmat itu. 

Kalmasapada kemudian bertanya pada juru masak tentang daging yang dimasaknya. Karena diancam, juru masak itu mengaku bahwa daging yang dimasak adalah daging manusia. Sejak itu, Kalmasapada suka makan daging manusia. Karena Kalmasapada harus memangsa daging manusia setiap harinya, maka lambat laun seluruh rakyatnya habis. Sebagian menjadi mangsa raja itu. Sebagian lainnya meninggalkan kerajaan karena takut menjadi mangsa Kalmasapada."

Selang beberapa saat, para pendeta itu meminta pada Sutasoma untuk membunuh Kalmasapada. Namun, Sutasoma tidak bersedia. Sesudah keluar dari pertapaan, Sutasoma melanjutkan perjalanan. 

Di tengah perjalanan, Sutasoma bertemu dengan manusia berkepala gajah dan naga yang ingin membunuhnya. Namun berkat perlindungan dari sang Buddha, Sutasoma dapat menaklukkan kedua makluk itu. Sutasoma kemudian bertemu dengan seekor harimau betina lapar yang ingin memangsa anaknya sendiri. Sekalipun Sutasoma melarangnya, harimau itu bersikeras untuk memangsa anaknya. Karenanya, Sutasoma menawarkan dirinya untuk dimakan harimau itu. 

Harimau sontak menerkam Sutasoma dan menghisap darahnya. Sesudah merasa terpuaskan dengan darah Sutasoma, harimau itu menyesali perbuatan buruknya. Lalu datanglah Bhatara Indra yang bermaksud menghidupkan Sutasoma. Arkian harimau menjadi pengikut Sutasoma yang kemudian melanjutkan perjalanannya.

Di tengah perjalanan, Sutasoma bertemu dengan Dasabahu yang tengah bertanding melawan Kalmasapada. Tanpa ragu-ragu, Sutasoma menghampiri Kalmasapada yang ingin menyajikan 100 raja untuk Bhatara Kala. Kepada Kalmasapada, Sutasoma menyatakan bersedika sebagai sajian Kala. Asalkan 100 raja itu dilepaskan. Mendengar pernyataan tulus dari Sutasoma, Kalmasapada yang terharu kemudian melepaskan 100 raja. Kalmasapada bertobat atas kesalahannya.

Sesudah keadaan membaik, Sutasoma meminta pamit pada Kalmasapada. Bersama Dasabahu, Sutasoma melangkahkan kaki menuju Hastina. Setiba di Hastina, Sutasoma dinikahkan dengan puteri Prabu Dasabahu. Selain itu, Sutasoma kelak dinobatkan sebagai raja Hastina.

B. Ajaran Kearifan dalam Kakawin Sutasoma

Kakawin Sutasoma yang merupakan gubahan Mpu Tantular tersebut sangat dikenal oleh bangsa Indonesia hingga sekarang. Karena di dalam karya yang menyebutkan kalimat: "... bhinneka tunggal ika tan hanadharmma mangrowa" memberikan spirit nasionalisme di bumi Nusantara. Suatu wilayah yang dihuni oleh umat dari berbagai suku, agama, dan ras.

Di samping mengandung ajaran di muka, Kakawin Sutasoma memberikan ajaran-ajaran kearifan yang bersumber dari perjalanan Sutasoma. Putra prabu Mahaketu raja Hastina yang sebelum menjabat sebagai raja telah melakukan pengembaraan. Suatu laku untuk mendapatkan ilmu, pengetahuan, dan pengalaman. Berikut adalah ajaran-ajaran kearifan dalam Kakawin Sutasoma:

1. Berprihatin merupakan kunci hidup mulia

Tidak ada kehidupan yang mulia di dunia ini tanpa ditebus dengan laku prihatian. Karenanya, Sutasoma sebelum menjadi raja Hastina melakukan laku lelana brata terlebih dahulu. Suatu laku yang ditujukan untuk mendapatkan ilmu, pengetahuan, serta pengalaman empirik. Sesudah perbekalan dianggap cukup, Sutasoma mengakhiri lelana bratanya untuk mengawali hidup baru sebagai raja di Hastina. Raja yang adil dan dicintai oleh seluruh punggawa dan rakyatnya.

2. Menjadi budak kenikmatan merupakan ciri raksasa

Salah satu sifat raksasa adalah menjadi budak kenikmatan dan selalu mengkhalalkan segala cara di dalam meraih satu tujuan. Hal ini dicontohkan dengan tokoh raja raksasa Kalmasapada atau Purusada dalam Kakawin Sutasoma. 

Semula raja tersebut cukup merasa nikmat dengan menyantap daging anjing dan babi. Namun sesudah anjing dan babi di negeri itu habis, juru masak kerajaan mencari mayat manusia untuk dimasak dan disajikan pada Kalmasapada. Karena daging mayat manusia itu lebih nikmat ketimbang daging anjing dan babi, Kalmasapada meminta pada juru masak untuk disajikan menu daging manusia setiap hari. Itulah Kalmasapada, tokoh manusia rakus yang tidak pernah merasa puas dengan kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan. Manusia kanibal yang tidak pernah lagi takut dosa dan hukuman Tuhan. Sekalipun di dalam Kakawin Sutasoma, Kalmasapada kemudian disadarkan oleh Sutasoma yang bersedia dengan tulus untuk disajikan kepada Bhatara Kala. 

3. Kemenangan sejati dapat ditempuh tanpa mengalahkan

Kemenangan sejati adalah kemenangan yang diraih tanpa berusaha untuk mengalahkan. Hal ini telah dilukiskan dalam Kakawin Sutasoma melalui tokoh Sutasoma.

Contoh pertama:

Sewaktu berjalan di tengah hutan, Sutasoma bertemu dengan harimau kelaparan yang ingin memangsa anaknya sendiri. Oleh Sutasoma, harimau itu diminta untuk memangsa dirinya ketimbang memangsa anaknya yang belum berdaya itu. Tanpa berpikir jauh, harimau itu menuruti permintaan Sutasoma. Memangsa Sutasoma sesudah puas mengisap darahnya. Sesudah Sutasoma meninggal, harimau itu menyesali kesalahannya. Tak lama kemudian, datanglah Dewa Indra untuk menghidupkan kembali Sutasoma. Sesudah Sutasoma hidup kembali, harimau itu menjadi anak buahnya.

Contoh kedua:

Di tengah perjalanan, Sutasoma bertemu Dasabahu yang sedang bertarung dengan Kalmasapada. Tanpa ragu, Sutasoma menghampiri Kalmasapada yang ingin menyajikan 100 raja untuk Bhatara Kala. Kepada Kalmasapada, Sutasoma bersedia sebagai tumbal asal 100 raja yang akan dipersembahkan pada Bhatara Kala itu dilepaskan. Mendengar pernyataan tulus dari Sutasoma, Kalmasapada kemudian melepaskan raja-raja itu. Di hadapan Sutasoma, Kalmasapada bertobat atas kesalahannya.

-Sri Wintala Achmad-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun