Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendedah Filosofi "Sastra Gendhing" dan "Hanacaraka"

29 Maret 2018   20:57 Diperbarui: 29 Maret 2018   21:17 1319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: jasonjohnsontoday.org

RADEN Mas Rangsang atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Agung merupakan raja terbesar Mataram yang bergelar Panembahan Hanyakrakusuma, Prabu Pandhita Hanyakrakusuma, atau Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Sesudah tahun 1640, Sultan Agung menggunakan nama gelar Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman. Kemudian pada tahun 1641, Sultan Agung mendapatkan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram dari pemimpin Ka'bah di Mekkah.

Sultan Agung telah menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan di Mataram. Melalui Sultan Agung, kalender Hijriyah yang digunakan di pesisir utara dipadukan dengan kalender Saka yang masih digunakan di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu, Sultan Agung dikenal sebagai sastrawan. Berkat kepiawaiannya di bidang kesastraan, Sultan Agung menggubah Serat Sastra Gendhing. Sebuah karya sastra yang sarat dengan ajaran-ajaran kearifan Jawa.

Kandungan Serat Sastra Gendhing

NASKAH asli Serat Sastra Gendhing gubahan Sultan Agung yang tediri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas mengenai filosofi hubungan sastra dan gendhing. Namun dalam kesempatan ini, penulis tidak mengupas keseluruhan karya Sultan Agung tersebut. Berikut kutipan bagian Serat Sastra Gendhing yang menyoal tentang filosofi Aksara Jawa:

  • Pemusatan diri pada Hyang. Petunjuknya berupa sastra dan bunyi gendhing. Jika telah disepakati. Meskipun aksara jiwa tidak meninggalkan bunyi gendhing asalnya. Bunyi gendhing sejak zaman purbakala. Seperti yang telah diucapkan terdahulu.
  • Seperti halnya sastra yang duapuluh sebagai pemula untuk. Mencapai kebenaran. Yang merupakan petunjuk akan makna puji. Serta puji kepada segala sumber yang tumbuh. Memberikan ajaran akadiyat berupa ha na ca ra ka. Petunjuknya. Sedang da ta sa wa la. Adalah berarti kepada Tuhan yang dipuji.
  • Wadat jati yang dirasakan berupa pa dha ja ya nya. Adalah yang menyaksikan bahwa yang memberi dan yang diberi petunjuk adalah sama teguhnya. Tujuannya mendukung dan akhadiyat. Sedang: ma ga ba tha nga berarti sudah menjadi sir sejati.
  • Tanda Manikmaya sudah menjadi pengetahuan akan tujuan yang sesungguhnya. Itulah akhir dari pada petunjuk. Manikmaya adalah tiada. Yakni bersatunya hati dengan alam arwah. Itulah saat mulanya ada akal. Akhir dari Hyang Maha Manik.
  • Kegaiban dari awal Hyang Manikmaya tak dapat diramu atau diungkap dengan tulisan. Tiada awal dan tiada tempat. Tiada arah dan tiada akhir. Sembahnya melebur ke dalam rasa penglihatan. Tajam bagai pucuk manikam. Jernih tembus tak bertepi.
  • Itulah pusat penglihatan. Makna daripada duapuluh aksara. Dan mengajarkan sifat duapuluh. Sifat keadaan dzat. Ketika akal belum terurai dalam kata-kata yang menyatakan akal. Manikmaya itulah ilmu.

Ajaran Kearifan di Dalam Serat Sastra Gendhing

MELALUI kutipan Serat Sastra Gendhing di muka, kita dapat menangkap nilai-nilai ajaran kearifan yang disampaikan oleh Sultan Agung. Ajaran-ajaran mengenai hubungan kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan. Berikut adalah ajaran kearifan dalam Serat Sastra Gendhing:

Menyatukan sastra dan bunyi gendhing

Sastra merupakan suatu keindahan yang dapat ditangkap secara kasat mata karena digubah secara tekstual. Dengan demikian, sastra memiliki makna simbolis sebagai manusia. Makhluk Tuhan yang kasat mata dan memiliki keindahan sebagaimana sastra. Sementara bunyi gending merupakan suatu keindahan yang dapat ditangkap hanya dengan melalui hati. Karenanya, bunyi gendhing disimbolkan sebagai Tuhan yang tidak dapat dilihat dzat-Nya, namun keberadaan-Nya dapat dirasakan dengan hati paling dalam.

Tampak secara sekilas, sastra dan bunyi gendhing tepisah. Namun keduanya akan mencapai puncak keindahan, bila dipadukan. Sehingga sastra (manusia) merasuk ke dalam bunyi gendhing (Tuhan), dan bunyi gendhing merasuk ke dalam sastra. Dengan demikian, terciptalah hubungan kosmis antara manusia dengan Tuhan. Aku sajroning Ingsung, Ingsun sajroning aku yang disimbolisasikan dengan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.

Aksara Jawa mengajarkan hubungan kosmis

Hanacaraka yang merupakan lima aksara Jawa pertama tersebut memiliki makna 'ada seorang utusan' (manusia). Dengan demikian, manusia ditangkap sebagai khalifah (utusan Tuhan) dan sekaligus sebagai pemberi pujian kepada segala sumber yang tumbuh dari Tuhan. Dzat yang berhak menerima pujian (datasawala).

Hubungan antara manusia atau sang pemberi pujian (hanacaraka) dan Tuhan atau penerima pujian (datasawala) bila telah mencapai kualitasnya maka akan tercipta padhajayanya. Artinya antara pemberi pujian dan yang dipuji sama-sama teguhnya. Dengan demikian, pujian tersebut bukan sekadar pelafalan yang berhenti di ujung lidah namun mampu merembes ke dasar hati hingga menjadi sir yang sejati (magabathanga).

Manikmaya, pencapaian manusia tertinggi

Di lingkungan kaum spiritual Jawa, Manikmaya sering dimaknai dengan awang-uwung. Alam paripurna yang dilambangkan dengan angka 0 (nol). Sekalipun demikian, alam paripurna tidak berarti kosong. Melainkan ada yang tiada atau tiada yang ada.

Bagi manusia yang dapat mencapai tataran Manikmaya (Sang Hyang Manikmaya) bisa dikatakan sebagai manusia sempurna. Manusia yang dapat bersatu dengan Tuhannya. Sebagaimana sastra yang telah berhasil menyatu dengan bunyi gendhingnya. Sebagaimana aksara Jawa yang telah mencapai pada tataran terpuncak yakni magabathanga. Keheningan abadi.

-Sri Wintala Achmad-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun