Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendedah Filosofi "Sastra Gendhing" dan "Hanacaraka"

29 Maret 2018   20:57 Diperbarui: 29 Maret 2018   21:17 1319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: jasonjohnsontoday.org

Hubungan antara manusia atau sang pemberi pujian (hanacaraka) dan Tuhan atau penerima pujian (datasawala) bila telah mencapai kualitasnya maka akan tercipta padhajayanya. Artinya antara pemberi pujian dan yang dipuji sama-sama teguhnya. Dengan demikian, pujian tersebut bukan sekadar pelafalan yang berhenti di ujung lidah namun mampu merembes ke dasar hati hingga menjadi sir yang sejati (magabathanga).

Manikmaya, pencapaian manusia tertinggi

Di lingkungan kaum spiritual Jawa, Manikmaya sering dimaknai dengan awang-uwung. Alam paripurna yang dilambangkan dengan angka 0 (nol). Sekalipun demikian, alam paripurna tidak berarti kosong. Melainkan ada yang tiada atau tiada yang ada.

Bagi manusia yang dapat mencapai tataran Manikmaya (Sang Hyang Manikmaya) bisa dikatakan sebagai manusia sempurna. Manusia yang dapat bersatu dengan Tuhannya. Sebagaimana sastra yang telah berhasil menyatu dengan bunyi gendhingnya. Sebagaimana aksara Jawa yang telah mencapai pada tataran terpuncak yakni magabathanga. Keheningan abadi.

-Sri Wintala Achmad-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun