Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ismail dan Kambing yang Dikorbankan

25 Maret 2018   10:48 Diperbarui: 25 Maret 2018   11:16 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompasiana.com/achmadeswa

NAMANYA Ismail. Sejak berusia tujuh tahun, Ismail bercita-cita menjadi peternak kambing. Karena sekarang masih berusia duabelas tahun dan belum mampu menghasilkan uang sendiri, Abah Ngali ayahnya yang dipercaya sebagai salah seorang pengurus ta'mir masjid di kampung Ngudiluhur itu membelikannya dua ekor kambing. Satu betina, dan satunya jantan.

Setiap pulang sekolah, Ismail pergi ke kandang. Mengeluarkan kedua kambingnya untuk digembalakan di tanah lapang berumput lebat dekat sungai yang tak pernah kering di musim kemarau. Sembari menunggui kedua kambingnya, anak yang tak tertarik dengan android buat facebook-an itu selalu membaca buku. Bukan buku pelajaran, namun buku ternak kambing yang dipinjam dari perpus sekolah.

Menyaksikan Ismail yang amat setia menggapai cita-citanya itu, anak-anak sebayanya selalu menyindir. Sebagian mereka mengatakan, "Ismail, anak udik yang tidak gaul! Kerjanya hanya sekolah dan menggembala kambing."

Sebagaian mereka lainnya mengatakan, "Ismail, bocah bodoh yang hanya menggantung cita-citanya di langit terendah. Kenapa hanya menjadi peternak kambing? Bukan anggota DPR, menteri, atau presiden?"

Sebagai anak yang dididik oleh ibunya untuk selalu berjiwa samudra, Ismail tidak pernah marah atas sindiran kawan-kawannya.

***

MALAM seminggu sebelum 'idul adha, Abah Ngali menghampiri Ismail yang tengah membaca buku pembudidayaan kambing di ruang belajarnya. Kepada anak itu, Abah Ngali meminta kambing jantannya untuk dikorbankan di masjid sesudah pelaksanaan sholat 'id.

"Kenapa kambing jantanku turut dikorbankan, Abah?" Ismail yang kemudian meletakkan buku bacaannya di meja itu menunjukkan perasaan ketidaksukaannya. "Bagaimana aku cepat menjadi seorang peternak, bila kambing jantanku turut dikorbankan? Mana mungkin kambing betina bisa beranak bila tanpa pejantannya?"

"Ismail." Abah Ngali menepuk-nepuk lembut pundak anaknya. "Pernahkah guru agamamu menceritakan tentang keikhlasan Ismail atas jiwa-raganya untuk dipersembahkan pada Tuhan? Ia tidak menolak sama sekali, saat Ibrahim ayahnya akan menyembelihnya demi cintanya pada Tuhan."

"Pernah Abah." Ismail menjawab ringan. "Tapi, aku bukan Ismail putra Ibrahim. Aku, Ismail putra Abah."

"Kalau masih mengaku sebagai anakku seharusnya kamu merelakan kambing jantanmu untuk dikorbankan."

"Tidak, Abah. Bukankah Abah pernah bilang, bahwa sebelum kambingku beranak tiga turunan tidak boleh dijual atau disembelih?"

Mendengar penuturan Ismail, Abah Ngali terdiam. Tidak ada yang perlu lagi untuk dikatakan. Dalam diam, Abah Ngali keluar dari kamar belajar anaknya. Selepas Abah Ngali, Ismail memungut bukunya. Membacanya kembali. Namun sebelum selesai membaca buku itu, Ismail tertidur di kursi. Kepalanya diletakkan di meja.

***

MINGGU pagi dua hari ambang 'idul adha, Ismail yang baru saja terbangun dari tidur itu menemui ayahnya. Kepada Abah Ngali yang tengah sibuk mengerjakan tugas sebagai pengurus ta'mir masjid untuk mendata orang-orang penyumbang hewan korban di kampung Ngudiluhur, Ismail mengatakan bahwa ia merelakan kambing jantannya untuk ikut dikorbankan.

"Apa aku tidak sedang bermimpi, Ismail?"

"Tidak, Abah. Aku merelakan kambing jantanku untuk dikorbankan di hari 'idul adha nanti. Karena menurut kakek tua berjubah sutera yang berkunjung di dalam mimpiku semalam, orang yang rela berkorban akan mendapatkan anugerah berlipat dari Tuhan."

"Bagus, anakku. Kalau begitu, namamu akan aku catat di buku data penyumbang hewan korban."

"Tak perlu, Abah. Aku menyumbangkan kambing jantanku dengan ikhlas."

Sebelum Abah Ngali melontarkan sepatah kata, Ismail keluar dari ruangan itu. Menuju kandang. Mengeluarkan kedua kambingnya untuk digembalakan di  tanah lapang dekat sungai. Selagi membaca buku budidaya kambing, seorang lelaki tua semirip lelaki berjubah sutera yang berkunjung dalam mimpi Ismail itu menghampirinya. "Kambing betinamu telah hamil, Ismail. Bersyukurlah pada Tuhan!"

"Benarkah, Kek?"

"Iya. Lihat perutnya yang mengembang!"

Menyaksikan perut kambing betinanya yang benar-benar telah mengembang, Ismail bahagia bukan kepalang. Dalam kegirangan hati yang tak terlukiskan itu, Ismail kian yakin bahwa memberi satu akan mendapatkan dua. Namun karena rasa sukanya yang berlebihan itu, Ismail lupa bersyukur. Sebagaimana yang diperintahkan oleh lelaki tua berparas malaikat dari surga itu.

***

IDUL Adha tiba. Sesudah sholat 'id, orang-orang berkumpul di halaman masjid kampung Ngudiluhur. Sembari melafalkan takbir, Abah Ngali dan seluruh pengurus ta'mir masjid menyaksikan penyembelihan hewan-hewan korban. Tidak hanya sapi milik Haji Busra Zailani; kambing milik Miftah Khusurur, Ahmad Muhaimin, Misbah Harun, Hasan Sulthoni, Marwah Bashori; namun pula kambing jantan milik Ismail yang berbulu putih seperti kapas, tambun, gagah dan perkasa.

Malam hari. Ismail yang sesiang turut membagi-bagikan daging korban pada orang-orang papa di kampung Ngudiluhur itu tertidur lelap. Sewaktu bangun pagi, Ismail terkejut saat menyaksikan kambing betinanya yang tengah hamil itu tidak tampak di kandang. Sesudah meyakini bahwa kambing betinanya dicuri seorang yang belum terlacak jejaknya oleh polisi, Ismail protes kepada Tuhan. "Tuhan tidak adil! Kenapa telah aku berikan satu, Kau minta semuanya?"

Mendengar perkataan yang tidak sepantasnya diucapkan oleh Ismail itu, ibunya hanya bilang, "Sabar! Sabar! Sabar, Nak! Menjadilah anak berjiwa samudera!" Sementara Abah Ngali yang menjabat sebagai bendahara ta'mir masjid di kampung Ngudiluhur itu hanya terdiam di balik ngilu hatinya. Saat mengingat bahwa kambing milik Ismail yang semula dibeli Abah Ngali dari pasar hewan itu dengan hasil korupsi kas masjid. Hari dengan matahari jingga yang mengambang di bentang langit biru itu sontak tampak gelap.

-Sri Wintala Achmad-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun