"Tidak, Abah. Bukankah Abah pernah bilang, bahwa sebelum kambingku beranak tiga turunan tidak boleh dijual atau disembelih?"
Mendengar penuturan Ismail, Abah Ngali terdiam. Tidak ada yang perlu lagi untuk dikatakan. Dalam diam, Abah Ngali keluar dari kamar belajar anaknya. Selepas Abah Ngali, Ismail memungut bukunya. Membacanya kembali. Namun sebelum selesai membaca buku itu, Ismail tertidur di kursi. Kepalanya diletakkan di meja.
***
MINGGU pagi dua hari ambang 'idul adha, Ismail yang baru saja terbangun dari tidur itu menemui ayahnya. Kepada Abah Ngali yang tengah sibuk mengerjakan tugas sebagai pengurus ta'mir masjid untuk mendata orang-orang penyumbang hewan korban di kampung Ngudiluhur, Ismail mengatakan bahwa ia merelakan kambing jantannya untuk ikut dikorbankan.
"Apa aku tidak sedang bermimpi, Ismail?"
"Tidak, Abah. Aku merelakan kambing jantanku untuk dikorbankan di hari 'idul adha nanti. Karena menurut kakek tua berjubah sutera yang berkunjung di dalam mimpiku semalam, orang yang rela berkorban akan mendapatkan anugerah berlipat dari Tuhan."
"Bagus, anakku. Kalau begitu, namamu akan aku catat di buku data penyumbang hewan korban."
"Tak perlu, Abah. Aku menyumbangkan kambing jantanku dengan ikhlas."
Sebelum Abah Ngali melontarkan sepatah kata, Ismail keluar dari ruangan itu. Menuju kandang. Mengeluarkan kedua kambingnya untuk digembalakan di  tanah lapang dekat sungai. Selagi membaca buku budidaya kambing, seorang lelaki tua semirip lelaki berjubah sutera yang berkunjung dalam mimpi Ismail itu menghampirinya. "Kambing betinamu telah hamil, Ismail. Bersyukurlah pada Tuhan!"
"Benarkah, Kek?"
"Iya. Lihat perutnya yang mengembang!"