Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Godot

17 Maret 2018   05:54 Diperbarui: 17 Maret 2018   13:35 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"SIAPA orang tua yang duduk berhari-hari di bangku taman kota itu, Max?"

"Godot, orang-orang bilang."

"Orang penting yang pernah ditunggu-tunggu Vladimir, Estragon, Pozzo, Lucky, dan Boy, namun tak pernah datang itu?"

"Kata orang-orang begitu, Tom."

"Kenapa Godot baru datang? Sedangkan orang-orang yang menunggunya sudah pergi dari taman kota itu setahun silam."

"Godot sedang disibukkan dengan urusan penting."

"Apakah Godot orang penting, Max?"

"Dulu, ya. Sekarang, tidak."

"Apakah Godot seorang presiden, mentri, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, gubernur, bupati, camat, lurah, ketua RW, atau hanya ketua RT?"

"Bukan salah satu yang kau sebutkan itu, Tom. Tapi, Godot sangat dibutuhkan orang-orang penting itu."

"Apakah Godot seorang konsultan?"

"Bukan. Orang-orang bilang, Godot paranormal."

"Zaman sudah gila, ya? Banyak pejabat minta perlindungan pada paranomal. Hanya karena ingin selamat dari tindak kejahatannya. Main suap dan mengorupsi uang negara."

"Sudah super gila, Tom"

"Tapi kenapa Godot sekarang mirip gelandangan? Wajahnya pasi. Rambutnya yang gondrong sangat kusut. Keringat di sekujur tubuhnya yang dekil menyeruakkan bau bangkai."

"Benar. Godot telah menjadi gelandangan. Sesudah Godot tak lagi punya kesaktian. Rajah dan mantram yang diberikan kepada para pejabat tak lagi punya kekuatan untuk melindungi tindak kejahatan mereka."

"Karena tak lagi dibutuhkan orang-orang penting, lantas Godot membutuhkan orang-orang miskin yang setahun silam setia menunggunya? Berharap agar Godot dapat memberikan jalan keluar pada mereka? Jalan untuk hidup layak melalui ilmu ngirup bandha yang dimiliki Godot?"

"Mungkin, Tom"

"Tapi, aku percaya. Orang-orang yang setahun silam menunggu Godot, sekarang tak membutuhkannya. Sebab mereka yang miskin juga tak membutuhkan orang miskin. Mereka tak lagi membutuhkan paranormal yang tak dapat membantu mereka untuk mendatangkan harta. Mereka sangat membutuhkan juru selamat yang dapat membuat mereka kaya dalam waktu sekejap. Tanpa harus mandi keringat."

"Benar, Tom."

"Sayangnya, Max. Kenapa orang-orang miskin lebih membutuhkan paranormal ketimbang Tuhan?"

"Karena, mereka menganggap paranormal itu seperti tukang sihir. Orang yang dalam sekejap bisa mengubah kemiskinan menjadi kekayarayaan. Sebaliknya, Tuhan telah mereka anggap sebagai dermawan di mana untuk mendapatkan berkah-Nya harus melalui proses panjang. Sebagaimana orang-orang kaya, orang-orang miskin di negeri ini lebih suka menempuh jalan pintas, ketimbang melewati jalan berliku-liku yang panjang dan melelahkan."

"Kasihan mereka!"

"Kasihan pula Godot yang telah menjadi korban zaman. Hingga nasibnya lebih hina dari pada kita."

"Lebih kasihan lagi. Karena bukan Vladimir, Estragon, Pozzo, Lucky, dan Boy yang datang sesudah sekian lama ditunggu Godot, melainkan orang-orang dari Satuan Polisi Pamong Praja. Godot telah dilemparkan seperti seonggok sampah di atas truk. Godot telah mereka bawa pergi."

"Semoga nasib Godot lebih baik. Dipelihara negara, Max."

"Ha..., ha..., ha.... Nasib baik, Tom?"

"Tentu saja."

"Tidak. Nasib Godot akan lebih buruk. Mungkin Godot akan dibuang ke laut. Menjadi mangsa ikan-ikan kelaparan."

"Kenapa negara setega itu?"

"Karena pejabat-pejabat asing yang akan berkunjung di kota kita ini jangan sampai bicara kalau negara kita miskin. Sungguhpun negara kita memang masih miskin. Terbukti pejabat-pejabat yang sudah berlimpah harta di negeri ini masih doyan suap dan korupsi."

"Negeri melarat yang bertopeng emas."

"Bukan emas, tapi kuningan yang menyerupai emas."

"Benar katamu, Max."

"Lebih benar bila aku tak berkata lagi. Godot telah dibawa pergi. Tak ada yang perlu dibicarakan lagi."

- Sri Wintala Achmad-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun