Membebaskan Nasib Buruk Sastra Jawa
Kalau memperhatikan tema penyelenggaraan Temu Sastra Jawa yang diselengarakan oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta (DKY) tersebut, kiranya event ini bertujuan agar Sastra Jawa dapat memberi penerang dunia (madhangi jagad). Bukan hanya dunia lahir, namun juga dunia batin yang menghampar di dalam jiwa manusia. Dengan demikian, Sastra Jawa diobsesikan sebagai salah satu media di dalam membangun dunia batin (kepribadian) manusia Jawa yang mengalami abrasi akibat pengaruh budaya modern (baca: budaya Barat).
Tujuan Sastra Jawa dapat menjadi penerang dunia sungguh luhur, namun betapa susah untuk dijangkau. Karena diibaratkan, tujuan tersebut serupa hendak menjadikan Sastra Jawa sebagai jembatan bianglala untuk meraih bintang kejora paling agung yang memancar keemasan di lapisan langit terpuncak. Tujuan yang tidak lebih sebagai mimpi indah setiap tengah malam, dan tidak pernah terwujud manakala kembali terjaga pagi hari.
Pendapat di atas perlu dikemukan, mengingat kehidupan Sastra Jawa sudah senasib anak burung yang kehilangan induknya. Kalau tidak segera mendapatkan pertolongan, anak burung itu akan tewas. Tentu saja, menolong anak burung itu bukan sekadar memberi hiburan sesaat hingga terdiam dari cericitnya yang sangat berisik dan memelas. Melainkan mengasuh dengan penuh kasih-sayang, menyuapi dengan sabar dan tulus, serta memberikan ruang kepak yang selapang-lapangnya. Bukan justru memenjarakannya, ketika anak burung itu tumbuh dewasa di dalam sangkar gading yang sempit.
Membebaskan Sastra Jawa dari nasib buruknya serupa memberikan pertolongan pada anak burung yang kehilangan induknya. Artinya, beberapa lembaga baik swasta maupun pemerintah yang menghendaki tetap berlangsungnya kehidupan Sastra Jawa hingga mengalami pertumbuhkembangan seyogyanya bukan sekadar mengadakan event pertemuan, dan terlebih pelatihan (workshop) penulisan, atau lomba cipta (baca) karya Sastra Jawa yang hanya bersifat hiburan sesaat. Tetapi upaya tersebut harus disertai dengan langkah pendampingan supaya para sastrawan Jawa tetap setia menggubah karya-karnya (geguritan, cerkak, cerbung, atau novel) yang memenuhi standar kualitatif. Â
Langkah pendampingan terhadap sastrawan Jawa bukan sekadar berhenti sampai di situ. Langkah pendampingan selanjutnya, dimana lembaga swasta atau pemerintah harus memberikan santunan dana kepada setiap sastrawan potensial untuk menerbitkan karya-karyanya. Bukan sekadar mendorong para sastrawan supaya tetap setia mempublikasikan karya-karya di beberapa Kalawarti Basa Jawa yang kuantitasnya mulai bisa dihitung dengan jari satu tangan.
Langkah pendampingan terhadap para sastrawan Jawa yang dilakukan oleh lembaga swasta atau pemerintah harus dibarengi dengan pembinaan dalam bidang penulisan serta peningkatan minat baca terhadap karya Sastra Jawa di lingkup sekolah. Mengapa demikian? Karena buku-buku yang memuat karya Sastra Jawa yang diterbitkan oleh lembaga swasta atau pemerintah (bisa bekerja sama dengan penerbit profesional) seyogyanya didistribusikan ke sekolah-sekolah sebagai penunjang pelajaran Bahasa dan Sastra Jawa bagi seluruh anak didik. Bila upaya ini terealisasikan, maka Sastra Jawa yang ditujukan sebagai penerang dunia atau membangun kepribadian manusia sejak usia dini tersebut akan terwujud.
Apabila karya Sastra Jawa sudah diminati oleh generasi penerus yang dimulai dari lingkup sekolah, maka akan terbentuklah masyarakat pembaca setia. Karenanya tidak pelak lagi, kehidupan Sastra Jawa akan mengalami suatu pertumbuhkembangan yang signifikan di masa mendatang. Banyak sastrawan berbakat akan dilahirkan. Kalawarti Basa Jawa yang memuat karya-karya Sastra Jawa akan mengalami suatu peningkatan jumlah dan oplah, karena meningkatnya kuantitas pembaca (pelanggan). Tidak hanya di lingkup sekolah, namun pula di ruang-ruang publik yang lebih luas. Â
Pesan yang Layak Diperhatikan
Terakhir ditandaskan, hendaklah event Temu Sastra Jawa yang diselenggarakan oleh DKY tersebut dijadikan sebagai garis start di dalam menyelamatkan, melestarikan, serta menumbuhkembangkan Sastra Jawa yang prospeknya dapat meningkatkan kualitas kreatif bagi para sastrawan serta sekaligus mampu membangun kepribadian generasi Jawa.
Sehingga amatlah naif, apabila event Temu Sastra Jawa tersebut sekadar dimaknai secara dangkal yakni sebagai ajang kangen-kangenan antar sastrawan yang datang dari berbagai daerah, adu pintar berolah gagasan antar pemerhati (ahli) Sastra Jawa, atau pesta pora yang menghabiskan banyak dana tanpa memberikan gema. Tanpa membuahkan hasil yang benar-benar nyata.