Purnama mengambang di langitresik. sinarnya memenuhi perkemahan Glagah Tinulu. Dimana di tenda utama; Srikandi, Trusta Jumena, dan Abimanyu tengah berbincang sambil mengevaluasi Bharatayuda pada hari ke sebelas. Sementara jauh di luar tenda; Gareng, Petruk, dan Bagong yang mengitari api unggun untuk mengusir hawa dingin musim bedhidhing itu membakar pohong.
Lain Srikandi, Trusta Jumena, dan Abimanyu; lain pula Gareng, Petruk, dan Bagong. Ketiga rakyat kecil yang mengabdi sebagai batur Pandawa itu tak pernah memikirkan pihak mana yang akan menang pihak mana yang akan kalah dalam Bharatayuda. Namun, mereka memikirkan dampak dari Bharatayuda yang mengakibatkan naiknya harga sandang dan pangan. Hingga mereka tak dapat makan teratur dan berpakaian layak. Akibatnya perut mereka yang melar bukan karena kenyang nasi, melainkan kenyang angin. Kalau toh malam itu mereka dapat makan pohong bakar bukan karena dibeli dengan gaji bulanan, namun karena mencuri di ladang tepian desa Karang Kadempel.
Sungguh selama Bharatayuda berlangsung, banyak pemimpin negara tak lagi memikirkan nasib rakyat yang menyerupai ikan-ikan laut terdampar di pantai, megap-megap serasa tercekik lehernya. Bila dibanding rakyat lain; nasib Gareng, Petruk, dan Bagong yang tengah menikmati pohong bakar itu masih dibilang lebih beruntung. Mereka masih dapat makan nasi jagung, sayur lodheh, lauk telor dadar; saat tanggal muda bersama isteri dan anak-anaknya.
Selagi Gareng, Petruk, dan Bagong berbincang; tampak sesosok bayangan hitam yang berkelebat dari balik rerimbun semak-semak. Melihat bayangan mencurigakan itu, Petruk sontak menarik pethel yang terselip di pinggangnya. Disertai Gareng dan Bagong, Petruk memburu bayangan itu.
Setiba di tepian Sungai Gangga, Petruk dapat menangkap bayangan hitam itu. Sebelum menebaskan pethel-nya ke leher bayangan hitam itu, Petruk tersentak, manakala menangkap wajah bayangan hitam yang dilumuri cahaya purnama itu. Dialah Karna, putera sulung Kunti yang semasih bayi dibuang di Sungai Aswa. Sebelum ditemukan dan diangkat sebagai putera Adirata, seorang kusir HHastinapurapura.
"Ampun, Kangjeng Adipati Karna. Hamba tak tahu kalau bayangan hitam yang hamba curigai adalah Kangjeng Adipati."
"Tak mengapa, Truk." Karna sekilas mendongakkan wajahnya untuk menyaksikan bulan yang hampir bertakhta di titik kulminasi langit. Tak seberapa lama, Karna mengalihkan pandangnya ke arah Petruk yang berdiri dengan tubuh gemetar di antara Gareng dan Bagong. "Jangan takut, Truk! Aku tak akan memarahimu. Sebaliknya aku bangga padamu. Karena sebagai abdi, kau merasa punya tanggung jawab yang sangat besar untuk menjaga keselamatan tuan-tuanmu. Keluarga Pandawa yang berada di Perkemahan Randu Watangan."
"Terima kasih atas pujiannya, Kangjeng Adipati Karna." Petruk klecam-klecem sambil matanya dikerlingkan ke saku Karna. "Tapi hamba akan sangat mengucapkan terima kasih, bila Kangjeng Adipati mau ngasih...."
"Uang? Begitu kan maksudmu?"
"Ehm...." Petruk salah tingkah. "Iya, Kangjeng. Maklum tanggal tua."
"Aku akan mengasihmu uang, asal kau mau bekerja. Tapi, bukan sebagai pengemis. Sejak dulu, aku benci pengemis."