Setiap kali tulisannya dimuat di koran, Butet selalu mengumumkan di depan teman-temannya, termasuk di depan Suwarno. Sebagai kawan sekelasnya, Suwarno merasa cemburu kepada Butet. Dalam hati, ia berkata, "Aku juga bisa."
Orang ketiga yang memberikan pengaruh besar kepada Suwarno adalah Siswanto HS. Menurutnya, Siswanto yang sering dipanggilnya dengan "Pak Sis" itu tertarik mengoleksi seni lukis pada awal tahun 1990-an. Pak Sis selalu mengajaknya berdiskusi sebelum memutuskan karya mana untuk dikoleksi. Akhirnya, Pak Sis banyak mengoleksi karya-karya para perupa muda, termasuk lukisan Berburu Celeng karya Djoko Pekik. Tidak hanya mengoleksi, Pak Sis pula menyeponsori sejumlah pelukis untuk menggelar pameran tunggal.
Dalam perkembangannya, Suwarno dipercaya Pak Sis untuk menulis atau menguratori di berbagai pameran seni rupa. Dengan demikian, ia mendapatkan banyak kesempatan untuk mengasah keterampilannya dalam menulis serta ketajamannya dalam menilai karya seni rupa. Sehingga melalui harian Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional(Bernas), Masa Kini, Minggu Pagi, Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Jawa Pos, dan sejumlah majalah terkemuka di Indonesia; ia rajin memublikasikan tulisan-tulisan seni rupanya.
Sesudah tulisan-tulisan seni rupanya dimuat di berbagai media massa, Suwarno semakin terpikat untuk menekuni profesinya sebagai kurator. Terlebih ketika bidang kurasi seni rupa menjadi pergulatan wacana, mengasah ketajaman rasa dan mata, serta tidak ada makna yang absolut.Â
Setiap orang memiliki kemerdekaan untuk memaknai sesuai kekayaan referensi, pengalaman, dan intelektualitasnya. Dengan demikian yang terpenting dalam setiap pendapat adalah argumentasi. Menilai baik atau buruk sama pentingnya, sejauh bertumpu pada argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Ketertarikan Suwarno terhadap profesinya sebagai kurator, karena kerja kurasi merupakan kerja dari hulu hingga hilir yang berujung pada presentasi karya dan berinti sebagai produk pengetahuan. Aspek inilah yang menarik. Sementara aspek yang tidak (kurang) menarik, ketika ia berhadapan dengan perupa yang tidak menghargai proses dan waktu. Tidak memiliki kesadaran krisis waktu, sehingga mudah melanggar tenggang waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H