Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wayang Purwa, Pedoman Hidup Orang Jawa

23 Februari 2018   12:14 Diperbarui: 23 Februari 2018   12:38 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemuliaan dalam Palagan

Di dalam cerita Bisma Gugur yang dibawakan oleh Ki Dalang Timbul Hadiprayitno mengandung ajaran kebijaksanaan hidup bagi para pecinta wayang purwa. Karena sebelum menghadap pada Tuhan, Bisma memberikan ajaran dengan bahasa lambang pada cucu-cucunya, yakni Korawa dan Pandawa. Ajaran itu bermula dari permintaan Bisma pada Doryudana (Raja Astina), "Tubuhku terasa panas. Aku minta payung."

Tanpa berpikir panjang, Doryudana memerintahkan pada Dorsasana untuk mencari payung emas. Sesudah payung itu ada di depan Bisma, apa yang lantas diucapkan oleh resi itu? "Bukan payung itu yang aku butuhkan. Payung itu hanya pantas bagi orang-orang yang hidup mulia di dunia, bukan payung seorang ksatria yang akan mati di palagan!"

Selanjutnya Bisma meminta pada Werkudara untuk mencari payung yang bakal menjadi sarana untuk menyejukkan jiwa dan raganya. Melalui sabda Krishna, Werkudara tidak mencari payung, namun pohon randu alas yang dijebol hingga akar-akarnya. Mengetahui kalau Bima bisa tanggap apa yang dikendakinya, Bisma merasa bangga pada para cucu Pandawa.

Bila dikupas dengan seksama, ajaran Resi Bisma melalui bahasa lambang itu memiliki makna yang dalam. Ajaran itu bisa dimaknai, bila kemuliaan orang mati tidak memerlukan bekal emas, harta, dan benda. Namun tiga perkara yang pantas ditinggalkan, yakni: amal jariyah, putra yang soleh, dan ilmu yang memiliki manfaat bagi sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun