PARA pecinta jagad pakeliran niscaya akan dapat menjelaskan dengan baik perihal pertanyaan dalam dunia wayang purwa. Tentu saja, jawaban itu tidak hanya berkisar pada babad Mahabarata, namun pula babad Ramayana.
Pandangan para pecinta wayang tidak akan meleset jauh dengan yang tersurat di dalam kitab babad wayang purwa. Karena ketika menyaksikan pergelaran (mendengarkan rekaman) wayang purwa, mereka tidak hanya terahanyut pada suara kung dan lelucon dari sang dalang, namun pula menyimak tentang ilmu kearifan hidup melalui adegan seorang resi yang tengah mengajarkan ilmu pada siswa-siswanya, atau seorang dewa pada umat manusia.
Dari sini terbukti, wayang purwa tidak hanya menjadi salah satu audio visual yang sangat menarik, namun dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman hidup. Alhasil, tujuan pertunjukan wayang purwa yang menjadi media tuntunan melalui tontonan yang mengandung tatanan tersebut dapat tercapai dengan baik dan sempurna.
Perbedaan antara Pintar dan Bodoh
Di dalam kisah Bima Suci yang dibawakan oleh Ki Dalang Anom Suroto dan Ki Bayu (putra Ki Anom Suroto), ada salah satu adegan tentang pertemuan antara Resi Mayangkara dengan Pendeta Durna yang ingin menggugurkan tapa brata Bima. Karena tapa brata Bima itu telah dianggap menimbulkan gara-gara di tlatah Negara Astina.
Di tengah perjalanan, Pendeta Durna akan bersedia mengurungkan niat jahatnya itu, bila Resi Mayangkara bisa memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaannya: "Apa bedanya antara orang pintar dan orang bodoh?"
Tanpa berpikir panjang, Resi Mayangkara memberikan jawaban: "Orang pintar adalah orang yang selalu merasa bodoh. Karenanya, orang itu selalu berusaha untuk mencari ilmu yang dapat menyempurnakan hidupnya. Tidak hanya sebatas ilmu lahir, namun pula ilmu batin. Sebaliknya orang bodoh adalah orang yang telah merasa pintar. Karenanya, ia tidak pernah mempelajari ilmu lagi. Akibatnya, ia hanya selalu menjadi katak yang berada di dalam tempurung."
Mendengar jawaban Resi Mayangkara, Pendeta Durna yang wajahnya sontak menjadi merah membara karena merasa dipermalukan itu segera meninggalkan pergi tanpa pamit. Pulang menuju Padepokan Sukalima.
Hakikat Makna Kayangan
Di dalam jagad pakeliran, kayangan tidak hanya dimaknai sebagai tempat tinggal para dewa. Namun pula bisa dimaknai sebagai jagad batinnya manusia. Jagad yang membuat manusia memiliki suatu keyakinan akan adanya Tuhan. Dzat yang memiliki daya untuk memuliakan rasa dalam kerajaan kalbu.
Karenanya, ketika Semar Badranaya memiliki tujuan untuk membangun kayangan, yakni bukan kayangannya para dewa, melainkan kayangan kalbu para Pandawa (jagad batin mamungsa). Sehingga melalui Semar dan tiga pusaka (Serat Kalimasada, Payung Tunggul Naga, dan Tumbak Karawelang), para Pandawa yang tengah diliputi awan kegelapan itu seketika mendapatkan cahaya matahari. Sesudah Sang Hyang Wenang yang berada di jagad batinnya Semar memberikan ajaran mulia.
Kemuliaan dalam Palagan
Di dalam cerita Bisma Gugur yang dibawakan oleh Ki Dalang Timbul Hadiprayitno mengandung ajaran kebijaksanaan hidup bagi para pecinta wayang purwa. Karena sebelum menghadap pada Tuhan, Bisma memberikan ajaran dengan bahasa lambang pada cucu-cucunya, yakni Korawa dan Pandawa. Ajaran itu bermula dari permintaan Bisma pada Doryudana (Raja Astina), "Tubuhku terasa panas. Aku minta payung."
Tanpa berpikir panjang, Doryudana memerintahkan pada Dorsasana untuk mencari payung emas. Sesudah payung itu ada di depan Bisma, apa yang lantas diucapkan oleh resi itu? "Bukan payung itu yang aku butuhkan. Payung itu hanya pantas bagi orang-orang yang hidup mulia di dunia, bukan payung seorang ksatria yang akan mati di palagan!"
Selanjutnya Bisma meminta pada Werkudara untuk mencari payung yang bakal menjadi sarana untuk menyejukkan jiwa dan raganya. Melalui sabda Krishna, Werkudara tidak mencari payung, namun pohon randu alas yang dijebol hingga akar-akarnya. Mengetahui kalau Bima bisa tanggap apa yang dikendakinya, Bisma merasa bangga pada para cucu Pandawa.
Bila dikupas dengan seksama, ajaran Resi Bisma melalui bahasa lambang itu memiliki makna yang dalam. Ajaran itu bisa dimaknai, bila kemuliaan orang mati tidak memerlukan bekal emas, harta, dan benda. Namun tiga perkara yang pantas ditinggalkan, yakni: amal jariyah, putra yang soleh, dan ilmu yang memiliki manfaat bagi sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H