MANAKALA saya tengah berhelat dengan Personal Computer (PC) untuk menyelesaikan esai budaya, ponsel di atas meja berdering. Tidak terduga, kalau Short Massage Service (SMS) yang dikirim kawan Agus Setiawan (karyawan TBY) dan Eko Nuryono tersebut memberitahukan bahwa Mas Hadjid Hamzah[1]Â telah berpulang ke rumah keabadian. Innalillahi wa innaillahi Roji'un.
Kepulangan Mas Hadjid ke rumah keabadian yang merupakan sepasang mata uang dengan kehadirannya di alam maya selayaknya tidak perlu ditangisi hingga kering air mata. Namun sebagai seorang yang belum tuntas menimba pengetahuan (pengalaman) empirik almarhum, saya merasa kehilangan. Sebagaimana saat saya kehilangan sepeninggal sedulur sinarawadi Kuswahyo SS Rahardjo dan RPA Suryanto Sastroatmodjo.
Kepribadian Mas Hadjid Sebagai EditorÂ
SEJAUH saya kenal Mas Hadjid sebagai redaktur budaya yang ramah dan rendah hati. Beliau murah senyum kepada setiap penulis yang mengirimkan karya ke kantor redaksi MP. Tidak membeda-bedakan penulis yunior dengan senior. Beliau tidak pernah keberatan untuk memberikan masukan atas karya-karyanya yang tidak dimuat di rubrik sastra dan budaya Cakrawala.
Kerendah-hatian Mas Hadjid dibuktikan pula oleg kawan Abdul Wachid (Achid) BS. Kawan yang menjadi dosen di STAIN Purwokerto itu menyatakan di depan saya sewaktu melayat almarhum. Dengan santun, beliau meminta maaf kepada Achid lantaran tidak memuat naskah-naskah esai sastranya yang terlampau panjang. Menjelang wafatnya, obsesinya akan membangun rumah kecil diungkapkan pula kepada kawanku itu. Menurut beliau, sastrawan harus punya rumah sendiri. Sekalipun kecil.Â
Banyak penulis muda merasa kehilangan atas kepergian Mas Hadjid ke rumah keabadian. Lantaran beliau seorang redaktur berjiwa samudra dalam membina mereka melalui kecermatan kerja editorial-nya. Beberapa judul naskah esai saya yang telah mendapatkan sentuhan editorial beliau menjadi lebih selaras dengan isiannya.
Kepada kawan seprofesi, Mas Hadjid selalu mendorong untuk terus menulis. Beliau pernah keraya-raya datang ke rumah Mas Suryanto (almarhum) di Nagan Lor 21. Beliau mendorong Mas Sur yang mulai tidak aktif berkarya sesudah lepas dari pekerjaannya sebagai redaktur Bernas di Yogyakarta itu untuk menulis dan mengirimkan karya-karyanya ke MP. Usaha beliau tidak sia-sia, meskipun harus mati-matian mengedit karya-karya Mas Sur yang ditulis dengan spidol di atas kertas bekas.Â
Mas Hadjid seorang redaktur bersikap luwes. Beliau yang tidak pernah berurusan langsung dengan Personal Computer (Internet) itu tetap menerima naskah-naskah yang ditulis dengan mesin tik manual. Sebagaimana karya-karya Fauzi Absal yang selalu dikirim via pos. Bukan via email yang merupakan kecenderungan sebagian besar penulis saat mengirimkan naskah-naskahnya ke alamat redaksi harian (mingguan) tertentu.
Tidak meleset, apabila Mas Hadjid dipersepsikan sebagai redaktur yang unik. Redaktur yang di atas meja kerjanya hanya bertumpukan naskah-naskah kiriman dari para penulis. Bukan seperangkat computer canggih. Dalam bekerja, beliau mengandalkan alat manual. Hingga hasilnya tidak mengundang risiko tinggi. Serangan virus ganas atau terhapus oleh sekelompok tangan usil. Â
Kepribadian Mas Hadjid sebagai Pimpinan Redaksi
HAMPIR tidak ada bedanya saat menemui Mas Hadjid Hamzah di rumah pribadinya dengan di kantor redaksinya. Kesan yang saya tangkap, beliau seorang pemimpin arif. Beliau mampu membangun jalinan kerja dengan para stafnya yang tidak memunculkan image interaksi atasan dan bawahan. Melainkan jalinan kerja antar anggota keluarga yang memiliki spirit tunggal dalam meningkatkan kualitas kerja. Bekal utama di dalam upaya mengembangkan media yang dikelolanya.Â