"Kalau pintar, kau pasti mengerjakan pr-mu. Kau harus sekolah."
"Tak. Aku tak ingin menjadikan kepintaran sebagai peluru untuk mencapai kemenangan sendiri. Tak memedulikan darah, air mata, dan peluh kawan seperjuangan."
"Lantas?"
"Aku ingin jadi pahlawan yang cerdas dan jujur, Bu."
Darah Eliana mengalir deras ke pusat otak. Ia ingin menghajar anak itu, lantaran kejengkelannya. Tetapi, akal warasnya masih mampu menangkap bisikan Tuhan. "Baiklah. Aku restui cita-citamu untuk menjadi pahlawan. Namun sebelum matahari terbit, kau sudah mengemasi barang-barangmu. Pergi dari rumah ini."
Eliana meninggalkan ruang belajar. Membanting pintu. Keras-keras.
Menyaksikan kemarahan ibunya, wajah Sansan tak berubah. Apalagi menangis seperti kawan sebayanya yang sedang dimarahi orang tuanya. Baginya, pintu itu hanya dianggapnya tertimpa angin kencang. "Tak apa-apa, Sansan," bisik hatinya pada dirinya sendiri.
Kembali Sansan menyaksikan cicak-cicak yang tengah membantai sekawanan nyamuk. Sontak darahnya menggelegak, saat cicak terakhir dengan perut buncit meninggalkan calon mangsanya yang masih beterbangan ke sana ke mari. Hasratnya semakin berkobar. Ia ingin melacak di mana cicak-cicak itu tidur dengan perut kekenyangan. Ia berhasrat membantainya.
Bergegas Sansan meninggalkan ruang belajar. Menuju dapur. Mencari pisau yang selalu dipakai ibunya untuk mengiris tomat, wortel, kol, dan daging. Pisau yang terletak di rak besi dekat sendok dan garpu itu telah dilihatnya. Aneh! Ia urung mengambilnya. Pisau itu dipikirnya tak cerdas sebagai alat pembunuh.
Bersijingkat. Sansan menuju kamar tidur mendiang Kakek Abraham yang selama ini dibiarkan kosong. Kamar yang menurut ayahnya sebagai tempat  menyimpan pistol tua millik Kakek Abraham. Konon, pistol itu akan diwariskan pada ayahnya. Tetapi, si ayah menolak. Ia tak berhasrat menjadi tentara.
Perlahan-lahan Sansan membuka pintu. Agar ibu, ayah, dan kakak-kakaknya tak mendengar langkahnya menuju ruang yang diyakininya berhantu. Hantu berbaju dan bercelana loreng, bersepatu but, dan bertopi kebesaran seorang perwira tinggi yang menyerupai Kakek Abraham. Di bawah bolam 5 watt, ia menuju almari. Membuka pintunya yang tak terkunci. Di bawah lipatan seragam di rak atas almari itu, ia menemukan pistol yang diselimuti debu. Namun, sial! Tak sebutir peluru ia temukan.