"Tentu."
"Kakekmu yang mantan perwira tinggi itu telah menyesalkan nasibnya sebagai pahlawan. Mesin pembunuh."
"Kakek salah besar! Bukankah Kakek telah membunuh penindas-penindas bangsa negeri ini?" Sansan memunguti alat tulisnya di lantai. Memasukkannya ke kotak itu kembali. Menunjuk pada cicak yang baru melahap nyamuk. "Bukankah Kakek adalah cicak itu?"
"Kakek yang menemui ajalnya sesudah diterkam anak buahnya sendiri?"
"Barangkali."
"Apakah kau masih bermimpi jadi pahlawan?"
Sansan diam.
"Nasibmu akan setragis kakekmu. Panglima tertinggi yang mati oleh Kopral John. Bawahan yang kemudian menjadi presiden hampir setengah abad itu!" Ibu Eliana memungut buku sejarah pelajaran Sekolah Dasar kelas 6 yang tergeletak di meja belajar. Membuka halaman ke sekian. Memerlihatkan mantan potret orang pertama negeri ini yang kursi kekuasaannya dihancurkan oleh rakyatnya sendiri. "Dialah koruptor itu."
"Kakek mati karena kejujurannya sendiri. Ia tak cerdas."
"Kau juga bodoh kan?"
"Tak!"