ENTAH sejak kapan, perempuan paruh baya itu selalu menghabiskan waktunya di ambang senja. Duduk di balik jendela ruangan depan lantai ketiga rumah yang baru dibangun tiga bulan silam oleh Bram menantunya. Si pemilik pabrik tekstil dekat hulu sungai yang mengalir tak jauh dari tumah itu.
Perempuan paruh baya yang dipanggil Uti Putri oleh Vico dan Nico cucunya itu sesekali mengarahkan pandangnya ke luar. Menyaksikan sungai anyir kecoklatan yang mengalir tersendat-sendat dari balik jendela terbuka. Sungai yang membawa sampah bercampur limbah. Sungai yang selalu meluapkan bah hingga membenamkan rumah-rumah ketika musim hujan.
Bila menyaksikan sungai itu, Uti Putri ingin kembali ke kampung. Tinggal di tengah keperawanan desa yang jauh dari bah, sampah, dan limbah. Hidup dalam suasana hangat dan persahabatan, meskipun hari-hari serasa sunyi. Karena hidup tanpa suami yang telah meninggal setahun silam. Tanpa anak-anak yang telah memisahkan diri untuk hidup bersama pasangannya.
Di luar, lampu-lampu mulai menyala. Uti Putri belum beranjak dari kursi. Perhatiannya masih tercurah pada sungai yang mengalir kecoklatan itu. Sungai yang serasa mengisyaratkan bahwa petaka segera tiba. Uti Putri tersentak, saat onggokan-onggokan sampah yang mengalir tersendat di sungai itu tampak serupa mayat-mayat bayi, anak-anak, dan perempuan atau lelaki dewasa.
Karena ketakutan, Uti Putri menutup jendela berikut kordennya dengan gemetar. Belum sempat menekan saklar lampu untuk memberikan pencahayaan pada ruangan itu, Uti Putri dipanggil Yan anak sulungnya dari ruang makan di lantai dua rumah itu. "Bu! Makan dulu. Mas Bram, Vico, dan Nico sudah menunggu."
Uti Putri meninggalkan ruangan yang dibiarkan gelap. Menuruni tangga kayu coklat tua. Melangkah ke meja makan yang dipenuhi hidangan. Menyantap sedikit nasi, sayuran, dan sesiung jeruk; karena tak berselera makan saat teringat sungai yang mengalirkan onggokan-onggokan sampah senampak mayat-mayat manusia itu.
Perut Uti Putri mendadak mual. Tanpa mengucap sepatah kata, Uti Putri menuju toilet. Memuntahkan seluruh isi perut. Karena kepala terasa dipilin-pilin, Uti Putri memasuki kamarnya. Berangkat tidur hingga mimpi buruk. Sungai yang disaksikan pada ambang senja tadi meluapkan banjir darah. Membenamkan rumah milik Bram yang kini disinggahinya.
***
SEBELUM matahari terbit, penghuni di rumah Bram itu tinggal menyisakan Uti Putri dan pelayan yang masih berusia muda. Bram meninjau pabrik tekstilnya. Yan mengantarkan Vico dan Nico ke sekolahnya sebelum pergi ke mini marketnya di bilangan pusat kota.
Kepada Uti Putri yang masih mengurung di kamar tidurnya, pelayan itu memberanikan diri untuk menemuinya. Mengetuk pintu berulang kali. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dari dalam bersama munculnya Uti Putri dengan wajah senampak matahari yang terbalut awan tipis.
"Ada apa pelayan, kamu ketuk-ketuk pintu kamarku?" tanya Uti Putri. "Adakah sesuatu yang penting untuk kamu sampaikan padaku?"
"Tak ada, Nyonya Tua."
"Kalau tak ada, kenapa kamu menggangguku?" Uti Putri tampak jengkel. "Dari pada hanya menggangguku lebih baik kamu bereskan pekerjaanmu!"
"Maaf...." Pelayan itu menjawab dengan nada santun. "Saya tak bermaksud mengganggu Nyonya Tua. Saya hanya ingin menyampaikan pesan Nyonya Muda sebelum berangkat ke mini marketnya. Pesan beliau, seyogianya Nyonya Tua tak melupakan sarapan. Beliau tak ingin Nyonya Tua jatuh sakit. Hidangan sudah saya sajikan di meja makan."
"Terima kasih. Tapi, sayang. Pagi ini, saya tak berselera makan."
"Apakah masakan saya tak enak, Nyonya Tua?"
"Masakanmu enak. Tapi setiap saya akan makan, selalu teringat dengan pemandangan yang sangat mengerikan. Mataku melihat bahwa sungai yang mengalir tak jauh dari rumah ini tak hanya membawa sampah bercampur limbah, namun juga mayat-mayat manusia. Sungguh saya tak lagi kerasan tinggal di rumah ini. Lebih baik baik kembali tinggal di desa."
Mendengar sungai itu disebutkan oleh Uti Putri, pelayan sontak teringat cerita dari orang-orang. Cerita tentang sungai itu yang pernah banjir besar di pertengahan tahun silam hingga menelan korban ratusan jiwa manusia. Selebihnya, harta dan benda yang tak sempat diselamatkan oleh pemiliknya.
"Sudahlah!" perintah Uti Putri pada pelayan itu. "Lebih baik kamu selesaikan pekerjaanmu, ketimbang ngurusi diriku!"
Sebelum pelayan itu memberikan jawaban melalui setangkup bibir yang basah lipstik merah mawar, Uti Putri menutup pintu kamarnya dari dalam. Merasa tak dihargai oleh Uti Putri, pelayan yang kemudian melangkah ke arah mesin cuci dekat dapur itu menggerundel dalam hati. Baru menghidupkan mesin cuci, pikiran pelayan itu tak pada pekerjaan. Melainkan pada sungai yang sewaktu-waktu akan meluapkan banjir besar lagi. Mendadak pelayan mulai tak kerasan bekerja di rumah itu.
***
UTI Putri tak lagi menghabiskan waktunya untuk duduk di balik jendela ruangan depan lantai ke tiga rumah itu pada ambang senja. Sehari sesudah berbicara dengan pelayan itu, Uti Putri meninggalkan rumah Bram tanpa sepengetahuan siapapun. Karenanya, Yan menjadi bingung atas kepergian ibunya.
"Pelayan..." panggil Yan. "Kamu tak perlu bekerja hari ini."
"Maksud, Nyonya Muda?"
"Pergilah ke alamat ini!" Yan memberikan alamat Uti Putri yang tertulis di selembar kertas. "Saya percaya, kalau Ibu pulang ke desa. Bujuklah agar Ibu mau kembali ke ibukota!"
"Perintah Nyonya Muda akan saya laksanakan."
Sesudah memberikan uang saku secukupnya pada pelayan, Yan mengantarkan Vico dan Nico ke sekolah sebelum menunggui mini marketnya. Sementara pelayan itu bergegas mempersiapkan segala perbekalan untuk menemui Uti Putri yang menurut dugaan Yan pulang ke desa.
Tak meleset dugaan Yan. Sesudah bertemu dengan Uti Putri di desa, pelayan itu mulai melanacarkan bujukan-bujukannya. Semula Uti Putri tak berniat kembali ke ibukota, lantaran sungai yang mengalir tak jauh dari rumah Bram itu sudah seperti teroris. Namun ketika pelayan itu berbohong kalau Vico dan Nico sakit keras, Uti Putri berubah pikiran untuk kembali ke rumah Bram. Bukan untuk kembali selamanya, melainkan untuk menjenguk kedua cucunya yang sangat dicintainya.
***
SEJAK semalam, guntur meledak-ledak. Namun hujan baru turun sesudah Uti Putri dan pelayan tiba di terminal desa pagi itu. Dengan Angkudes, mereka menuju stasiun. Dengan kereta, mereka menuju ibukota. Dari balik jendela kaca kereta, hujan tampak di mata Uti Putri kian menderas. Petir bagai naga api yang mencabik-cabik langit berawan kelabu. Angin menggoncang-goncangkan pepohonan.
Kereta terus melesat bagai anak panah yang terlepas dari busur. Di stasiun dekat pinggiran ibukota, kereta mendadak berhenti. Tak hanya penumpang lainnya, Uti Putri dan pelayan harus turun dari kereta. Sesudah petugas stasiun mengumumkan, "Perjalanan kereta ditunda. Rel yang melintasi sungai di pinggiran ibukota terbenam air bah."
Tak ada pilihan yang harus diambil oleh Uti Putri dan pelayan, selain mengambil jalur alternatif. Dengan taksi, mereka meninggalkan ruang tunggu stasiun. Menuju rumah Bram. Sepanjang perjalanan, hati Uti Putri berdebar-debar. Serasa meninggalkan anak kecil sendirian di tepi kolam tak berpagar.
Sebelum sampai tujuan, taksi berhenti di bibir jalan menurun yang digenangi air setinggi pinggang orang dewasa. Dengan terpaksa, Uti Putri dan pelayan harus naik perahu karet. Dari perahu karet, mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dari kejauhan, mereka menyaksikan barisan ribuan pengungsi.
Saat berpapasan dengan para pengungsi; Uti Putri yang kian gusar hatinya mencari-cari Bram, Yan, Nico, dan Vico. Karena tak menemukan, Uti Putri bertanya pada beberapa pengungsi tentang keberadaan keluarga Bram. Namun, tak seorang pun memberikan jawaban. Mereka tampak lebih mementingkan keluarga dan diri sendiri.
Uti Putri melanjutkan perjalanan ke rumah Bram. Dari jarak cukup jauh, Uti Putri mulai melihat rumah Bram yang terbenam air bah. Jantung Uti Putri berdegup kencang. Pandangannya berkunang-kunang hingga jatuh pingsan sesudah mendengar celoteh orang-orang yang berhasil diselamatkan oleh tim SAR, "Keluarga Bram yang terseret banjir tengah dalam pencarian."
***
SEMINGGU sepulang dari rumah sakit, Uti Putri merasa kalau rumah milik Bram yang telah dibersihkan oleh pelayan itu sesenyap kuburan tua. Tak ada panggilan 'Uti Putri' dari Vico dan Nico. Tak ada makan bersama dengan keluarga Bram. Tak terdengar lagi perintah ini-itu dari Yan pada pelayan. Hari demi hari, Uti Putri menjalani waktu kehidupannya yang tersisa dengan senyap jiwa.
Karena tak menyaksikan lagi onggokan-onggokan sampah yang mengalir di sungai itu serupa mayat-mayat manusia, Uti Putri kembali suka menghabiskan waktu untuk duduk berlama-lama di balik jendela ruangan depan lantai ketiga rumah milik Bram pada ambang senja. Namun pada ambang senja ke sekian, jantung Uti Putri mendadak copot. Manakala sepasang matanya menangkap pemandangan sangat mengerikan dari negeri arwah. Bagai sekawanan serigala; Bram, Yan, Vico, dan Nico yang duduk berderet di tepian sungai itu mengokop air sungai bercampur limbah. [Sri Wintala Achmad]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H