Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bah

11 Februari 2018   03:48 Diperbarui: 11 Februari 2018   05:55 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pelayan..." panggil Yan. "Kamu tak perlu bekerja hari ini."

"Maksud, Nyonya Muda?"

"Pergilah ke alamat ini!" Yan memberikan alamat Uti Putri yang tertulis di selembar kertas. "Saya percaya, kalau Ibu pulang ke desa. Bujuklah agar Ibu mau kembali ke ibukota!"

"Perintah Nyonya Muda akan saya laksanakan."

Sesudah memberikan uang saku secukupnya pada pelayan, Yan mengantarkan Vico dan Nico ke sekolah sebelum menunggui mini marketnya. Sementara pelayan itu bergegas mempersiapkan segala perbekalan untuk menemui Uti Putri yang menurut dugaan Yan pulang ke desa.

Tak meleset dugaan Yan. Sesudah bertemu dengan Uti Putri di desa, pelayan itu mulai melanacarkan bujukan-bujukannya. Semula Uti Putri tak berniat kembali ke ibukota, lantaran sungai yang mengalir tak jauh dari rumah Bram itu sudah seperti teroris. Namun ketika pelayan itu berbohong kalau Vico dan Nico sakit keras, Uti Putri berubah pikiran untuk kembali ke rumah Bram. Bukan untuk kembali selamanya, melainkan untuk menjenguk kedua cucunya yang sangat dicintainya.

***

SEJAK semalam, guntur meledak-ledak. Namun hujan baru turun sesudah Uti Putri dan pelayan tiba di terminal desa pagi itu. Dengan Angkudes, mereka menuju stasiun. Dengan kereta, mereka menuju ibukota. Dari balik jendela kaca kereta, hujan tampak di mata Uti Putri kian menderas. Petir bagai naga api yang mencabik-cabik langit berawan kelabu. Angin menggoncang-goncangkan pepohonan.

Kereta terus melesat bagai anak panah yang terlepas dari busur. Di stasiun dekat pinggiran ibukota, kereta mendadak berhenti. Tak hanya penumpang lainnya, Uti Putri dan pelayan harus turun dari kereta. Sesudah petugas stasiun mengumumkan, "Perjalanan kereta ditunda. Rel yang melintasi sungai di pinggiran ibukota terbenam air bah."

Tak ada pilihan yang harus diambil oleh Uti Putri dan pelayan, selain mengambil jalur alternatif. Dengan taksi, mereka meninggalkan ruang tunggu stasiun. Menuju rumah Bram. Sepanjang perjalanan, hati Uti Putri berdebar-debar. Serasa meninggalkan anak kecil sendirian di tepi kolam tak berpagar.

Sebelum sampai tujuan, taksi berhenti di bibir jalan menurun yang digenangi air setinggi pinggang orang dewasa. Dengan terpaksa, Uti Putri dan pelayan harus naik perahu karet. Dari perahu karet, mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dari kejauhan, mereka menyaksikan barisan ribuan pengungsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun