Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bah

11 Februari 2018   03:48 Diperbarui: 11 Februari 2018   05:55 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tak ada, Nyonya Tua."

"Kalau tak ada, kenapa kamu menggangguku?" Uti Putri tampak jengkel. "Dari pada hanya menggangguku lebih baik kamu bereskan pekerjaanmu!"

"Maaf...." Pelayan itu menjawab dengan nada santun. "Saya tak bermaksud mengganggu Nyonya Tua. Saya hanya ingin menyampaikan pesan Nyonya Muda sebelum berangkat ke mini marketnya. Pesan beliau, seyogianya Nyonya Tua tak melupakan sarapan. Beliau tak ingin Nyonya Tua jatuh sakit. Hidangan sudah saya sajikan di meja makan."

"Terima kasih. Tapi, sayang. Pagi ini, saya tak berselera makan."

"Apakah masakan saya tak enak, Nyonya Tua?"

"Masakanmu enak. Tapi setiap saya akan makan, selalu teringat dengan pemandangan yang sangat mengerikan. Mataku melihat bahwa sungai yang mengalir tak jauh dari rumah ini tak hanya membawa sampah bercampur limbah, namun juga mayat-mayat manusia. Sungguh saya tak lagi kerasan tinggal di rumah ini. Lebih baik baik kembali tinggal di desa."

Mendengar sungai itu disebutkan oleh Uti Putri, pelayan sontak teringat cerita dari orang-orang. Cerita tentang sungai itu yang pernah banjir besar di pertengahan tahun silam hingga menelan korban ratusan jiwa manusia. Selebihnya, harta dan benda yang tak sempat diselamatkan oleh pemiliknya.

"Sudahlah!" perintah Uti Putri pada pelayan itu. "Lebih baik kamu selesaikan pekerjaanmu, ketimbang ngurusi diriku!"

Sebelum pelayan itu memberikan jawaban melalui setangkup bibir yang basah lipstik merah mawar, Uti Putri menutup pintu kamarnya dari dalam. Merasa tak dihargai oleh Uti Putri, pelayan yang kemudian melangkah ke arah mesin cuci dekat dapur itu menggerundel dalam hati. Baru menghidupkan mesin cuci, pikiran pelayan itu tak pada pekerjaan. Melainkan pada sungai yang sewaktu-waktu akan meluapkan banjir besar lagi. Mendadak pelayan mulai tak kerasan bekerja di rumah itu.

***

UTI Putri tak lagi menghabiskan waktunya untuk duduk di balik jendela ruangan depan lantai ke tiga rumah itu pada ambang senja. Sehari sesudah berbicara dengan pelayan itu, Uti Putri meninggalkan rumah Bram tanpa sepengetahuan siapapun. Karenanya, Yan menjadi bingung atas kepergian ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun