Ruangan akbar itu sesak penuh.
Dibanjiri lebih dari separuh anggota partai. Tampang-tampang marah, mangkel, sedih, jengkel bercampur aduk jadi satu. Dibarengi Muklas, aku melangkah menuju tengah ruangan, yang sudah disiapkan podium tinggi dengan pengeras suara.
Seketika seruan-seruan semangat terdengar di langit-langit ruangan, meneriakkan nama Toha berkali-kali. Beberapa dari mereka merangsek, berusaha menyalamiku. "Kau datang, Azki. Kau ternyata datang." Aku tersenyum. Tentu saja aku datang.
Satu-dua berusaha memelukku, berseru histeris. "Kami tercerai berai, Az. Semua kehilangan pegangan. Kau bicaralah. Serukan apa pun yang harus diserukan, satukan lagi kami semua." Aku mengangguk, tentu saja itu akan kulakukan.
Aku menaiki podium tinggi bersama Muklas, tanpa kursi, lupa disiapkan, darurat. Semua orang berdiri, mengelilingi podium, menatapku. Teriakan-teriakan berhenti, bahkan satu potong kalimat pun lenyap dari ruangan akbar saat Muklas mengangkat tangan, meminta perhatian. Muklas kemudian berbisik, menyerahkan semua urusan kepadaku.
Aku menepuk bahu Muklas, menatapnya penuh penghargaan, lantas mengambil posisi di depan speaker, melihat ke seluruh ruangan. Ribuan anggota partai itu ada di sini, bersiap mendengarkanku.
"Hadirin!" Aku berkata mantap--meski suaraku bergetar oleh emosi.
Diam sejenak, menatap sekeliling lagi, memberikan momen menanti.
"Hadirin! Bertahun-tahun lamanya aku mempunyai pertanyaan besar yang sampai hari ini tidak pernah kutemui jawabannya.
"Bertahun-tahun aku menghabiskan waktu di bangku sekolah, membaca buku-buku politik, menelaah jurnal akademis perihal demokrasi, menemui guru-guru hebat, politikus senior, menemui orang-orang bijak, tapi jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah kunjung kutemukan.Â