Kusesap secangkir kopi seorang diri, karena di halaman mendung mengantri,Â
ingin kumiliki setiap kata-kata basah yang pasrah menimpa tanah sore ini,Â
tapi hujan berkata itu semua properti pribadi milik Bumi, jelas tak mampu kubeliÂ
tak hilang akal, kusiapkan seperangkat kediaman sebab dia menolak dibuang ke kamar mandi.Â
Kubuka lembar buku sejarah, membaca bagian bagaimana cara membentuk negara,Â
satukan mulut besar dengan kebohongan yang diulang-ulang sepanjang hariÂ
maka terciptalah ribuan mesin pelaksana perintah apa sajaÂ
dan kulihat tubuhku, daging berusus hitam karena kopi menolak untuk dicerna.Â
Aku patuh kepada segala perintahmu, dari seseorang yang semenjak pagi hingga sore selalu bertanya.Â
Aku tidak memiliki wewenang atas diri sendiri, tak sanggup melakukan perlawanan.Â
Engkau tirani, dan aku adalah rakyat yang diperintah setiap hari.Â
Tapi tak sanggup kulakukan revolusi, berontak meminta kebebasan dan keadilan.Â
Telanjur kurantai kakiku secara sukarela, dan kuncinya kutelan masuk ke saluran pencernaan.Â
Kulihat pemandangan sore hari menjelang senja,Â
kutumpahkan sisa-sisa kopi ke atas genangan yang timbul dari hujan tadi.Â
Kini giliranmu bertamu dengan dandanan toga upacara sarjana,Â
aku diam mendengarmu bercerita mengenai kesulitan skripsi dan pahit revisi.Â
Tak mampu kubagi ceritaku, hari-hariku sama sekali tidak menarikÂ
hanya jejalan kemalasan yang kuhabiskan dengan menulis larik-larik.Â
Mengenai diriku, mengenai dirimu. Mengenai sekitarku, bukan sekitarmu.Â
Dan kudapati puisi ini masih miskin diksi.Â
(Makassar, Mei 2016)Â
_
Catatan : Puisi ini pernah dimuat di rubrik Literasi SKH Lombok Post edisi 16 Oktober 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H