Aku yang semenjak lahir telah berdiam di Makassar sering mendengar cerita serupa. Tapi belum pernah mengalaminya, sejauh ini.
“Aku pernah membaca buku bahwa ada dua alam di semesta ini. Alam nyata dan alam gaib di mana hal-hal tidak kasat mata dan di luar nalar terjadi,” kuredakan ketegangan yang merayapi kulit leherku dengan cara kembali menuang teh ke gelas.
“Betul, meneer. Aku juga pernah mendengarnya,” dia mengunyah biskuit dengan pancar kebingungan yang belum juga reda.
“Mungkin ini semacam pertanda, Wallace. Pembawa kabar,”
Wallace berubah raut mukanya, bingung menjadi terkejut.
“Ka… Kabar macam apa itu, meneer Mesman?” Dia bertanya sedikit tergagap.
“Entahlah, hanya Tuhan yang tahu apa itu. Semoga pertanda baik,”
Selanjutnya kami hanya menghabiskan teh dan biskuit dalam diam tanpa narasi.
***
Hari Senin. Bisa dipastikan sibuk lagi. Rutinitas memeriksa muatan kopi yang akan berangkat, dan memeriksa laporan keuntungan. Aku baru tiba di kantor pagi ini saat salah satu pegawaiku datang membawa surat dari Wallace. Ada apa? Wallace bertolak menuju Ambon seminggu yang lalu lengkap dengan muatan ratusan bingkai kupu-kupu dan jasad binatang yang diawetkan.
Kubaca surat tersebut. Rupanya kabar kalau atasan Wallace di London sangat puas dengan laporan-laporan pejelajahan hingga mereka bersedia menambah biaya perjalanannya dan akan langsung kembali ke Makassar jika penjelajahannya di Kepulauan Aru telah selesai. Berita bagus. Berarti rumah panggung sederhana milikku harus dipugar dan diperluas untuk kenyamanan Wallace nanti. Namun surat itu ditutup dengan kalimat :