Mohon tunggu...
Achmad Hid. Alsair
Achmad Hid. Alsair Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa semester akhir, #GGMU @Man_Utd, ISFJ, hobi baca buku bertema sejarah, jatuh cinta dengan sastra dan gemar diskusi isu-isu internasional.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Wallace di Makassar

26 April 2017   00:41 Diperbarui: 26 April 2017   09:00 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Terima kasih, meneer,” Wallace mengangkat gelas tehnya, gestur salut ala orang Eropa.

“Aku datang kesini tidak untuk basa-basi bisnis kopi, itu menjemukan. Bisa kau ceritakan saja pengalamanmu?” Kutuang teh hangat untuk menemani pembicaraan.

“Tampaknya meneer hari ini bosan di kantor, ya? Baiklah. Ada satu yang menarik. Dua minggu yang lalu, aku berkuda ke daerah perbatasan Maros bersama Ali dengan niat berburu kupu-kupu. Berangkat siang, tiba agak petang. Begitu sampai, kami mencari hewan untuk makan malam dulu. Entah ayam hutan atau yang lain, tergantung keberuntungan.

“Kami sepakat mengambil jalur berburu yang berbeda. Aku berbekal tombak dan sinar purnama menelusuri hutan mencari hewan untuk disantap. Sekitar dua puluh menit berburu, aku kemudian melihat sesuatu yang aneh. Sesosok kupu-kupu yang sayapnya mengeluarkan pendar kekuningan melintas di hadapanku. Terang saja aku langsung penasaran, kuikuti saja kupu-kupu ajaib itu, barangkali bisa kujadikan spesimen koleksi.

“Lumayan jauh kuikuti kupu-kupu tersebut, sampai memasuki daerah hutan yang lebat dan gelap. Aku terhipnotis, cahayanya begitu terang, seolah merayu untuk mengikuti kepak lemahnya. Tak lama kemudian, kupu-kupu itu berubah menjadi sosok perempuan bersayap. Demi Tuhan. Aku melihatnya.

“Berdiri dengan sayap keemasan, bentangnya bahkan lebih lebar dari pondok ini. Aku seketika gemetar, sampai-sampai lunglai dan tak sengaja menjatuhkan tombak,” Wallace terdiam sejenak.

“Lalu apa yang terjadi?” Aku bertanya, penasaran juga.

“Dia berbicara dalam bahasa daerah, yang anehnya aku mengerti. Kalau tidak salah ingat dia mengatakan ‘Temanmu dalam bahaya, lekas selamatkan dia’. Begitu saja, singkat. Dia menghilang, begitu cepat, lalu gelap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

“Aku butuh waktu lama untuk menyadari apa yang baru saja kualami dan memulihkan kewarasan. Kemudian kudengar teriakan Ali, memantul-mantul di sela pepohonan. Suaranya tak jauh dari tempatku berdiri. Segera saja aku berlari menuju sumber suara. Rupanya Ali jatuh di lubang perangkap babi hutan milik penduduk. Untung tangannya masih berpegang pada pinggiran lubang. Segera kuraih tangannya lalu menariknya keluar. Tak ada hewan yang berhasil didapat malam itu. Kami yang kelaparan terpaksa memutuskan berkuda menuju rumah kakakmu dan baru tiba sekitar jam dua dinihari.”

“Pengalaman mistis… Jadi apa kau ingin menulisnya di laporanmu?” Aku bertanya dengan bulu roma merinding. Pengalaman seperti itu jarang dialami oleh orang Eropa sebab mereka memilih untuk tinggal di rumah atau bepergian saat terang. Wallace tergolong berani.

“Tidak, aku kesini bukan mencari hal supranatural,” ujar Wallace sambil menggaruk keningnya yang berkerut memancarkan kebingungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun