[caption caption="(Gramedia)"][/caption]
“Keberhasilan tidak diukur dari pengakuan orang-orang lain atas karya kita.
Keberhasilan adalah buah dari benih yang kau tanam dengan penuh cinta.”
(Hal. 135)
Judul Buku : Manuskrip Yang Ditemukan Di Accra
Penulis : Paolo Coelho (Diterjemahkan oleh Tanti Lesmana)
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2014
Tebal : 203 Halaman
Paolo Coelho, seorang penulis yang menekankan pada tema-tema sentral mengenai problema manusia dalam menjalani hari-harinya, telah banyak memikat orang dengan visinya yang sangat mendalam mengenai pemahaman akan jiwa manusia. Hal itu merupakan hasil sintesisnya atas berbagai ajaran agama, sehingga pesan-pesan yang dia bawa dalam buku-bukunya sanggup mengena di hati para pembaca yang datang dari berbagai latar belakang.
Pada kata pengantar, buku “Manuskrip Yang Ditemukan Di Accra” adalah sebuah salinan dari dokumen papirus yang ditemukan pada tahun 1945 di Hamra Don, utara Mesir. Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya dokumen tersebut di bawa oleh seorang arkeolog Inggris, Sir Walter Wilkinson, ke negaranya setelah memperoleh izin dari pemerintah Mesir. Paolo Coelho sendiri mengaku mendapatkan salinan teks dokumen tersebut dari anak Sir Walter pada 2011 dan menjadi bahan utama untuk buku ini.
Dalam buku ini, Paolo Coelho mengambil latar belakang waktu kejadian pengepungan Yerusalem oleh Tentara Salib pada tahun 1099. Di saat kota tersebut tengah bersiap untuk berperang, sekelompok orang memilih untuk berkumpul di sebuah lapangan untuk mendengar berbagai petuah yang dikatakan oleh “Sang Guru”, seorang tua bijak dengan banyak pengalaman mengenai hidup. Sang Guru ingin agar orang-orang tersebut bertanya hal-hal mengenai permasalahan hidup yang menimpa mereka, dengan harapan jawaban-jawaban tersebut dapat terus diingat oleh anak cucu nanti. Maka orang-orang mulai mengajukan berbagai pertanyaan, mulai dari makna perang; kesendirian; kekalahan; cinta; keberuntungan; mukjizat; dan lain-lain.
Membaca buku ini adalah sebuah perenungan penuh nasihat-nasihat bijak lagi bermakna yang datang dari seseorang dengan segudang pengalaman pahit manis hidup. Dan orang tersebut membagikannya secara sukarela tanpa mengharap imbalan karena tujuannya hanya untuk menyadarkan manusia mengenai pertarungan terbesar mereka dengan isi hati dan kebimbangan.
Nasihat-nasihat yang dikatakan oleh tokoh “Sang Guru” sangat mengena. Tutur kata yang bijak dan analogi-analogi yang mudah dimengerti membuat saya sanggup mendapat inti dari “jawaban” Sang Guru. Jawaban-jawaban yang lugas juga menimbulkan sebuah perenungan tersendiri dalam hati mengenai hal-hal yang telah terjadi dan cara menjalani hidup ini. Sebagai contoh, nasihat Sang Guru mengenai kesetiaan: “Dan karena kesetiaan adalah pilihan, dia takkan lekang oleh waktu dan takkan terpengaruh oleh konflik sesaat.” (Hal. 178)
Di bagian lain mengenai perbedaan, tokoh Sang Guru mengatakan “Keindahan ada pada perbedaan, bukan keseragaman. Siapa bisa membayangkan jerapah tanpa lehernya yang panjang, atau kaktus tanpa duri-durinya? Puncak-puncak gunung yang mengelilingi kita tampak begitu megah justru karena tinggi-rendahnya berbeda-beda. Kalau semuanya kita pukul sama rata, hilanglah kekaguman kita pada mereka.” (Hal. 72)
Buku ini seolah menjadi sebuah sarana untuk melihat ke dalam diri mengenai keragu-raguan yang selalu menimpa manusia akan segala sesuatu. Mulai dari rasa bersalah terhadap masa lalu, cinta yang tak kunjung datang, kesabaran akan sebuah hal, pentingnya rasa kedamaian, dan lain-lain. Berdamai dengan hati menjadi hal yang utama sebab hati adalah kunci manusia untuk memahami segala sesuatu yang ada di bumi ini. Segala nasihat bijak dari Sang Guru juga memberi motivasi kepada pembacanya mengenai cara untuk menjalani hidup tanpa harus dibayangi oleh rasa ketidakpastian serta pentingnya keyakinan di dalam diri.
Jika ditilik dari umur manuskrip yang lebih dari 1000 tahun, apa yang dijabarkan oleh Sang Guru masih relevan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini. Problema hidup yang ada sehari-hari tetap sama dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang yang mendengar nasihat Sang Guru 1000 tahun yang lalu. Ini menjadi bukti bahwa manusia selalu dihadapkan oleh pilihan sulit sehingga terkadang bimbang untuk mengambil keputusan. Ketidakyakinan dalam diri menjadi penghalang manusia untuk mengambil resiko. Sang Guru menekankan bahwa mengambil resiko adalah sebuah bentuk dari penyerahan diri kepada Sang Pencipta, sebab mereka yang mengambil resiko berani untuk memasrahkan diri pada nasib yang merupakan misteri dari Sang Pencipta.
Membaca buku ini lembar demi lembar, saya sadar bahwa keraguan masih banyak menghiasi benak orang lain (dan saya sendiri). Namun dibutuhkan sebuah dorongan lebih serta nasihat dari orang-orang bijak dalam menyikapi hal tersebut. Tokoh “Sang Guru” dalam buku ini seolah-olah hadir di hadapan saya dan memberi nasihat mengenai hidup ini, memberi motivasi dan dorongan kepada diri untuk merubah pandangan saya mengenai cara menjalani hidup dengan penuh antusiasme dan keyakinan untuk segala hal.
“Sungguh malang mereka yang berpikir, ‘Aku tidak cantik. Itu sebabnya Cinta belum mengetuk pintuku.’ Sesungguhnya Cinta telah datang mengetuk, tapi saat mereka membuka pintu, mereka belum siap menyambut kedatangan Cinta.” (Hal. 73)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H