Saat ini Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri. Dan setiap tahun angkanya semakin tinggi seiring dengan pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang mengaspal di jalanan. Dengan semakin tingginya permintaan akan minyak mentah dunia, otomatis anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri juga akan semakin membesar.
Apalagi mata uang yang digunakan untuk membayar biaya impor BBM dari luar negeri masih menggunakan mata uang US Dllar. Yang mana, kita semua tahu bahwa nilai mata uang Rupiah terhadap US Dollar terus melemah selama beberapa tahun belakangan ini. Jika pasar internasional mengalami goncangan atau kontraksi bisa dipastikan nilai mata uang Dollar akan semakin tinggi dan sebaliknya nilai mata uang Rupiah akan semakin terpuruk.
Dengan semakin tingginya nilai mata uang Dollar dan juga tingginya harga minyak mentah dunia, keadaan ini akan membuat APBN mengalami defisit yang semakin lama nilainya akan semakin membesar. Dan salah satu cara yang ditempuh untuk mengurangi defisit dari APBN adalah dengan menambah utang baru dari luar negeri. Siklus ini bagaikan sebuah lingkaran setan tanpa adanya jalan keluar.
Apalagi situasi yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam lima tahun ke depan sangat menantang dan penuh dengan ketidakpastian. Oleh karena itu, calon presiden Prabowo Subianto yang saat ini masih menjabat sebagai Menhan melontarkan sebuah ide besar yang juga menjadi janji dari kampanyenya.
"Kita tidak akan impor BBM lagi saudara-saudara sekalian. Dari kelapa sawit, jagung, dan tebu," kata Prabowo dalam acara Dialog Publik di Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Harapan swasembada energi hingga pangan memang menjadi bagian dari janji Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di pilpres 2024. Namun, muncul sebuah pertanyaan mendasar mengenai ide untuk menghentikan impor BBM dan menggantinya dengan energi terbarukan. "Bisakah ide itu diwujudkan dalam kurun waktu lima tahun ke depan?"
Melihat situasi dan kondisi Indonesia akhir-akhir ini, sepertinya rencana untuk menghentikan impor BBM dan menggantinya dengan energi terbarukan akan mengalami kegagalan. Ada beberapa faktor yang membuat ide itu tidak bisa dijalankan, antara lain:
Pertama, sampai saat ini belum ada penelitian serta kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai efek dari penggunaan energi terbarukan terhadap mesin-mesin yang selama ini menggunakan bahan bakar dari fosil. Penerapan kebijakan ini tentu saja membutuhkan kajian yang mendalam dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk mengetahui secara pasti dampak positif dan negatif dari mesin yang menggunakan energi terbarukan ini.
Harapannya, ketika kebijakan ini benar-benar sudah diterapkan oleh pemerintah, masyarakat akan mendapatkan kepastian pelayanan saat ditemukan adanya masalah pada mesin yang menggunaan energi terbarukan ini. Jika langkah awal ini belum direncanakan secara matang, dikhawatirkan akan terjadi kepanikan dari masyarakat karena tidak mengetahui harus ke mana untuk membetulkan mesin mobil yang mengalami masalah ketika beralih menggunakan energi terbarukan ini.
Kedua, terjadinya kelangkaan minyak goreng akibat dari diterapkannya kebijakan menggunakan energi terbarukan bagi kendaraan bermotor. Penerapan kebijakan ini membutuhkan perhitungan yang matang dari lintas Kementrian untuk mengetahui secara pasti berapa barel minyak sawit yang dibutuhkan untuk bahan bakar kendaraan bermotor dalam satu hari.
Berikutnya pemerintah juga harus mengetahui dengan pasti berapa kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Harapannya supaya tidak terjadi kelangkaan minyak goreng di tengah-tengah masyarakat yang ujungnya akan menyulitkan masyarakat dalam mengolah makanan di rumah. Jangan sampai kejadian beberapa waktu lalu terulang kembali saat masyarakat di berbagai daerah mengalami kelangkaan minyak goreng.
Kebijakan baru ini akan langsung bersinggungan antara kebutuhan minyak goreng untuk masyarakat dan kebutuhan minyak untuk kendaraan bermotor. Pemerintah yang baru harus sangat berhati-hati dalam rencana menerapkan kebijakan baru ini. Jika pemerintah sampai salah dalam mengambil kebijakan ini, maka yang terjadi adalah kekacauan di tengah-tengah masyarakat.
Dan pada akhirnya, sektor ekonomilah yang akan terdampak paling awal dari penerapan kebijakan baru ini yang salah dalam perencanaan. Akan terjadi kelangkaan minyak goreng yang diikuti dengan melambungnya harga minyak goreng di pasaran secara tidak terkendali. Sedangkan di sisi yang lain, juga akan terjadi kelangkaan minyak yang mengakibatkan terjadinya antrian kendaraan bermotor yang akan mengisi bahan bakar dari energi terbarukan ini.
Jika sudah terjadi antrian dan kelangkaan di mana-mana, pada akhirnya pemerintah mau tidak mau akan kembali mengimpor bahan bakar fosil untuk menutupi kekurangan di dalam negeri. Kebijakan ini juga akan menimbulkan masalah baru lagi. Mengingat mesin yang sudah terbiasa menggunakan bahan bakar dari energi terbarukan, tiba-tiba diharuskan menggunakan bahan bakar fosil lagi.
Jika mesin kendaraan mengalami masalah, maka masyarakat harus mengeluarkan uang lebih untuk biaya servis kendaraan karena bergonta-ganti menggunakan bahan bakar. Di samping itu, pemerintah juga kembali mengeluarkan dana dari APBN yang nilainya tidak sedikit untuk mengimpor minyak mentah dari luar negeri yang sejatinya ingin melakukan penghematan secara besar-besaran.
Ketiga, kesiapan infrastruktrur pengisian bahan bakar terbarukan. Ini juga merupakan aspek penting yang harus dipikirkan dan disiapkan oleh pemerintah yang akan datang jika ingin memutus ketergantungan dari bahan bakar fosil yang selama ini telah memberatkan APBN karena harus mensubsidi penggunaan BBM di dalam negeri.
Banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah baru dan tim kabinetnya berkaitan dengan kesiapan infrastruktur pengisian bahan bakar terbarukan. "Apakah masih tetap menggunakan SPBU yang sudah ada selama ini?" "Apakah pemerintah harus membuat SPBU baru yang khusus untuk pengisian bahan bakar terbarukan ini?" "Jika membangun SPBU baru, darimana anggaran untuk pembangunannya?" "Pembangunan SPBU baru ini, apakah perlu melibatkan sektor swasta?" "Berapa luas lahan yang dibutuhkan untuk membangun SPBU baru ini guna mencukupi kebutuhan standar di Pulau Jawa?" "Bagaimana dengan yang berada di luar Pulau Jawa? Apakah pemerintah menggunakan skema satu harga atau ada perbedaan?" Â Dan masih banyak lagi pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh pemerintah sebelum mengambil kebijakan besar yang akan langsung berdampak kepada seluruh rakyat Indonesia.
Ide dari calon presiden Prabowo Subianto yang ingin memutus Indonesia dari ketergantungan terhadap minyak mentah merupakan ide yang bagus. Dan berencana mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar terbarukan itu merupakan gagasan yang menantang dan beresiko jika diterapkan dengan terburu-buru serta gegabah karena sudah terlanjur diucapkan dalam janji kampanye.
Ide yang bagus itu bisa berubah menjadi sebuah kegagalan yang akan mencoreng citra pemerintahan Presiden Prabowo Subianto selama lima tahun ke depan saat memimpin Indonesia. Mengganti penggunaan bahan bakar fosil dengan bahan bakar terbarukan bukan perkara mudah. Butuh waktu dan proses untuk mewujudkannya sehingga bisa membuat Indonesia lepas dari ketergantungan menggunakan bahan bakar fosil dan di saat yang sama bisa menghemat dana APBN untuk dialokasikan bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H