Kebijakan baru ini akan langsung bersinggungan antara kebutuhan minyak goreng untuk masyarakat dan kebutuhan minyak untuk kendaraan bermotor. Pemerintah yang baru harus sangat berhati-hati dalam rencana menerapkan kebijakan baru ini. Jika pemerintah sampai salah dalam mengambil kebijakan ini, maka yang terjadi adalah kekacauan di tengah-tengah masyarakat.
Dan pada akhirnya, sektor ekonomilah yang akan terdampak paling awal dari penerapan kebijakan baru ini yang salah dalam perencanaan. Akan terjadi kelangkaan minyak goreng yang diikuti dengan melambungnya harga minyak goreng di pasaran secara tidak terkendali. Sedangkan di sisi yang lain, juga akan terjadi kelangkaan minyak yang mengakibatkan terjadinya antrian kendaraan bermotor yang akan mengisi bahan bakar dari energi terbarukan ini.
Jika sudah terjadi antrian dan kelangkaan di mana-mana, pada akhirnya pemerintah mau tidak mau akan kembali mengimpor bahan bakar fosil untuk menutupi kekurangan di dalam negeri. Kebijakan ini juga akan menimbulkan masalah baru lagi. Mengingat mesin yang sudah terbiasa menggunakan bahan bakar dari energi terbarukan, tiba-tiba diharuskan menggunakan bahan bakar fosil lagi.
Jika mesin kendaraan mengalami masalah, maka masyarakat harus mengeluarkan uang lebih untuk biaya servis kendaraan karena bergonta-ganti menggunakan bahan bakar. Di samping itu, pemerintah juga kembali mengeluarkan dana dari APBN yang nilainya tidak sedikit untuk mengimpor minyak mentah dari luar negeri yang sejatinya ingin melakukan penghematan secara besar-besaran.
Ketiga, kesiapan infrastruktrur pengisian bahan bakar terbarukan. Ini juga merupakan aspek penting yang harus dipikirkan dan disiapkan oleh pemerintah yang akan datang jika ingin memutus ketergantungan dari bahan bakar fosil yang selama ini telah memberatkan APBN karena harus mensubsidi penggunaan BBM di dalam negeri.
Banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah baru dan tim kabinetnya berkaitan dengan kesiapan infrastruktur pengisian bahan bakar terbarukan. "Apakah masih tetap menggunakan SPBU yang sudah ada selama ini?" "Apakah pemerintah harus membuat SPBU baru yang khusus untuk pengisian bahan bakar terbarukan ini?" "Jika membangun SPBU baru, darimana anggaran untuk pembangunannya?" "Pembangunan SPBU baru ini, apakah perlu melibatkan sektor swasta?" "Berapa luas lahan yang dibutuhkan untuk membangun SPBU baru ini guna mencukupi kebutuhan standar di Pulau Jawa?" "Bagaimana dengan yang berada di luar Pulau Jawa? Apakah pemerintah menggunakan skema satu harga atau ada perbedaan?" Â Dan masih banyak lagi pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh pemerintah sebelum mengambil kebijakan besar yang akan langsung berdampak kepada seluruh rakyat Indonesia.
Ide dari calon presiden Prabowo Subianto yang ingin memutus Indonesia dari ketergantungan terhadap minyak mentah merupakan ide yang bagus. Dan berencana mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar terbarukan itu merupakan gagasan yang menantang dan beresiko jika diterapkan dengan terburu-buru serta gegabah karena sudah terlanjur diucapkan dalam janji kampanye.
Ide yang bagus itu bisa berubah menjadi sebuah kegagalan yang akan mencoreng citra pemerintahan Presiden Prabowo Subianto selama lima tahun ke depan saat memimpin Indonesia. Mengganti penggunaan bahan bakar fosil dengan bahan bakar terbarukan bukan perkara mudah. Butuh waktu dan proses untuk mewujudkannya sehingga bisa membuat Indonesia lepas dari ketergantungan menggunakan bahan bakar fosil dan di saat yang sama bisa menghemat dana APBN untuk dialokasikan bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H