Mohon tunggu...
Achmad Fahad
Achmad Fahad Mohon Tunggu... Penulis - Seorang penulis lepas

menyukai dunia tulis-menulis dan membaca berbagai buku, terutama buku politik, psikologi, serta novel berbagai genre. Dan saat ini mulai aktif dalam menghasilkan karya tulis berupa opini artikel, beberapa cerpen yang telah dibukukan dalam bentuk antologi. Ke depan akan berusaha menghasilkan karya-kerya terbaik untuk menambah khasanah literasi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pernikahan nan Syahdu

15 Agustus 2023   08:47 Diperbarui: 15 Agustus 2023   22:19 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu di teras depan rumah dengan diiringi suara gemericik air hujan, aku memeluk serta mencium kening ibuku, dan memohon doa restu agar acara pernikahan yang sebentar lagi aku lakukan dengan Fahna dapat berjalan dengan lancar tanpa ada kendala apa pun. Ibuku lalu mengusap wajah serta mencium kening dan pipiku, kemudian berkata dengan suara bergetar:

   "Anakku sayang, ibu merestui pernikahanmu dengan Fahna. Semoga seluruh rangkaian acara yang akan dilaksanakan bisa berjalan dengan lancar dan tanpa ada halangan. Maafkan ibumu ini karena tidak bisa mendampingimu di hari pernikahanmu dengan Fahna. Tetapi, doa dan restu ibu akan selalu mengiringi perjalananmu anakku. Selamat menempuh hidup baru dan semoga selamat sampai tujuan anakku."

   Mendengar kata-kata yang baru saja diucapkan oleh ibuku membuat aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa memandang wajah ibuku dengan air mata turun membasahi pipiku. Ibuku malah menangis sesenggukan sambil memeluk diriku semakin erat, seolah begitu berat rasanya untuk melepas kepergianku ke Pulau Bacan. Dengan lembut aku memegang bahu ibuku, lalu dengan telapak tangan kananku mengusap air mata di pipi ibuku. Kemudian aku berbicara untuk menenangkan ibuku:

   "Ibuku sayang, jangan bersedih dan menangis lagi ya! Aku pasti pulang kembali ke rumah ini dengan membawa istriku agar rumah ini bisa kembali menjadi ramai. Dan ibu juga bisa berjumpa dengan menantu ibu, yaitu Fahna," ucapku dengan suara pelan.

   "Iya anakku," kata ibuku, "ibu akan selalu menunggu kedatangan dirimu beserta menantu ibu Fahna di rumah ini. Sekarang, sudah waktunya kamu untuk berangkat anakku, mobil travel telah menunggu di halaman rumah," imbuh ibuku.

   Aku segera bersalaman sambil mencium tangan ibuku. Tidak lupa aku meminta maaf dan memeluk adikku satu per satu. Setelah berpamitan, aku segera berjalan menuju ke mobil travel dengan membawa sebuah koper dan meletakkannya di bagasi mobil travel. Aku segera masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan, setelah itu mobil mulai berjalan perlahan meninggalkan halaman rumah, dan aku dapat melihat ibuku melambai-lambaikan tangan dengan raut wajah haru bercampur bahagia.

***

Malam itu aku bermalam di sebuah rumah kos yang menjadi tempat tinggal temanku, dan kebetulan ia bekerja sebagai sopir travel yang aku naiki tadi sore. Sesudah menikmati makan malam di sebuah warung pinggir jalan, aku bergegas tidur lebih awal agar tidak terlambat tiba di Bandara Juanda esok hari. Pada kenyataannya, aku tidak bisa tidur malam itu. Pikiranku selalu terbayang wajah ibuku yang berada di rumah, rasanya aku ingin bisa kembali pulang, lalu mengajak ibuku beserta adik-adikku untuk pergi ke Pulau Bacan dan bisa hadir di acara pernikahanku. Tetapi apa daya, aku tidak memiliki biaya untuk mengajak ibuku beserta adik-adikku, dan pada akhirnya hanya aku yang berangkat seorang diri ke Pulau Bacan. Itulah rasa bersalah tebesar yang aku rasakan malam itu di dalam sebuah kamar kos.

   Samar-samar aku merasakan ada yang mengoyang-goyang tubuhku saat aku baru bisa merasakan tidur nyenyak. Saat aku akhirnya membuka mata, ternyata temanku sedang menunjuk sebuah jam dinding yang terpasang di atas meja. Ketika aku melihat jam dinding, waktu telah menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit pagi, dan aku harus segera bergegas dan bersiap-siap untuk menuju ke Bandara Juanda yang letaknya tidak jauh dari rumah kos tempat aku berada saat ini. Setelah semua persiapan selesai, aku meminta tolong kepada temanku untuk mengantarku ke Bandara Juanda. Pada pukul lima lebih tiga puluh menit pagi, mobil yang aku tumpangi akhirnya berhenti di depan terminal keberangkatan domestik. Aku segera turun dari mobil, lalu mengeluarkan barang bawaanku dari bagasi mobil, dan mengucapkan terima kasih banyak kepada temanku atas semua bantuan yang telah ia berikan. Dengan senyum ramah temanku berkata:

   "Selamat jalan dan semoga tiba dengan selamat di Pulau Bacan. Dan satu lagi, selamat menempuh hidup baru teman." Kami pun bersalaman dan berpelukan, lalu ia kembali masuk ke dalam mobil, dan segera mobil mulai berjalan perlahan meninggalkan aku yang tengah berdiri di terminal keberangkatan domestik Bandara Juanda.

   Setelah mobil yang aku tumpangi hilang dari pandangan. Aku segera mengambil sebuah kereta dorong yang tersedia di area terminal keberangkatan domestik, lalu meletakkan koper beserta tas bahu di atasnya. Setelah itu, aku mulai berjalan dengan santai menuju ke gerbang check-in sambil mengamati situasi Bandara Juanda pagi ini. Deretan toko-toko yang ada di terminal keberangkatan domestik terlihat masih tutup, tidak pula lalu-lalang para calon penumpang yang biasanya memadati Bandara Juanda. Dengan mudah aku sudah berada di depan gerbang check-in untuk bisa masuk ke bagian dalam area bandara. Aku segera menyerahkan tiket beserta surat-surat yang diperlukan untuk perjalanan kali ini kepada petugas berseragam biru yang sedang berjaga. Setelah diperiksa dengan teliti dan seksama oleh petugas, aku akhirnya diizinkan untuk masuk ke dalam area bandara untuk selanjutnya melakukan proses boarding. Aku segera berjalan menuju ke konter maskapai penerbangan Lion Air, lalu menyerahkan tiket beserta koper untuk dimasukkan ke dalam bagasi pesawat. Setelah dari konter Lion Air dan mendapat tiket boarding pass. Aku segera berjalan menuju ke ruang tunggu keberangkatan yang berada di lantai dua gerbang 5. Pada pukul enam lebih tiga puluh menit, akhirnya para penumpang dipersilakan untuk menaiki pesawat yang tengah terparkir. Bersama para calon penumpang lainnya, aku berjalan menuju ke tangga pesawat dan menaikinya. Setelah berada di dalam pesawat, seorang pramugrai cantik yang tengah bertugas dengan sopan menunjukkan di mana tempat aku akan duduk yang ternyata ada di bagian belakang pesawat. Kurang dari lima belas menit, aku melihat pesawat mulai didorong mundur dari area parkir, dan selanjutnya pesawat mulai berjalan perlahan menuju ke landas pacu bandara. Setelah berhenti selama kurang lebih dua menit, tiba-tiba aku merasakan tarikan kuat di punggungku saat pesawat mulai melaju dengan kecepatan penuh di landas pacu Bandara Juanda hingga akhirnya pesawat berhasil lepas landas dengan sempurna di udara pagi yang berawan.

   Ketika tengah duduk di kursi pesawat yang sedang terbang, aku melihat keluar melalui jendela pesawat yang ada di sampingku. Di bawah, Bandara Juanda terlihat semakin mengecil dan setelahnya berganti dengan dataran rendah berwarna hijau yang diselingi dengan lekukan-lekukan berupa aliran sungai yang sedang menuju ke laut. Pada saat melihat pemandangan yang ada di bawah, tiba-tiba perasaan sedih kembali menghujam hatiku manakala aku teringat ibuku, dan juga adik-adikku yang sedang berada di rumah dan tidak bisa ikut pergi bersamaku ke Pulau Bacan. Sedangkan saat ini, aku sedang pergi seorang diri untuk memulai hidup yang baru bersama calon istriku tercinta. Sungguh ini adalah sebuah ironi bagi diriku, tetapi apa daya, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah semuanya. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir kesedihan yang aku rasakan di dalam hati sambil terus memandang keluar. Setelah lelah melihat keluar jendela pesawat, aku kembali bersandar di kursi pesawat sambil berusaha memejamkan mata supaya air mata yang sudah ada di pelupuk mata tidak sampai jatuh membasahi pipiku. Tanpa sadar, aku akhirnya jatuh tertidur di kursi pesawat dalam perjalanan menuju ke Pulau Bacan.

***

Aku melihat baling-baling pesawat Wing's Air yang aku naiki mulai menurunkan ketinggian yang artinya sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Oesman Sadiq Labuha, Pulau Bacan. Tidak berapa lama aku merasakan getaran saat roda pesawat berhasil menyentuh landasan yang basah, pesawat terlihat mulai mengurangi kecepatan hingga akhirnya pesawat berhenti di area parkir. Dari dalam pesawat aku melihat keadaan di luar, dan saat itu hujan sedang mengguyur Bandara Oesman Sadiq dengan intensitas sedang. Aku segera berdiri di lorong pesawat sambil menunggu giliran untuk turun. Ketika aku telah turun dari pesawat, aku segera berlari kecil menuju ke terminal kedatangan di bawah guyuran hujan. Ketika aku telah berada di dalam ruang kedatangan yang tidak terlalu besar, terlihat kesibukan dari para penumpang yang baru saja turun dari pesawat Wing's Air. Beberapa dari para penumpang memilih untuk duduk sejenak di deretan kursi yang tersedia, dan ada beberapa penumpang lainnya yang langsung menuju ke roda berjalan untuk melakukan pengambilan bagasi. Aku segera berjalan menuju ke tempat para penumpang sedang mengantri untuk mengambil bagasi, dengan sabar aku menunggu giliran untuk dapat mengambil koperku.

   Setelah aku selesai mengambil koperku. Aku kembali meletakkan koper beserta tas bahu di atas kereta dorong, kemudian aku berjalan menuju ke pintu keluar ruang kedatangan. Setelah berada di luar, aku memerhatikan situasi di sekitar Bandara Oesman Sadiq, Labuha. Di area parkir bandara yang terletak di depan terminal kedatangan, hanya terlihat beberapa mobil sedang terparkir di bawah guyuran hujan, dan di jalur penjemputan, hanya ada beberapa mobil yang sedang menunggu, selebihnya bandara ini terlihat sepi. Di kejauhan aku melihat mendung tebal berwarna hitam masih menyelimuti Kota Labuha dan sepertinya hujan akan berlangsung hingga tengah malam. Tanpa sengaja aku melihat sebuah mobil Toyota Rush berwarna putih sedang melaju masuk ke jalur penjemputan dan berhenti tepat di depanku. Tidak berapa lama aku mendengar suara orang sedang memanggilku, dan aku mendapati Kak Faris sedang berlari kecil menuju ke tempat aku sedang berdiri. Kami segera berjabat tangan dan berpelukan sejenak.

   "Apa kabar sore ini Kak Faris?" kataku dengan seulas senyum, lalu menambahkan, "terima kasih banyak sudah menjemputku di bandara dalam kondisi hujan seperti saat ini."

   "Alhamdulillah kabar baik sore ini. Sama-sama Bang Fahad," jawab Kak Faris dengan senyum bahagia yang tergambar jelas di wajahnya. "Dan bagaimana perjalanan panjang dari rumah hingga sampai ke Pulau Bacan, apakah semuanya berjalan lancar?" tanya Kak Faris.

   "Alhamdulillah, perjalanan hari ini semuanya lancar dan tanpa ada halangan apa pun," jawabku. "Dan satu hal lagi, atas nama keluarga aku memohon maaf karena tidak ada keluargaku yang bisa hadir di sini. Namun, mereka menitipkan salam untuk keluarga besar yang ada di Pulau Bacan," imbuhku dengan senyum.

   "Tidak apa-apa Bang Fahad. Yang penting engkau telah tiba di Pulau Bacan dengan selamat dan pasti Fahna akan sangat bahagia mengetahui calon suaminya telah tiba," canda Kak Faris dengan kedipan sebelah mata.

   Kami berdua akhirnya tertawa bersama dalam suasana hangat kekeluargaan di sore hari dengan berlatar hujan yang terus mengguyur Bandara Oesman Sadiq juga Kota Labuha. Kak Faris adalah kaka dari calon istriku, dan tidak lama lagi ia akan menjadi kakak iparku juga akan menjadi saudara.

   Setelah percakapan singkat dengan Kak Faris, aku segera memasukkan koper beserta tas bahu ke dalam mobil, kemudian aku duduk di kursi depan di samping Kak Faris yang ada di balik kemudi. Mobil segera melaju meninggalkan area penjemputan penumpang dan masuk ke jalan utama Kota Labuha. Hujan masih terus mengguyur sehingga membuat jalanan menjadi basah dan di beberapa tempat terlihat genangan air. Aku mendapati sore itu Kota Labuha terlihat sepi dan sebagian toko memilih tutup lebih awal karena hujan sepertinya tidak akan reda. Hanya lampu penerangan jalan berwarna kuning yang menyinari perjalananku menyusuri jalanan Kota Labuha di penghujung sore hari. Setelah berkendara selama lima belas menit, akhirnya mobil yang aku tumpangi berbelok masuk dan berhenti di area parkir sebuah hotel yang ada di tengah Kota Labuha. Aku segera turun dari mobil dan mengambil koper beserta tas bahu yang ada di belakang mobil. Aku lalu mengajak Kak Faris ikut masuk ke dalam kamar untuk bersantai sejenak, tetapi ia menolak karena masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Aku tidak bisa memaksa Kak Faris dan aku mengucapkan terima kasih banyak sambil memeluknya erat.

   Kak Faris segera kembali masuk ke dalam mobil, lalu menurunkan kaca jendela penumpang sambil melambaikan tangan dengan wajah bahagia. Aku pun turut melambaikan tangan ketika mobil mulai berjalan perlahan meninggalkan area parkir hotel dan masuk kembali ke jalan raya hingga hilang dari pandangan. Aku lalu berjalan masuk dan menghampiri meja resepsionis untuk mengambil kunci kamar yang telah aku pesan sebelumnya. Setelah menerima kunci kamar, aku berjalan menuju ke kamarku yang terletak di lantai dua. Setelah berada di dalam kamar, aku meletakkan koper yang aku bawa di samping lemari pakaian, sedangkan tas bahu yang aku bawa aku letakkan di atas tempat tidur. Karena merasa lelah setelah menempuh perjalanan jauh, aku memutuskan untuk membersihkan diri agar badanku kembali merasa segar. Aku berjalan menuju ke kamar mandi, menutup pintu dan mulai mandi dengan air hangat. Selepas mandi tubuhku kembali merasa bugar, namun kali ini giliran perutku mulai terasa lapar, dan aku baru ingat saat terakhir kali aku makan adalah kemarin malam di warung pinggir jalan. Aku segera membuka tas bahu dan mengeluarkan roti isi coklat yang aku bawa sejak perjalanan dari Surabaya pagi tadi. Aku segera membuka jendela kamar sambil menarik sebuah kursi agar tepat berada di sisi jendela, lalu duduk bersantai sambil memandang keluar jendela menikmati suasana malam di Kota Labuha. Dengan perlahan aku memakan roti isi coklat sambil mendengarkan suara hujan yang masih terus mengguyur Kota Labuha sejak aku tiba hingga malam ini.

   Setelah menghabiskan roti isi coklat, aku mengambil telepon genggam yang sedari tadi tergeletak di atas meja nakas samping tempat tidur, lalu aku menelepon ibuku yang berada di rumah. Dengan sabar aku menunggu panggilanku tersambung hingga akhirnya terdengarlah suara orang yang telah aku rindukan berkata:

   "Assalamualaikum anakku, apakah kamu telah tiba di Pulau Bacan dengan selamat? Ibu sejak tadi menunggu kabar darimu, karena ibu merasa khawatir jika ada sesuatu dalam perjalananmu hari ini," kata ibuku dengan nada khawatir terhadap anaknya yang berada jauh dari rumah.

   "Waalaikumsallam ibuku," jawabku dengan lembut. "Alhmdulillah aku telah tiba di Pulau Bacan dengan selamat sejak tadi sore ibu, dan tidak ada halangan apa pun selama dalam perjalanan tadi. Ibu jangan merasa khawatir lagi ya di rumah," pintaku kepada ibuku.

   "Syukur alhamdulillah engkau telah tiba dengan selamat anakku. Malam ini ibu berpesan supaya kamu jangan tidur larut malam karena esok hari adalah hari yang kamu nanti selama ini. Dan dengar nasehat ibu anakku, sebelum acara akad nikah dimulai, jangan lupa berdoa kepada Allah semoga semua berjalan dengan lancar dan tetap tenang serta jangan panik atau takut. Ibu selalu mendoakanmu dan yakinlah semua keluarga di sini juga turut mendoakan dan merestui pernikahanmu. Semoga pernikahan ini menjadi kebahagiaanmu bersama Fahna dan semoga cepat mendapat momongan supaya ibumu ini dapat menimang cucu yang pertama."

   Mendengar kata-kata yang baru saja ibuku sampaikan membuat hatiku bagai ditusuk ribuan pisau. Pedih rasanya melihat ibuku berada di rumah dan aku berada di sini untuk memulai hidup yang baru. Malam itu aku merasa bersalah dan seandainya waktu dapat diulang kembali, aku pasti membawa ibuku untuk hadir di acara pernikahanku dan duduk disamping Fahna calon menantunya.

   "Ibu ..." Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku dan seketika lidahku terasa keluh untuk melanjutkan obrolan. Aku tidak mampu lagi menahan perasaan sedih di hatiku dan akhirnya aku menangis di dalam kamar hotel. Ada jeda yang terasa begitu lama antara aku dan ibuku yang berada di ujung sambungan yang lain. Hingga akhirnya aku mendengar suara ibuku memanggil namaku:

   "Fahad anakku, apaakah engkau masih bisa mendengar suara ibu?"

   "Iya ibu. Aku masih bisa mendengar suara ibu dengan jelas," jawabku singkat.

   "Ada apa denganmu anakku? Sepertinya engkau sedang menyembunyikan sesuatu dari ibumu ini," ujar ibuku seolah bisa membaca pikiran dan hatiku dengan jelas.

   "Aku tidak apa-apa ibu. Hanya aku merasa bersalah tidak bisa mengajak ibu ke sini untuk hadir di hari pernikahanku," kataku dengan suara bergetar karena menahan tangis.

   "Ya Allah anakku," kata ibuku terkejut mendengar kata-kata yang baru saja aku ucapkan, "kenapa engkau masih saja menyalahkan dirimu sendiri? Malam ini engkau harus berbahagia dan bersemangat menyambut hidup baru yang akan segera engkau jalani esok hari. Ibumu di sini juga merasa bahagia, akhirnya bisa melihatmu menikah dan mempunyai seorang istri. Biarpun ibumu tidak berada di sampingmu tetapi ibumu akan selalu ada untukmu anakku."

   "Terima kasih banyak ibu," kataku dengan isakan pelan, "maafkan anakmu ini yang sampai sekarang belum bisa membahagiakan ibu. Semoga setelah menikah nanti aku akan bisa membuat ibu bahagia dan selalu tersenyum."

   "Ibu akan selalu memaafkan engkau anakku sampai kapan pun. Malam ini ibu akan berdoa semoga pernikahan yang akan engkau jalani berjalan lancar dan engkau dapat membina rumah tangga yang abadi sampai ajal yang akan memisahkan kalian berdua."

   "Ibu ... aku sayang dan bangga kepadamu. Malam ini anakmu ingin memelukmu sebelum melepas masa lajang. Biarpun pelukan ini dari jauh tapi bagiku begitu berarti," kataku bercampur haru dan bahagia.

   "Ibu juga bangga padamu anakku sayang. Sekarang kamu harus beristirahat dan tidur yang nyenyak malam ini. Dan jangan pernah berpikir yang macam-macam malam ini, karena ibu tidak ingin mendengarnya lagi," pinta ibuku dengan tegas.

   "Pasti, nasehat ibu akan selalu aku ingat. Ibu, insyaallah nanti setelah acara akad nikah, aku ingin menelepon ibu, tetapi aku sudah tidak sendiri lagi melainkan bersama Fahna istriku," kataku dengan perasaan bahagia.

   "Ibu akan sabar menuunggu datangnya berita baik dari Pulau Bacan di rumah. Dan sekarang kamu harus beristirahat anakku, awas kalau sampai engkau tidak tidur malam ini," canda ibuku yang membuatku bisa tersenyum kembali.

   "Baiklah ibu. Aku akhiri panggilan ini dan segera aku langsung beristirahat. Assalamualaikum ibuku sayang," kataku dengan bahagia.

"Waalaikumsallam anakku sayang, tidur yang nyenyak di sana," jawab ibuku kemudian panggilan berakhir.

   Setelah panggilan dari ibuku berakhir, aku segera menutup jendela kamar dan mengembalikan kursi ke tempatnya. Di luar hujan masih terus mengguyur Kota Labuha dan sepertinya akan bertahan hingga esok hari. Aku berjalan untuk mematikan lampu kamar lalu meletakkan kembali telepon genggam di atas meja nakas samping tempat tidur, dan akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku di atas kasur hotel yang bersih, tidak lupa aku memakai selimut karena malam ini udara terasa semakin dingin. Dalam gelapnya kamar hotel yang aku tempati, tiba-tiba pikiranku membayangkan calon istriku Fahna, sedang apalah ia sekarang di rumahnya? Tanpa sadar aku tersenyum sendiri didorong rasa bahagia membayangkan calon istriku. Malam ini adalah malam terakhir aku berstatus lajang. Sedangkan esok malam aku akan tidur dengan ditemani Fahna istriku, dan rasanya aku sudah tidak sabar menanti saat itu tiba. Aku berusaha memejamkan mata dan dengan cepat aku jatuh tertidur dengan seulas senyum bahagia di wajahku.

***   

   Pagi hari yang dinanti akhirnya tiba dengan sisa-sisa udara dingin yang masih terasa di dalam kamar hotel akibat hujan yang turun sepanjang malam di Kota Labuha. Aku segera membuka jendela kamar hotelku dan membiarkan angin sepoi-sepoi bertiup masuk. Aku masih berdiri di jendela kamar hotelku sambil memandang laut biru dengan deburan ombak kecil yang tidak jauh dari hotel tempatku menginap. Pagi ini matahari bersinar terang dengan sebaran awan putih tipis di langit Kota Labuha.

   Aku merasakan semangat dan kebahagiaan di dalam hatiku, karena hari ini adalah awal lembaran baru dalam perjalanan hidupku yang akan dimulai beberapa jam mendatang. Setelah puas memandang indahnya laut biru yang bermandikan cahaya matahari pagi. Aku segera beralih menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mempersiapkan segala sesuatunya. Selepas dari kamar mandi, aku meletakkan pakaian yang akan aku kenakan di atas tempat tidur. Dengan seksama aku memeriksa pakaian yang akan aku kenakan untuk acara akad nikah pagi ini. Setelah puas dengan semua persiapan kecil ini, aku lalu mengenakan pakaian sambil berdiri di depan cermin kamar hotel. Setelah selesai berpakaian, aku memerhatikan penampilanku di cermin dan aku merasa puas. Aku segera mengemasi barang-barangku ke dalam koper lalu merapikan tempat tidur hotel. Setelah menyelesaikan pekerjaan kecil ini, aku memandang untuk terakhir kalinya suasana kamar hotel yang akan aku tinggalkan. Dengan perasaan sedih serta bercampur haru, dalam hati aku mengucapkan 'selamat tinggal' lalu menutup pintu kamar hotelku serta menguncinya, kemudian aku berjalan perlahan di lorong meninggalkan kamar yang akan selalu menjadi sepenggal kisah kenangan dalam perjalanan hidupku.

   Aku berjalan turun menuju ke meja resepsionis yang ada di lantai satu untuk mengembalikan kunci kamar. Aku mengucapkan terima kasih banyak kepada petugas yang sedang bertugas pagi ini dengan senyuman, lalu berjalan keluar ke teras hotel yang disinari sinar matahari pagi. Tidak berapa lama, Kak Faris tiba menjemputku dengan mengendarai mobil yang sama dan berhenti tepat di depan teras hotel. Aku bergegas memasukkan koper beserta tas bahu ke dalam mobil dan aku pun masuk ke kursi depan duduk di samping Kak Faris. Mobil segera melaju meninggalkan hotel dan masuk ke jalanan Kota Labuha yang terlihat mulai ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Kurang dari sepuluh menit mobil yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah rumah yang berada di bagian lain Kota Labuha. Aku melihat sebuah rumah bercat putih dengan pagar besi hitam yang terbuka, serta sepetak halaman rumput kecil berwarna hijau yang terpotong rapi dan terlihat sangat indah. Di beranda rumah terlihat beberapa orang sedang duduk sambil berbincang santai dengan suasana kekeluargaan yang begitu terlihat. Aku turun dari mobil lalu berjalan masuk ke halaman rumah yang disinari sinar matahari pagi. Ketika orang-orang itu melihat siapa yang sedang berjalan masuk ke halaman rumah, seketika orang-orang itu langsung berdiri dan menghampiriku dengan raut wajah bahagia. Aku segera diajak masuk ke dalam ruang tamu dan dipersilakan duduk. Tidak menunggu lama hidangan pun tersaji dihadapanku yang terdiri dari roti, kopi, beserta buah-buahan segar, dan aku dipersilakan untuk menikmatinya.

   Pagi itu suasana kebahagiaan, kekeluargaan begitu terasa di rumah yang sedang aku singgahi. Terdengar suara obrolan dari ibu-ibu yang berada di bagian belakang rumah, tidak ketinggalan anak-anak kecil yang berlari keluar masuk rumah dengan tertawa bahagia, dan pada akhirnya aku pun jadi bahan candaan karena tidak lama lagi, aku akan menjadi pengantin baru. Aku memerhatikan wajah-wajah yang terlihat begitu bahagia pagi ini, dan di dalam hati aku membayangkan bagaimana wajah calon istriku Fahna pagi ini ketika sesuatu yang besar dalam hidupnya akan terjadi. Aku sudah tidak sabar ingin segera menuju ke rumah Fahna untuk melangsungkan akad nikah dan menjadi bagian dari hidup Fahna mulai hari ini dan selamanya.

   Tepat pukul sembilan pagi, aku beserta keluarga besar pemilik rumah yang tidak lain adalah paman Fahna, akhirnya berangkat menuju ke tempat acara akad nikah dengan menaiki beberapa mobil yang telah tersedia. Di dalam mobil yang sedang melaju, jantungku kembali berdegup kencang karena ketegangan juga kecemasan karena akan melakukan sesuatu yang sakral, yaitu pernikahan. Ditambah lagi, aku seorang diri saat ini tanpa ada keluarga besarku yang ikut mendampingiku, tetapi aku yakin semua rangkaian acara pagi ini akan berjalan dengan lancar tanpa ada halangan sedikit pun.

   Mobil yang aku tumpangi akhirnya berhenti di pinggir jalan, lalu aku turun dari mobil beserta keluarga besar paman Fahna. Aku melihat di depan telah penuh dengan jajaran mobil yang terparkir, dan di sebelahnya berdiri sebuah tenda besar yang saat itu sudah dipenuhi dengan para tamu undangan. Aku berjalan dengan perlahan didampingi paman Fahna menuju ke rumah Fahna. Begitu aku tiba di depan rumah Fahna, aku langsung disambut oleh Ayah Ismed dengan senyum bahagia yang tampak di wajahnya. Aku segera bersalaman sambil mencium tangan serta berpelukan lembut dengan calon ayah mertuaku, karena tidak lama lagi aku akan menjadi bagian dari keluarga besar Fahna. Dengan lembut Ayah Ismed menggandeng tanganku dan bersama-sama mulai berjalan menuju ke tempat acara akad nikah yang berada di bagian depan. Aku melihat para tamu undangan menoleh kepadaku ketika aku berjalan di tengah lorong, dan ada beberapa orang yang mengambil foto menggunakan kamera smartphone.

   Setelah tiba di tempat akad nikah, aku dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan. Aku lalu duduk di kursi putih dengan didampingi paman Fahna sebagai wakil dari keluarga besarku yang tidak bisa hadir. Sedangkan Ayah Ismed duduk di kursi yang berada di depanku dan diapit oleh dua orang saksi yang duduk di sebelah kanan dan kiri antara aku dan Ayah Ismed. Kembali aku merasakan kesedihan di dalam hatiku manakala teringat ibuku yang tidak dapat hadir di hari pernikahanku ini. Seandainya ibuku bisa hadir hari ini, pasti saat ini ibuku sedang duduk bersama calon menantunya Fahna di dalam kamar pengantin. Aku berusaha menghalau perasaan sedih dari dalam diriku sebelum semuanya berjalan kacau karena aku tidak bisa fokus. Aku teringat nasehat ibuku semalam ketika aku berbicara melalui telepon 'tetap tenang dan sabar anakku karena doa beserta restu ibu akan selalui menyertaimu'.

   Kini tibalah saat yang dinanti oleh para tamu undangan yang telah hadir pagi ini, yaitu akad nikah. Setelah sebelumnya beberapa rangkaian acara telah dilalui mulai dari pembukaan, disusul pemeriksaan surat-surat kelengkapan administrasi oleh petugas KUA, kemudian pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, dan dilanjutkan dengan khutbah nikah yang disampaikan oleh tokoh agama setempat. Setelah khutbah nikah selesai, aku mendengar pembawa acara berbicara kepada para tamu undangan:

   "Para tamu undangan yang berbahagia, marilah kita ikuti acara inti pagi ini yaitu akad nikah yang akan dibawakan oleh wali dari mempelai wanita. Untuk waktu dan tempat kami persilakan," ucap pembawa acara.

   Aku segera menjabat tangan Ayah Ismed dengan sedikit ketegangan yang aku rasakan dalam diriku. Dengan penuh konsentrasi dan fokus, aku mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Ayah Ismed selaku wali dari mempelai wanita.

   "Bismillahirrahmaanirrahiim. Ya Fahad bin Faisol, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya yang bernama Fahna binti Ismed dengan emas kawin berupa uang sebesar satu juta rupiah tunai," kata Ayah Ismed dengan lancar.

   Aku langsung menjawab dengan mantap dan lancar seolah semua berjalan seperti air yang mengalir.

   "Saya terima nikahnya dan kawinnya Fahna binti Ismed dengan emas kawinnya tersebut tunai." Dua saksi langsung menganggukkan kepala tanda akad nikah ini sah. Dan terdengarlah suara para tamu undangan mengucapkan 'Barakallah', kemudian disusul para fotografer dan beberapa tamu undangan mengabadikan momen sakral ini dengan kamera smartphone mereka.

   Aku akhirnya merasakan kelegaan seolah beban berat tercerabut keluar dari dalam diriku ketika proses akad nikah pagi ini berjalan lancar tanpa ada halangan. Dan mulai saat ini, aku beserta Fahna telah resmi menjadi sepasang suami istri yang sah secara agama juga negara. Aku segera bersalaman dan mencium tangan Ayah Ismed yang sekarang telah menjadi ayah mertuaku. Setelah itu aku kembali duduk di kursi sambil menanti hidangan yang sedang disajikan berupa nasi briani dengan daging kambing oven, ditambah acar buah dan sambal. Aku segera memakannya karena perutku sudah meronta-ronta meminta makan setelah ketegangan yang aku rasakan sejak pagi tadi. Setelah selesai makan dan menandatangani beberapa berkas termasuk buku nikah, aku segera diantar oleh Ayah Ismed untuk bertemu dengan istriku yang sedang menunggu di dalam kamar pengantin. Di dalam hati aku sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan istriku, lalu memeluknya dengan lembut karena ia adalah wanita yang begitu aku cintai. Ini adalah hari yang telah aku nantikan selama bertahun-tahun dan akhirnya dapat terwujud menjadi kenyataan.

   Aku beserta Ayah Ismed berjalan bersama meninggalkan tempat acara akad nikah, tetapi langkah kami terhenti karena para tamu undangan yang sebagian besar keluarga besar Fahna datang menghampiriku untuk bersalaman, memelukku, meminta foto, dan mengucapkan selamat menempuh hidup baru. Setelah ramah-tamah singkat dengan para tamu undangan, aku melanjutkan berjalan menuju ke dalam rumah Fahna yang ternyata sudah banyak para tamu undangan yang dikhususkan untuk para wanita. Dengan wajah tersenyum dan sedikit perasaan malu. Aku berjalan di antara para ibu-ibu yang langsug riuh ketika melihat siapa yang datang. Saat ini aku tengah berdiri tepat di depan pintu kamar pengantin yang di dalamnya Fahna istriku sedang menungguku. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang dan tenggorokanku seperti tersumbat batu besar yang membuatku sulit untuk menelan. Aku seperti merasakan sensasi yang belum pernah aku rasakan selama ini. Apakah ini yang disebut dengan getaran cinta sepasang pengantin baru yang ingin mendekat dan menyatu, bagaikan dua buah kutub magnet yang saling berlawanan bertemu maka terjadilah gaya saling menarik.

   Ayah Ismed membuka pintu kamar pengantin dan saat itu juga aku bisa mencium aroma dupa pengantin, juga bunga-bunga mawar yang memancarkan aroma harum serta memikat keluar dari dalam kamar. Setelah pintu terbuka, aku dengan digandeng Ayah Ismed dipersilakan masuk untuk bertemu dengan istriku Fahna. Ketika aku telah berada di dalam kamar penganti sambil berdiri, barulah untuk pertama kalinya aku memandang wajah istriku yang sedang duduk di atas kasur pengantin yang berhias bunga-bunga, dipadu dengan bantal-bantal beserta guling yang ditata dengan elegan. Fahna duduk dengan tersenyum dan senyuman itu seakan melelehkan hatiku detik itu juga. Aku memandang wajah Fahna dan sungguh dia terihat begitu cantik dengan riasan dan baju pengantin warna putih yang menutupi tubuh indahnya. Ditambah sebuah mahkota yang bertengger di atas kepalanya menjadikan Fahna bagaikan seorang putri yang turun dari kayangan. Fahna segera berdiri, lalu berjalan mendekat kepadaku dan aku pun berjalan mendekat untuk menyambutnya. Fahna langsung menyalamiku sambil mencium tangan kananku. Aku segera memeluknya dengan lembut serta mencium kening Fahna untuk pertama kalinya.

   Ketika tengah berada di dalam kamar pengantin bersama Fahna istriku, aku merasakan rasa bahagia, rasa haru, juga rasa cinta dan rasa sedih seolah semuanya bercampur menjadi satu, dan tanpa sadar perasaan itu meluap dari dalam diriku seolah tak bisa dibendung lagi. Akhirnya air mata kebahagiaan turun membasahi pipiku. Dalam momen yang begitu mengharukan ini, Aku mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari dalam saku baju yang aku kenakan. Dengan perlahan aku membuka kotak itu dan tampaklah sebuah cincin kawin dangan lambang cinta berwarna merah. Aku mengambil cincin itu dan dengan tangan gemetar aku memasangkannya di jari manis Fahna. Setelah cincin kawin itu terpasang, aku segera memeluk Fahna untuk yang kedua kalinya karena aku begitu mencintainya dan tidak ingin melepasnya kembali setelah ini. Mulai hari ini dan seterusnya lembaran baru dalam perjalanan hidupku dimulai, dan mulai sekarang, aku telah menjadi bagian dari hidup Fahna dan bersama-sama akan mengarungi perjalanan kehidupan dunia ini.

   Tetapi, ada satu yang kurang dalam momen bahagia yang aku rasakan saat ini. Sungguh sangat disayangkan ibuku tidak bisa hadir dan menemani Fahna di dalam kamar pengantin yang indah dan penuh cinta ini. Rasa bersalah ini selalu aku rasakan dalam diriku karena meninggalkan ibuku beserta adik-adikku di rumah. Tetapi aku sudah berjanji akan mengajak Fahna istriku untuk mengunjungi ibuku yang ada di Pulau Jawa dalam waktu dekat. Ditambah lagi, aku dan Fahna akan menikmati bulan madu yang sangat spesial di atas kapal laut KM Sinabung yang berlayar dari Pulau Bacan menuju ke Surabaya yang ada di pulau Jawa. Aku sudah tak sabar menanti perjalanan spesial ini yang akan di tempuh selama lima hari di tengah laut. Berdua kami akan menikmati waktu bersama di atas kapal, mamadu kasih dan cinta, menikmati matahari terbit dan terbenam bersama, dan melepaskan semua rasa yang ada di dalam hati. Dan ada satu hal lagi yang membuatku tak sabar ingin segera merasakannya, yaitu indahnya malam pertamaku bersama Fahna di dalam kamar pengantin ini.

_Selesai_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun