Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, sedangkan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Walaupun kedua organisasi ini memiliki fungsi yang sama yaitu mengembangkan ilmu agama Islam di Indonesia melalui satu organisasi, namun memiliki beberapa perbedaan. Misalnya saja dalam penentuan Idul Fitri dan Idul Adha, NU dan Muhammadiyah kerap berbeda pendapat. Lalu apa bedanya NU dan Muhammadiyah?
Latar Belakang Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama (NU) didirikan oleh ulama Ahlusunnah wal Jamaah (Aswaja) di kediaman KH Abduh Wahab Chasbullah di Kertopaten, Surabaya, Jawa Timur. Â Saat berdirinya NU, Â kiai terlebih dahulu membahas nama organisasi yang akan digunakan. Sebelumnya, KH Abduh Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan atau Kebangkitan Tanah Air pada tahun 1916. Oleh karena itu, para kiai memutuskan untuk menggunakan nama serupa untuk organisasi barunya, yakni Nuhudlul Ulama yang artinya kelahiran kembali oleh ulama. Namun KH Mas Alwi Abdul Aziz mengusulkan nama Nahdlatul Ulama, karena penggunaan kata nahdlatul merupakan kebangkitan yang telah dijunjung selama berabad-abad. Â
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Muhammad Darwis alias KH Ahmad Dahlan. Lahirnya Muhammadiyah didorong oleh interaksi yang terjadi antara KH Ahmad Dahlan dan kawan-kawan dari Yayasan Budi Utomo (BU). Saat KH Ahmad Dahlan mengajarkan ajaran Islam, teman-teman di BU pun tertarik. Oleh karena itu, mereka menggagas gagasan agar kegiatan pendidikan yang dilakukan KH Ahmad Dahlan sebaiknya dikelola di bawah naungan organisasi. Nama Muhammadiyah diusulkan oleh salah satu sahabat KH Ahmad Dahlan yaitu Muhammad Sangidu, seorang Keraton Ketib Anom Yogyakarta. Usai menunaikan salat istikharah, KH Ahmad Dahlan memutuskan untuk menamai organisasinya Muhammadiyah.
Perbedaan antara Nahdlatul Ulama dan MuhammadiyahÂ
- Budaya shalat:
Nahdlatul Ulama:
1. Membaca qunut saat salat Subuh
2. Membaca selawat setelah azan Â
3. Niat sholat sambil membaca ushalliÂ
4. Sholat Idul Fitri di masjidÂ
Muhammadiyah
 1. Tidak membaca qunut saat sholat SubuhÂ
2. Tidak melakukan tahlilan,
3. Dzikir setelah shalat dengan suara pelanÂ
5. Sholat Idul Fitri di lapangan
- Penentuan hilalÂ
Perbedaan keputusan mengenai penentuan hilal saat Ramadhan atau Idul Adha bukanlah hal baru di Indonesia. Memang cara yang digunakan  Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berbeda.Â
Berikut perbedaan NU dan Muhammadiyah dalam menentukan hilal:
Nahdlatul Ulama :
Penetapan hilal menurut NU didasarkan pada pengamatan langsung dan pengamatan bulan disebut juga dengan metode rukyatul hilal. Yang disebut Hilal adalah bulan sabit yang sangat tipis pada fase pertama bulan baru, yang pengamatannya dilakukan pada malam ke-29 atau  ke-30 bulan  berjalan. Jika bulan sabit terlihat pada malam itu, maka telah dimulainya bulan baru pada malam itu. Panduan penentuan hilal ini berdasarkan NU dari firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 189.
Muhammadiyah:
Cara penentuan hilal yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah dengan perhitungan astronomi yang disebut dengan perhitungan sebenarnya bentuk hilal. . Metode ini meyakini adanya hilal meskipun tidak terlihat secara kasat mata, asalkan memenuhi kriteria tertentu, antara lain: Ijtimak (konjungsi)  terjadi sebelum bulan tertidur.  Saat matahari terbenam, piringan atas bulan berada di atas cakrawala. Jika salah satu kriteria  tidak terpenuhi, maka ini belum merupakan bulan baru.Â
Itu sebabnya NU dan Muhammadiyah kerap berbeda pandangan.
Dalam Aspek Politik:
Di bidang politik, hal ini tidak terlalu terlihat karena organisasi Muhammadiyah tidak berorientasi ke arah itu meskipun ada pengurus atau tokoh tertentu yang menjadi partai utama.  Secara historis, Muhammadiyah lebih fokus pada peningkatan urusan sosial, keagamaan, dakwah, pendidikan, dan perekonomian umat. Berbeda dengan masyarakat Nahdliyin, tokoh NU mereka lebih kesulitan dalam berpolitik. Misalnya kita  lihat wakil presiden kita  dari NU atau KH. Mahruf Amin.Â
Politik dan dakwah dalam struktur ideologi Muhammadiyah merupakan bagian dari teori dan strategi perjuangan dan ditentukan oleh masyarakat. Banyaknya tokoh yang masuk politik seperti Natsir dan lainnya berarti ada cukup andildidalamnya. Padahal dulu kader Muhammadiyah banyak yang berada di partai Bulan Bintang tetapi sekarang bebas untuk memasuki partai dan golongan apa saja. Dominannya kader Muhammadiyah lebih menginginkan adanya peraturan Islam berlaku dimasyarakat, penekanannya lebih pada amal, karya dan gerak dakwah .
Titik Temu antara NU dan Muhammadiyah
Muhammadiyah dan NU adalah organisasi dan bukan soal fiqih. Dalam konteks Indonesia saja, Muhammadiyah dan NU juga mewakili dua kelompok besar umat Islam secara fiqih. Muhammadiyah mewakili kelompok "modern" (begitu para ilmuwan menyebutnya), bahkan ada beberapa organisasi yang mempunyai pandangan serupa seperti Persis (Persatuan Islam), Al-irsyad, Sumatra Tawalib. Â Sedangkan NU (Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok "tradisional", kecuali Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perit dan lain-lain.
Kedua organisasi tersebut mempunyai pandangan berbeda. Dalam masyarakat, perbedaan yang paling kentara terletak pada pembagian masalah furu' (cabang). Misalnya, Muhammadiyah melarang (bahkan menimbulkan bid'ah) pembacaan qunut subuh, sedangkan NU menganggapnya sunnah, bahkan termasuk ab'ad, jika tidak dilakukan maka wajib melakukan sujud sahwi dan masih banyak hal lainnya.  Alhamdulillah perbedaan pendapat ini  tidak lagi menimbulkan konflik, berkat kedewasaan dan toleransi masing-masing orang yang sangat besar.
Pandangan  keduanya sebenarnya berasal dari "madrasah" berbeda, yang sebenarnya sudah sangat tua. Muhammadiyah (lahir tahun 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) merupakan organisasi yang lahir dari inspirasi para pemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha (orang yang sangat rasional) serta para pemikir Salaf (literalis) seperti Ibnu Taimiyyah, Muhammad Abdul Wahab.  Misalnya, wacana ideologi modern  membuka pintu ijtihad dengan kembali ke Al-Quran dan Sunnah tanpa taqlid, sehingga merevitalisasi pemikiran Islam. Â
Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di seputar ibadah, sesungguhnya tidak masuk hal yang bersifat prinsip. Perbedaan itu misalnya, dalam jumlah raka'at dalam shalat taraweh, menggunakan qunut dan tidak, mengawali ushalli dalam mengawali shalat atau tidak, shalat hari raya dimasjid atau dilapangan, shalat jumat menggunakan adzan sekali atau dua kali, pakai kopiah atau tidak dan lain sebagainya. Â
Perbedaan paham keagamaan tersebut menjadikan masyarakat terprakmentasi secara tajam. Namun, seperti masyarakat desa pada umumnya, mereka masih memiliki lembaga yang mampu mempersatukan kelompok-kelompok tersebut.  Misalnya perkawinan, khitanan, kematian, kegiatan  yang berhubungan dengan pemerintahan desa, dan lain-lain.  MeskipunÂ
Perbedaannya sangat besar, namun mereka dapat dengan mudah didamaikan. Perbedaan pendapat seringkali diungkapkan dalam bentuk ironi, bahkan  ejekan. Sindiran atau ejekan terhadap kelompok lain, meski dimaksudkan  untuk memberitakan kesadaran kepada orang lain, sebenarnya kontraproduktif. Sindiran atau ejekan hanya akan menimbulkan kebencian. Orang yang dibenci tidak akan mengikuti ideologinya, apalagi jejak  orang yang mengkritik dan mengejeknya.  Maka menurut saya  perkembangan dakwah Muhammadiyah yang tidak mencapai kesuksesan besar secara cepat menjadi salah satu alasan mengapa dakwahnya dilakukan  melalui kritik-kritik tersebut. Â
Mengingat konsep terkini yang dikemukakan oleh beberapa pengurus dakwah kebudayaan pimpinan pusat Muhammadiyah, mungkin ini adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Saya yakin, jika Muhammadiyah menggunakan pendekatan budaya dan tidak menggunakan pendekatan menang-kalah yang lazim pada saat itu, maka pemahaman tersebut tidak akan  cukup kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H