Mohon tunggu...
Achmad MaulanaRois
Achmad MaulanaRois Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik Informatika

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya Jurusan teknik informatika

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Perbedaan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama

2 November 2023   13:44 Diperbarui: 2 November 2023   13:54 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Aspek Politik:

Di bidang politik, hal ini tidak terlalu terlihat karena organisasi Muhammadiyah tidak berorientasi ke arah itu meskipun ada pengurus atau tokoh tertentu yang menjadi partai utama.  Secara historis, Muhammadiyah lebih fokus pada peningkatan urusan sosial, keagamaan, dakwah, pendidikan, dan perekonomian umat. Berbeda dengan masyarakat Nahdliyin, tokoh NU mereka lebih kesulitan dalam berpolitik. Misalnya kita  lihat wakil presiden kita  dari NU atau KH. Mahruf Amin. 

Politik dan dakwah dalam struktur ideologi Muhammadiyah merupakan bagian dari teori dan strategi perjuangan dan ditentukan oleh masyarakat. Banyaknya tokoh yang masuk politik seperti Natsir dan lainnya berarti ada cukup andildidalamnya. Padahal dulu kader Muhammadiyah banyak yang berada di partai Bulan Bintang tetapi sekarang bebas untuk memasuki partai dan golongan apa saja. Dominannya kader Muhammadiyah lebih menginginkan adanya peraturan Islam berlaku dimasyarakat, penekanannya lebih pada amal, karya dan gerak dakwah .

Titik Temu antara NU dan Muhammadiyah

Muhammadiyah dan NU adalah organisasi dan bukan soal fiqih. Dalam konteks Indonesia saja, Muhammadiyah dan NU juga mewakili dua kelompok besar umat Islam secara fiqih. Muhammadiyah mewakili kelompok "modern" (begitu para ilmuwan menyebutnya), bahkan ada beberapa organisasi yang mempunyai pandangan serupa seperti Persis (Persatuan Islam), Al-irsyad, Sumatra Tawalib.  Sedangkan NU (Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok "tradisional", kecuali Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perit dan lain-lain.

Kedua organisasi tersebut mempunyai pandangan berbeda. Dalam masyarakat, perbedaan yang paling kentara terletak pada pembagian masalah furu' (cabang). Misalnya, Muhammadiyah melarang (bahkan menimbulkan bid'ah) pembacaan qunut subuh, sedangkan NU menganggapnya sunnah, bahkan termasuk ab'ad, jika tidak dilakukan maka wajib melakukan sujud sahwi dan masih banyak hal lainnya.  Alhamdulillah perbedaan pendapat ini  tidak lagi menimbulkan konflik, berkat kedewasaan dan toleransi masing-masing orang yang sangat besar.

Pandangan  keduanya sebenarnya berasal dari "madrasah" berbeda, yang sebenarnya sudah sangat tua. Muhammadiyah (lahir tahun 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) merupakan organisasi yang lahir dari inspirasi para pemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha (orang yang sangat rasional) serta para pemikir Salaf (literalis) seperti Ibnu Taimiyyah, Muhammad Abdul Wahab.  Misalnya, wacana ideologi modern  membuka pintu ijtihad dengan kembali ke Al-Quran dan Sunnah tanpa taqlid, sehingga merevitalisasi pemikiran Islam.  


Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di seputar ibadah, sesungguhnya tidak masuk hal yang bersifat prinsip. Perbedaan itu misalnya, dalam jumlah raka'at dalam shalat taraweh, menggunakan qunut dan tidak, mengawali ushalli dalam mengawali shalat atau tidak, shalat hari raya dimasjid atau dilapangan, shalat jumat menggunakan adzan sekali atau dua kali, pakai kopiah atau tidak dan lain sebagainya.  

Perbedaan paham keagamaan tersebut menjadikan masyarakat terprakmentasi secara tajam. Namun, seperti masyarakat desa pada umumnya, mereka masih memiliki lembaga yang mampu mempersatukan kelompok-kelompok tersebut.  Misalnya perkawinan, khitanan, kematian, kegiatan  yang berhubungan dengan pemerintahan desa, dan lain-lain.  Meskipun 

Perbedaannya sangat besar, namun mereka dapat dengan mudah didamaikan. Perbedaan pendapat seringkali diungkapkan dalam bentuk ironi, bahkan  ejekan. Sindiran atau ejekan terhadap kelompok lain, meski dimaksudkan  untuk memberitakan kesadaran kepada orang lain, sebenarnya kontraproduktif. Sindiran atau ejekan hanya akan menimbulkan kebencian. Orang yang dibenci tidak akan mengikuti ideologinya, apalagi jejak  orang yang mengkritik dan mengejeknya.  Maka menurut saya  perkembangan dakwah Muhammadiyah yang tidak mencapai kesuksesan besar secara cepat menjadi salah satu alasan mengapa dakwahnya dilakukan  melalui kritik-kritik tersebut.  

Mengingat konsep terkini yang dikemukakan oleh beberapa pengurus dakwah kebudayaan pimpinan pusat Muhammadiyah, mungkin ini adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Saya yakin, jika Muhammadiyah menggunakan pendekatan budaya dan tidak menggunakan pendekatan menang-kalah yang lazim pada saat itu, maka pemahaman tersebut tidak akan  cukup kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun