Mohon tunggu...
Achi Hartoyo
Achi Hartoyo Mohon Tunggu... Editor - https://achihartoyo.com/

https://achihartoyo.com/

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Secuil Kenangan Bersama Nenek Buyut

3 Oktober 2021   19:53 Diperbarui: 3 Oktober 2021   20:05 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nenek Uyut (panah merah) | Dokpri

Dulu, saat saya masih duduk di bangku sekolah taman kanak-kanak (TK) sampai dengan kelas lima SD, saya cukup akrab dengan nenek buyut sewaktu tinggal di Ngawi. Kita sekeluarga biasa memanggilnya Uyut. Nama aslinya Ngatinah.

Uyut saya ini suka mendongeng dan sering menuturkan cerita tentang susahnya hidup di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Uyut sekeluarga harus berpindah-pindah tempat ke sana-sini untuk menyelamatkan diri dari kejaran penjajah Belanda. Maklum, kakek buyut dan kakek kakung saya seorang veteran.

Selain menuturkan pengalamannya hidup di era penjajahan, beliau juga suka mendongeng tentang legenda rakyat seperti Ande Ande Lumut & Klething Kuning, legenda ular Baru Klinting muasal Rawa Pening, cerita tentang siluman air bernama Onggo Inggi yang sering meminta korban anak-anak yang suka mandi di sungai, legenda Jaka Tarub yang mengambil selendang bidadari yang sering mandi di air terjun saat bulan purnama, dan cerita-cerita rakyat lainnya.

Setiap kali Uyut mendongeng, saya selalu menyimaknya takjub. Meski saat itu usianya sudah sangat sepuh, tetapi ingatannya akan dongeng rakyat yang diperoleh dari nenek Canggah saya (orangtua Uyut) masih bisa dituturkan dengan jelas ke saya, buyutnya.

Beliau tidak pernah mengenyam dunia pendidikan. Maklum, hidup pada masa penjajahan Belanda-Jepang masih sangat susah. Saat itu, masih jarang orang pribumi yang bisa mengenyam pendidikan. 

Apalagi Uyut saya perempuan. Kesetaraan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki belum ada. Masih bisa makan saja sudah syukur Alhamdulillah.

Suatu ketika, saat saya pulang sekolah, Uyut mengajak saya makan siang dengan menu jamur bakar. Inilah kali pertama saya menikmati kuliner jamur yang dimasak Uyut. Rasanya sangat nikmat. 

Jamur yang diramban dari halaman belakang rumah, entah apa jenisnya saya lupa, beliau bungkus dengan daun pisang seperti membungkus botok.  

Jamur tersebut diberi kuah dan bumbu rempah-rempah, kemudian dipanggang di atas wajan tanah liat di atas anglo (tungku tanah liat).

Aroma wangi daun pisang yang terpanggang tersebut masih terekam kuat di ingatan saya. Sungguh rasanya benar-benar enak dan tak bisa dilupakan. 

Sayangnya, saat itu saya belum tau dan tentu saja belum tertarik dengan dunia kuliner. Maklum, masih kelas satu atau dua SD. Andaikan saat ini, Uyut masih hidup tentu saya akan minta resep jamur panggang yang dibungkus daun pisang tersebut.

Di lain waktu, Uyut mendongengkan saya legenda sebuah sendang yang bersumber dari sebuah pohon besar di suatu daerah. Dalam Bahasa Jawa sendang berarti mata air. Sayangnya, saya benar-benar lupa di mana lokasi sendang tersebut berada.

Sendang tersebut awalnya kecil dan sering digunakan warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Lama kelamaan sendang tersebut membesar dan tiba-tiba muncul gerih pethek (ikan yang habitat aslinya berada di lautan).

Kemunculan gerih pethek tersebut membuat geger warga desa. Mereka menganggap kehadiran gerih pethek di sendang air tawar (tempat yang tidak seharusnya jenis ikan air asin berada) tersebut, sebagai pertanda akan datangnya sebuah bencana yang akan melanda wilayah desa. Atas inisiatif warga, kejadian tersebut kemudian dilaporkan ke raja.

Raja takut. Beliau menganggap kemunculan ikan tersebut sebagai ancaman bencana yang akan menenggelamkan wilayah kekuasaanya. Alkisah sendang yang bersumber dari pohon besar tersebut akhirnya ditutup dengan gong keramat dari keraton, agar airnya berhenti keluar dan tidak membanjiri wilayah kekuasaannya.

Cerita ini menurut saya sangat menarik. Sayangnya saya beneran lupa dari daerah mana legenda ini berasal. Yang jelas, dongeng-dongeng masa kecil yang dituturkan Uyut masih terekam kuat hingga sekarang.

Saat dewasa, saya jadi suka baca cerita dari buku Babad Tanah Jawa dan Serat Centhini. Cerita-cerita di buku tersebut mengingatkan kenangan saya dengan Uyut dan leluhur.

Uyut saya ini punya adik yang biasa kita panggil Uyut Ragil. Dalam Bahasa Jawa ragil berarti bungsu dan memang Uyut Ragil adalah adik bungsu Uyut. Beberapa hari sebelum Uyut meninggal, Uyut Ragil datang dari rumahnya di Klaten ke Ngawi. Uyut meninggal di usia 92 tahun saat saya masih kelas 5 SD.

Saat itu, tahun 90an internet dan ponsel pintar belum ada. Telepon juga masih langka di Ngawi. Uyut Ragil ini seperti tau kalau kakaknya (Uyut) mau berpulang. Di antara mereka seperti ada chemistry atau kontak batin untuk berkomunikasi.

Mungkin juga mereka berdua juga berkomunikasi dengan cara telepati. Saya kurang tau. Maklum, orang Jawa zaman dulu tirakatnya kuat dan rata-rata punya 'pegangan'. 

Uyut Ragil ini meski juga sudah sepuh tapi masih kuat untuk melakukan perjalanan dengan transportasi umum. Kedatangan Uyut Ragil ini seperti sudah dipesan oleh Uyut untuk membantu melepas 'pegangan' yang dimilikinya.

Tak lama setelah Uyut Ragil datang dan membantu proses pengambilan 'pegangan', Uyut kemudian meninggal dengan tenang. Yang saya ingat, saya menangis sesenggukan karena Uyut sudah tiada. 

Tidak ada lagi dongeng-dongeng indah yang akan dituturkan lagi ke saya setelah pulang sekolah atau sebelum tidur. Ya, dulu saya sering tidur di kamar Uyut untuk mendengarkan dongeng-dongeng darinya.

Ah, kenangan-kenangan bersama Uyut memang tak akan pernah bisa pudar. Malam ini, untuk merekam kenangan indah dan nostalgia bersama Uyut, saya menuliskannya. Semoga Uyut tenang dan bahagia di sisi Gusti Allah.

With love dari buyutmu. Love you to the moon and back. Al Fatihah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun