Kesenjangan Perhatian di Wilayah Perbatasan
Mirisnya, di saat pemerintah tengah gencar-gencarnya menarik wisatawan mancanegara, terdapat setumpuk ‘tugas rumah’ pemerintah yang seharusnya juga perlu diselesaikan. Selama puluhan tahun wilayah perbatasan selalu diperlakukan sebagai daerah belakang (periphery areas) dan cenderung kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat. Sungguh sangat disayangkan mengingat bahwa daerah perbatasan merupakan ‘beranda terdepan bangsa’. Bukankah hal tersebut berdampak pada timbulnya kesenjangan sosial dan pendapatan yang memicu kecemburuan pada masyarakat di wilayah perbatasan?
Kemiskinan yang kian menjamur di wilayah perbatasan dan terjalinnya keterikatan, kedekatan serta kekerabatan dengan penduduk di negara tetangga, faktor-faktor itulah yang dimanfaatkan oleh masyarakat di negara tetangga untuk mengambil untung sendiri. Contohnya maraknya kasus pencurian kayu (illegal logging) dan perdagangan kayu illegal yang hingga detik ini masih belum terberantas dengan tuntas. Apabila kita analisis lebih lanjut, sebenarnya bukan perkara kurangnya koordinasi antara instansi terkait maupun terbatasnya dana untuk pengawasan dan patroli petugas hutan di sekitar wilayah perbatasan, melainkan masyarakat di daerahsana merasa lebih dekat dan diperhatikan oleh negara tetangga dibandingkan negaranya sendiri.
Negara tetangga seperti Malaysia lebih memerhatikan puluhan desa yang berada di Kecamatan Lumbis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara. Bentuk perhatian tersebut melalui pemberian listrik gratis secara cuma-cuma, tidak hanya itu masyarakat juga diberikan fasilitas untuk membuat Identity Card (IC) atau kartu kewarganegaraan Malaysia. Sehingga banyak warga Lumbis Ogong yang memiliki dua kewarganegaraan. Jika mereka merasa lebih diperhatikan oleh negara tetangga, bukan hal mustahil jika ke depannya mereka lebih memihak negara tetangga dibandingkan Indonesia. Perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah perbatasan seperti desa Sintang,Maniau, Mungguk Gelombang di Kalimantan Barat mungkin tak semeriah perayaan hari kemerdekaan Malaysia. Permasalahannya bukan pada rasa nasionalisme yang mulai terkikis, melainkan salah satu bentuk sikap kekecewaan terhadap pemerintah Indonesia yang dinilai lamban membangun infrastruktur dan ekonomi di wilayah perbatasan.
Saatnya Berbenah..
Pembangunan daerah perbatasan tidak hanya memerlukan kerangka-kerangka kebijakan strategis saja, melainkan perlunya tindakan nyata pemerintah. Penanganan yang menyeluruh meliputi berbagai sektor pembangunan, koordinasi, serta kerjasama yang efektif mulai dari pusat hingga ke tingkat kabupaten/kota mampu menciptakan perubahan yang berarti di wilayah perbatasan. Perumusan kebijakan makro yang pelaksanaannya bersifat strategis dan operasional hendaknya mempertimbangkan pula aspek waktu yang ketat sehingga berbagai permasalahan dapat langsung tertangani. Tidak hanya itu, pendekatan lebih dalam sepertinya perlu dilakukan agar masyarakat di wilayah perbatasan tidak lagi merasa ‘dianak tirikan’ di tanah kelahirannya sendiri. Semua elemen baik dari masyarakat, pemerintah maupun berbagai pihak terkait merupakan faktor penting dalam pelaksanaan pembangunan daerah di wilayah perbatasan. Sebagai negara kepulauan yang memiliki beribu pulau dalam wilayahnya, Indonesia harus memiliki prinsip tegas dalam melindungi ‘beranda terdepan bangsa’nya agar kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI dapat terjamin secara optimal.
*ingin berdiskusi lebih lanjut seputar artikel "Pariwisata Semakin di Depan, Wilayah Perbatasan Semakin Terpinggirkan" kunjungi http://www.ridwanloekito.id/post/pariwisata-semakin-di-depan-wilayah-perbatasan-semakin-terpinggirkan
Sumber:
www.ridwanloekito.id, sebuah blog inspiratif yang mengajak para netizen untuk berpikir lebih kritis, saling berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai topik-topik yang sedang hangat diperbincangkan di sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H