Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang mahsyur akan keindahan alam nusantaranya. Potensi-potensi alamnya bahkan telah membuat Travel & Tourism Competitiveness Report dari World Economic Forum menobatkan peringkat 50 pada Indonesia di tahun 2015, meningkat sebanyak 20 poin dari tahun 2013 yang hanya menempati peringkat 70. Peningkatan peringkat tersebut cukup mengagumkan mengingat bahwa industri pariwisata Indonesia merupakan salah satu sektor yang penting untuk meningkatkan kontribusinya pada Produk Domestik Bruto (PDB).
Menginjak bulan kedua pada tahun 2017, Kementrian Pariwisata (Kemenpar) Indonesia sepertinya telah bersiap-siap menancap gas untuk melakukan serangkaian agenda kepariwisataan. Pada tahun ini Kemenpar menargetkan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia sebanyak 15.000.000 orang, sebuah target sekaligus harapan yang cukup optimistis. Menurut data yang dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah wisatawan mancanegara pada tahun 2013 yaitu 8.802.129, kemudian tren peningkatan terus terjadi pada tahun berikutnya yaitu 9.435.411 pada tahun 2014, dan 10.230.775 pada tahun 2015. Peningkatan yang terus terjadi di setiap tahunnya tersebut mencerminkan bahwa pemerintah Indonesia telah berusaha mengoptimalkan potensi sumber daya alam di wilayah Indonesia sebaik mungkin.
Mengoptimalkan Potensi Wisata Indonesia
Kementrian yang berada di bawah komando Arief Yahya tersebut rencananya akan memperkuat dan memelihara branding Wonderful Indonesia di berbagai negara. Berbagai upaya promosi telah gencar dilakukan, seperti dalam perhelatan The Wonderful Indonesia Beach Festival yang telah diselenggarakan pada tanggal 21-22 Januari 2017 lalu di mana acara tersebut sukses menarik perhatian para pengunjung. Acara yang berlangsung di ST Kilda Beach, Melbourne Australia tersebut merupakan sebuah outdoor festival dalam rangka memperkuat hubungan antara Indonesia dan Australia melalui budaya, musik, kuliner dan pariwisata. Selain itu, Wonderful Indonesia juga mendapat kehormatan untuk tampil dalam program Rhythm of The Spring Festival di China dalam rangka menyambut acara malam tahun baru Imlek sepekan yang lalu. Hal ini merupakan kali pertama Indonesia memperoleh kehormatan tampil bersama sepuluh negara ASEAN plus sejumlah negara lain seperti Australia, Selandia Baru, Hongkong, Makau dan Turkmenistan.
Berita terbaru lainnya yaitu Kemenpar semakin serius menggarap pasar Osaka di Jepang. Bersama dengan KJRI Osaka Jepang, Kemenpar menjalin kerja sama dalam mengampanyekan Wonderful Indonesia di perhelatan One World Festival 2017 selama dua hari yaitu pada tanggal 4-5 Februari 2017. Strategi branding Wonderful Indonesia memang yang terbaik bahkan mengalahkan Thailand dan Malaysia (World EconomicForum, 2015). Sehingga tidak mengherankan jika sektor ini digadang-gadang  sebagai penyumbang PDB, devisa dan lapangan kerja yang paling mudah dan murah.
Kurangnya Perhatian Pemerintah
Kemajuan pesat pada sektor pariwisata Indonesia menunjukkan betapa besarnya perhatian pemerintah terhadap wilayah kepulauan nusantara ini. Melalui serangkaian branding Wonderful Indonesia di berbagai negara, banyak wilayah-wilayah terpencil yang mulai terekspos dan mendapat perhatian wisatawan seperti pulau Komodo, Belitung, Labuan Bajo, Flores, Taman Nasional Wakatobi, Morotai, dll. Namun sayangnya perhatian pemerintah Indonesia tersebut belum sepenuhnya menyeluruh. Misalnya saja pengelolaan hutan di wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste. Padahal jika dicermati lebih lanjut, seharusnya pemerintah dapat mengoptimalkan wilayah perbatasan tersebut untuk menunjang pariwisata di Indonesia.
Pembangunan daerah perbatasan sejatinya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Selain itu daerah perbatasan yang realitanya dijuluki sebagai ‘beranda terdepan bangsa’, merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah Indonesia. Namun kenyataannya malah tidak terurus dan tampak tak terjamah sarana prasarana pemerintah. Permasalahan berdimensi lokal seperti kemiskinan, kesenjangan sosial antara penduduk dalam negeri dengan penduduk negara tetangga, hingga permasalahan berdimensi nasional seperti kegiatan ekonomi ilegal serta pergeseran garis tapal batas, merupakan serangkaian permasalahan yang seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah Indonesia. Bahkan daerah perbatasan seperti Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara, yang terus menerus menjadi sumber konflik antar negara tetangga serta kasus ‘hilangnya’ Sipadan dan Ligitan beberapa waktu silam, seharusnya menjadi titik perubahan pemerintah Indonesia untuk lebih mengurusi persoalan di wilayah perbatasan.
Kerugian Negara..
Memang pariwisata Indonesia pantas untuk mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, terlebih mengingat sektor ini merupakan salah satu aspek penting dalam diplomasi ekonomi. Paradigmanya pariwisata adalah salah satu sektor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Hal tersebut memang benar adanya, sebab devisa pariwisata Indonesia sebesar US$1.000.000, menghasilkan PDB US$ 1.700.000 atau 170% tertinggi dibanding industri lainnya (Publikasi Kemenpar, 2016). Namun mari kita bandingkan dengan kerugian Indonesia akibat minimnya perhatian pemerintah terhadap wilayah perbatasan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pada 2004-2012 terdapat 2.494 kasus pembalakan liar untuk lahan perkebunan dan pertambangan illegal di delapan provinsi. Kerugian yang dicatat akibat illegal logging tersebut yaitu sebesar Rp 276,4 trilliun. Adapun hutan di Indonesia yang rusak mencapai 41.000.000 hektare dari 130.680.000 hektare hutan di Indonesia. Kerugian tersebut belum mencakup kasus pada illegal fishing di perairan Indonesia yang mencapai US$ 20 miliar per tahun. Jika saja pencurian ikan oleh kapal asing itu dapat dihentikan, tentu bisa menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kasus lainnya yaitu terletak di daerah perbatasan Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan negara bagian Malaysia. Sebenarnya wilayah tersebut dapat dikatakan strategis dan berpotensi menjadi pusat pertumbuhan industri, perdagangan serta pariwisata baru. Permasalahannya yaitu adanya kesenjangan ekonomi masyarakat perbatasan dengan masyarakat Sabah dan Serawak, aktivitas perekonomian yang masih bersifat tradisional, kondisi fisik wilayah yang sulit dijangkau transportasi umum, dan masih rendahnya kualitas sumber daya manusia di daerah tersebut. Beranjak ke daerah perbatasan lainnya, Kabupaten Belu yang terletak di wilayah perbatasan negara Timor Leste. Kabupaten Belu seperti luput dari perhatian pemerintah, hal tersebut tampak melalui rendahnya kualitas pendidikan, minimnya tenaga kesehatan, rendahnya dukungan lembaga keuangan, maraknya kasus pengrusakan hutan lindung, dan meluasnya pasar gelap di wilayah perbatasan, merupakan sederetan kasus yang mencerminkan betapa wilayah perbatasan di Indonesia tidak terperhatikan oleh pemerintah.