Mohon tunggu...
Achmad Tijani
Achmad Tijani Mohon Tunggu... -

Sang Pejantan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bedah Buku: Senandung Cinta Si Bahlul

5 Juli 2017   10:18 Diperbarui: 5 Juli 2017   10:28 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Dok.Pribadi

Membaca kumulasi tulisan sastra berbetuk puisi bukan hal yang mudah, butuh kemapanan multidimensi. Mengingat setiap kata dalam puisi selalu mempunyai kaitan yang tidak dapat diterka secara pasti. Kadang suatu kata hanya berfungsi sebagai pelengkap, namun bisa jadi juga bermakna sebagai kata kunci yang akan mengantarkan pada pemahaman mengenai wacana dalam suatu tema puisi tertentu. Karenanya, memahami puisi kadang labih sulit daripada hanya sekedar menikmatinya.

Sebagai konsekuensi bagi para pembaca karya puisi harus selalu dalam keadaan sadar, tidak tenggelam pada arus diksi yang memukau, namun juga tidak mungkin menihilkannya. Membaca puisi tidak jauh berbeda seperti melakukan pendakian pada suatu gunung yang selalu dikelilingi oleh pemandangan yang menakjubkan. Si pendaki tidak boleh terjebak pada pemandangan di sekitar, tapi harus tetap menguatkan langkahnya menuju puncak, sambil menikmati pemandangan yang dilaluinya.

Puisi dalam hal ini tentu tidak hanya sekadar instrumen yang dapat menghaluskan pesan yang kasat atau sekadar permainan kata, akan tetapi puisi bisa jadi merupakan representasi dari diri. Dengan demikian, membaca puisi merupakan suatu upaya untuk memahami subyektifitas yang diletakkan sebagai obyek dan ditransformasikan menjadi rangkuman-rangkuman yang bernilai obyektif. Dari sinilah kemudian pembaca menafsirkan, memberikan simpulan lalu kemudian bisa jadi menempatkan sebagai pelajaran untuk dirinya maupun bagi orang-orang di sekitarnya.

Di sisi lain, puisi dan setiap misteri pada kata-kata yang ada di dalamnya seakan menjadi suatu karya yang tidak lapuk dikikis zaman. Sehingga dalam hal ini, puisi tidak hanya dapat dibaca dari nilai-nilai subyektifitas penulisnya, akan tetapi bisa saja dibaca sekadar pada sisi bahasanya saja. Rangkaian kata dan muatan keindahannya menjadi sisi lain yang terus dapat menghidupkan suatu karya puisi sepanjang zaman.

Keberadaan puisi diantara tingkat kesulitan dalam memahaminya, misteri keindahan pada setiap kata serta nilai-nilai subyektifitas penulisnya telah menjadi keunikan tersendiri yang banyak mengundang keseriusan insan akademisi untuk membaca dan menikmati puisi. Dalam hal ini buku "Senandung Cinta Si Bahlul" karya Eka Hendry yang merupakan segmentasi karya sastra berbentuk puisi dirasa cukup menarik untuk diuraikan, walau kemudian segala kemungkinan hasil obyektifasi penulis dan makna subyektifitas dari Eka Hendy sebagai penulis dari buku tersebut tentu akan terdapat perbedaan.

Upaya obyektifasi tidak dalam rangka dikonfrontasikan dengan subyektifitas penulis puisi, akan tetapi hal tersebut dimaksudkan sebagai bagian dari kemerdekaan pembaca untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran yang sesuai dengan dirinya. Untuk itu, segala hal mengenai simpulan dari hasil pembedahan penulis mengenai karya Eka Hendry ini bukanlah representasi yang sesungguhnya dari yang diinginkan oleh penulis puisi. Bahkan, dengan sangat terbuka para pembaca yang lain dapat mengutarakan dan jika memungkinkan juga diperkenankan untuk mengoreksi kesimpulan penulis yang akan disampaikan dalam tulisan ini.

***

Rangkaian puisi dan pengelompokannya dalam buku Senandung Cinta Si Bahlul tidak dapat dimaknai sebagai perjalanan fisik historis dari penulisnya. Secara implisit buku tersebut merupakan wakaf pemikiran si penulis yang dilimpahkan sepenuhnya kepada kepentingan pembaca. Jikapun penulis mencantumkan peristiwa, peruntukan dan masa dari suatu judul puisi yang ditulisnya hanya merupakan instrumen untuk menghubungkan pada realitas multikonteks para pembacanya. Misalnya, ketika penulis menuliskan puisi untuk anaknya, penulis tidak berarti hanya menuliskan relasi dirinya dan anaknya belaka, akan tetapi didalamnya juga terdapat pesan-pesan universal yang dapat diambil oleh setiap bapak untuk anaknya.

Di sisi yang lain, puisi tetaplah juga milik penulisnya. Segala maksud bisa jadi memang untuk si penulis, jikapun terdapat maksud yang menyinggung orang lain atau bahkan menyinggung pembacanya sendiri tentu bukanlah kehendak si penulis. Semua itu mungkin karena hidup ini diperagakan untuk saling memahami tentang kesamaan dan saling mengerti beberapa hal tentang perbedaan. Disinilah puisi itu menjadi lebih berbeda dari karya tulis lainnya, mengajari tanpa harus merinci ajaran, memberi petuah tanpa menasehati, membari masukan tanpa memaksakan, semuanya mengalir dengan saling meminjam dan menjabat perasaan antara penulis dan pembacanya.

Buku Senandung Cinta Si Bahlul bisa jadi membuat pembacanya tersenyum-senyum sendiri, menitikkan air mata atau bahkan merasa terhina dan tersudutkan, namun tidak mungkin melahirkan murka, karena memang tidak terdapat sentimen membenci dalam puisi, akan tetapi hanya ada seruan untuk memperbaiki diri. Namun ada kalanya pembacanya juga akan melewati semua bait-bait itu layaknya angin sepoi yang menerpa sejuk wajahnya, lalu lelaplah kemudian dalam nyenyak dan mimpi-mimpi indah.

Puisi memang dapat saja menjadi karya sakral tentang ajaran agama dan moral, bisa jadi juga sangat filosofis dikarenakan maknanya yang sangat dalam dan universal, tapi puisi juga bisa jadi adalah karya tulis renyah dan menyenangkan. Maka, buku Senandung Cinta Si Bahlul tidak hanya dapat mengetuk hati dan mengernyitkan dahi, tapi mungkin juga bisa menjadi pengantar santai menuju mimpi di daratan kasur kapuk nan empuk. Elastisitas puisi tidak hanya berkaitan dengan situasi, akan tetapi juga tidak memandang jenis dan umur pembacanya. Pembacanya boleh kaya, miskin, pria, wanita, muslim non muslim dan boleh juga serius maupun juga sambil bercanda.

Buku Senandung Cinta Si Bahlul ini juga tidak hanya dapat menggambarkan kelihaian penulisnya dalam merangkul dan menjembatani pluralitas, tapi segmentasi sajian dari sisi judul buku juga menjadi perhatian yang tidak kalah menariknya dari elastisitas puisi itu sendiri. Term Bahlul banyak diidentikkan dengan sosok yang lugu dan bodoh, atau dalam strata sosial menempati posisi paling bawah. Walau demikian, term Bahlul dalam hal ini mempunyai makna berbeda dari makna pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari pesan-pesan pada bait-bait puisi si penulis yang sangat dalam.

Perbedaan makna dari makna mainstream pada term Bahlul mungkin dapat diilustrasikan pada gradasi ilmu dalam pandangan berikut; Pertama kelompok orang yang memiliki keterbatasan ilmu bisa dibilang sebagai mambaul ilmi(sumber ilmu), keduakelompok orang yang lebih baik kelimuannya dari kelompok pertama bisa dibilang nahrul ilmi(sungai ilmu) dan ketigaorang yang memiliki ilmu yang sangat luas dapat dibilang sebagai bahrul ilmi(samudera ilmu). Term Bahlul memang bukan bagian dari gradasi ilmu tersebut, namun dilihat dari pesan-pesan yang dalam pada buku Senandung Cinta Si Bahlul karya Eka Hendri ini, saya pribadi (penulis) menduga bahwa makna Bahlulmerupakan puncak pengetahuan yang kemudian akan mengembalikan manusia pada kebodohan. Maka, orang yang sangat pintar bisa jadi merekalah yang juga merasa bodoh.

***

Secara garis besar buku Senandung Cinta Si Bahlul dibagi menjadi lima bagian. Pembagian tersebut secara nominal mempunya kemiripan dengan rukun Islam yang juga ada lima. Mungkin saja pembagian tersebut hanya kebetulan dan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan rukun Islam itu sendiri. Namun angka lima merupakan angka ganjil, dimana dalam terminologi agama angka ganjil banyak diidentikkan dengan segala hal yang disukai oleh Allah.

Asosiasi di atas mungkin bisa jadi cukup berlebihan, namun sekali lagi penulis atas nama kemerdekaan pembaca karya sastra tentu sah-sah saja untuk menafsirkannya secara bebas. Apalagi penafsiran yang bebas tersebut tidaklah benar-benar lepas dari realitas dan makna-makna puisi yang ada dalam buku Senandung Cinta Si Bahlul. Secara kasat mata gambar pada cover buku tersebut begitu sangat abstrak, tidak dapat dinilai secara positivistik yang hanya berpijak pada ukuran angka belaka. Gambar tersebut mengajak setiap perasaan untuk melayang, mengawang diantara kepulan asap putih yang seakan terdapat orang menari membelah awan. Dalam dunia mitologi keberadaan Tuhan ditempatkan di atas, yang berarti digambarkan ada di langit. Maka gambaran orang menari membelah awan pada cover buku tersebut seakan mengajak setiap individu mendekati Tuhan.

Angka lima yang ganjil, isi puisi yang sangat sufistik serta pilihan gambar cover yang abstrak adalah sajian yang tidak dapat diabaikan tanpa makna. Maka asosiasi berlebihan mengenai lima bagian dalam buku Senandung Cinta Si Bahlul dengan rukun Islam yang lima walau tidak memiliki hubungan yang signifikan, namun penulis menduga bahwa lima bagian dalam buku tersebut juga dapat dibilang sebagai rukun atau pilar-pilar yang dapat menyanggah individu dekat dengan Tuhannya. Berikut penulis mencoba membagikan pemahaman penulis mengenai lima bagian dalam buku Senandung Cinta Si Bahlul.

Bagian pertama, penulis buku memberinya tema Amanah Kehidupan. Pada bagian ini terdapat 9 judul puisi yang secara garis besar berisi tentang berbagai realitas yang paling dekat dengan kehidupan penulis buku. Dalam hal ini pesan-pesan yang disampaikan terlihat sangat domistik dalam lingkungan keluarga. Ada kebanggaan, espektasi dan pesan moral orang tua kepada anaknya. Namun yang paling penting dalam persoalan amanah kehidupan adalah menjaga hubungan interelasi yang harmonis dalam keluarga, suami tidak boleh egois, bahkan harus menempatkan istri sebagai pengendali kehidupan keluarga yang dapat mengantarkan menjadi keluarga yang beriman dalam bingkai sakinah, mawadah wa rohmah.

Penulis menemukan pada bigian pertama ini ada makna yang sederhana pada tem Amanah yang disajikan oleh penulis buku, namun di dalamnya terdapat makna fungsional luar biasa untuk kehidupan. Jika kebanyakan orang menempatkan term amanah selalu berkorelasi dengan kekuasaan dan harta, maka Eka Hendry memberikan masukan yang berbeda, bahwa Amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah dalam memiliki keluarga untuk menuju kebahagiaan dalam beribadah kepada Allah.

Bagian kedua, Suara Perempuan. Bagi penulis buku, perempuan itu memiliki fungsi yang sangat vital dalam kehidupan. Terdapat delapan judul eksplisit mengenai prempuan, dimana penulis buku menempatkan perempuan sebagai puncak keindahan dan pengendali kehidupan. Jika baik perempuannya, maka baik pulalah dunia ini. Untuk itu doa sang perempuan bisa jadi mukjizat, tangisnya menjadi kesedihan dunia dan maksiatnya bisa jadi laknat untuk dunia.

Bagian ketiga, Syair Sang Pecinta. Bagian ini bisa jadi menjadi bagian inti dari segala pesan yang ingin disampaikan oleh penulis buku. Uraian mengenai konsekuensi bertauhid yang tidak hanya berhenti pada keyakinan dalam hati (tashdiq bi al-qalbi)dan pengakuan secara lisan (nutqan bi al-lisan)tapi harus diikuti dengan tindakan nyata (amal bi al-arkan).Tiga hal tersebut secara implisit terurai dalam suatu pengakuan terhadap ke-Mahabesaran Allah dalam cintanya seorang hamba terhadap Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Pada bagian ini pulalah nuansa sufistiK itu sangat kental dengan singgungan-singgungan mengenai ahwaldan maqamat.(lihat pusi judul: ana al-haq dan Kiblat Hati).

Bagian keempat, Sabda Jiwa Petapa. Pada Bagian ini terdapat upaya serius dari penulis buku untuk memaknai keramaian dan keheningan. Sesekali penulis buku seakan keluar masuk pintu keramaian dan keheningan secara bergantian, sehingga bisa saja secara fisik sedang berada dalam keramaian, namun sejatinya penulis buku sedang bertapa membangun makna dalam kesepian dan kesendiriannya. Upaya tersebut satu sisi merupakan bagian menjada kesadaran si penulis buku terhadap dirinya, pada saat yang sama ingin terus terjaga dan terhubung dengan Allah Tuhan semesta Alam. (lihat puis juduli: Menanti di bawah pohon penantian dan Tirai Subuh).

Bagian kelima, Balada Si Bahlul. Bagian ini adalah pamungkas yang berisi tentang relasi espektasi dan kenyataan. Keduanya dapat saja didudukkan secara bergantian, boleh espekatasi mengawali, lalu kemudian diikuti dengan realita, atau mungkin sebaliknya, tapi sangat tidak mungkin didudukkan dengan saling berlawanan. Secara substantif, bagian kelima ini berisi fatwa retoris bagi siapa saja yang mempunyai banyak keinginan agar tetap harus sejajar dengan usaha yang dilakukan. Caranya adalah kebaikan untuk kebaikan dan tidak ada jalan kejahatan yang menuju pada kebaikan. Selain dari itu hal yang harus diingat adalah, dunia ini penuh dengan tipu daya, disinilah kemudian manusia diuji untuk melewatinya. (Lihat pusii judul, Si bahlul ingin jadi raja).

Lima bagian tersebut di diikat dengan satu esensi yaitu menuju Tuhan, bersama Tuhan, kembali turun ke bumi dengan Tuhan dan di bumi atas nama Tuhan. Maka itulah sebenarnya inti misi kehidupan manusia, yaitu menjadi pengatur dunia (khalifah fi al-ardi) dan hamba Allah (ibadurrahman).

***

Kehadiran ide si Bahlul ala Eka Hendry ini dalam konteks keremangan antara fakta dan imajinasi di era kebangkitan teknologi dirasa cukup relevan untuk mengatasi berbagai persoalan, khususnya persoalan eksistensi diri. Kondisi manusia yang selalu tidak dapat dipisahkan dengan produk-produk mekanis telah mengurangi sisi otentisitas eksistensi dirinya, bahkan cenderung menjadi bayang-bayang dari syahwat-syahwat global yang bermetamorfosa lewat proses diffusi. Dalam terminilogi sosiologi modern, proses diffusi merupakan transformasi sosial yang sebenarnya tidak diinginkan oleh masyarakat tertentu namun terpaksa terjadi akibat kendali-kendali dan ketergantungan terhadap teknologi. Hadirlah situasi orang miskin mencerminkan orang kaya, orang Indonesia bergaya ala Eropa dan perubahan-perubahan tidak lazim lainnya.

Tawaran si Bahlul dengan lima komponennya merupakan ajakan yang santun dan cukup layak untuk dilirik, namun tentu semuanya tergantung pada kita, apakah akan tetap membiarkan "aku" sebagai diri yang hilang dari kita, atau menemukannya kembali menjadi bagian dari diri kita. Semua ada pada pilihan kita masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun