Usia menua, rimba dalam kepala kian rimbun.
Akar menjulur dalam tanah, pucuk menengadah langit, daun jatuh dan terhempas.
Dulu ia serupa ladang, dirawat tani saban hari di dalam dua musim.
Musim dalam dua mata, mata yang berair datang, mata yang menangis pulang.
Sebab ladang bersarang babi; beranak-pinak, menjadi komunitas menjarah,
ladang berbuah racun, menjadi rimba: rimba dalam kepala tani.
Usia menua, merusak sel-sel otak seperti hama, seperti endusan babi liar,Â
menyeringai tatkala berpapasan dengan anjing, padahal keduanya terkutuk dalam mushaf.
Tani mengukur bayang waktu, saban petang ia bermenung, saban malam ia merangkul bayang, tatkala pagi ia meratap diri menua, usia, kenangan, penyesalan.
Ia bersua dengan petani muda yang baru turun dari tangga rumah kolong,
mengucek mata sebab kantuk bergadang malam, bekul matanya, sirah bijinya, hitam cengkuk kelopaknya, kabur pandangannya.
Ia sebut, "Kau nanti akan menyesal, Muda, kau lihatlah ladang telah rimba, waktu kian menepi, binatang melata kian dekat.
Kau nanti akan menyesal.
Aku akan kembali setelah ladang ini benar-benar ditelan rimba itu. Dan kau akan menjelma pokok kayu yang dikutuk zaman dan dipelihara waktu.
Usia menua, rimba dalam kepala kian rimbun.
Seperti kenangan yang tertimbun dari waktu ke waktu, dari keramaian menuju sunyi, dari cinta menjadi sepi: kembali sepi, sepi, dan mati.
Solok Ambah, 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI