Di kota ini, T, jarak kita seperti hulu dan muara,
aku terus mengikuti arus sesuai kodratku seperti air yang menghilir tenang,
mengalir dari waktu ke waktu.Â
Orang darat bilang, dari hulu segala sesuatu tentang pelayaran akan dimulai.Â
Hulu sebaik tempat untuk melabuhkan sampan, perahu, kapal dan sejenisnya.Â
Kemudian mata mengarahkan ke pusat cahaya.
Meninjau cuaca apa hari akan terlihat elok dan nasib membawa keberuntungan. Ya, di kota ini, T,
kau pun serupa muara.
Muara yang tenang,
muara yang menyimpan rahasia pelayaran.Â
Menanti dari waktu ke waktu,
mengamini setiap doadoa yang dihimpunkan dalam secarik kertas
serupa sajak dari hulu yang menghilir menuju muaramu.
Orang darat bilang, kau muara yang setia. Tempat labuh setiap impian,
tempat cerita pengalaman,
 dan menaruh secuil rindu dari waktu ke waktu.
Adakah lebih indah dari pelayaran di bawah temaram bulan?
 Saat cahaya memantul pada permukaan air yang tenang?Â
Aku rasa puisi akan terlihat romantis bila gemericik air dari kayuhan ini menjadi melodi yang menyanyikan kidung cinta?
T, percayalah, kodratku seperti air; mengilir, mengalir dari hulu ini.
Aku hanya perlu meyakinkan diri untuk terus mengalir menemui muaraku.
Dan apakah kau pernah tahu tentang rindu seorang perempuan yang menunggu kepulangan seorang lelakinya dari pelayaran?
Ia akan selalu berdiri di bibir pantai, memandang ke tengah laut,
 kapan pertemuan akan kembali dan perpisahan akan pulang.
Aku percaya, rindu sangat sederhana. Sangat sederhana.
T, bila arus masih tenang aku akan sampai.Â
Percayalah! Karena aku yakin semua akan baik-baik saja.
Di kota kita, di laut kita, di hulu dan muara, pernahkah kita ragu pada Tuhan?
Padang, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H