[caption id="attachment_330356" align="aligncenter" width="300" caption="Terumbu Karang Pulau Cengkeh/Cangke"]
Di bawah rumah Dg Abu dan istrinya kami bercerita banyak. Ia juga menceritakan bahwa rumah yang ditempatinya saat ini adalah bantuan dari Dompet Duafa sambil menunjuk rumah aslinya di sebelahnya yang juga masih ditempatinya yang katanya di mana ia capek di situlah ia terbaring. Di dinding rumahnya ada beberapa piagam penghargaan beserta foto-foto yang terpasang, baik dari pemerintah maupun dari NGO lainnya. Dg Abu dan istrinya bukannya tidak punya anak. Ia punya anak tunggal laki-laki dan tujuh cucu, bahkan sudah punya cicit tapi semunya tinggal di Pulau Pala. Dg Abu sering diajak oleh anak-cucunya tinggal bersama, tapi Dg Abu tidak mau karena sudah terlanjur cinta dengan Pulau Cengkeh/Cangke. Padahal, di pulau sebelah ada sampai 80 KK penghuninya, termasuk anak cucu Dg Abu. Kami juga menanyakan bagaimana dengan logistik bahan makan dan air karena di sini tidak ada air tawar. Dg Abu mengatakan ia disuplai oleh anak-cucunya. Bahkan bila dalam keadaan terdesak, Dg Abu menyalakan api sebagai tanda bahwa di sini logistik sudah menipis.
[caption id="attachment_330238" align="aligncenter" width="300" caption="Masih Ada Pengunjung Yang Kurang Sadar Tentang Kebersihan dan Membuang Sampah Sembarangan Padahal ada Tempat Sampah yg Tersedia"]
Dan tak terasa sudah sore kami sudah tak sabaran lagi untuk mengelilingi pulau, baik darat maupun dasar lautnya yang banyak terumbu karangnya. Dg Abu menyuruh kami untuk mengisi buku tamunya sambil berpesan jangan kotori pantai dan laut karena ia sudah cukup tua untuk membersihkannya. Dengan berbekal peralatan sederhana yang mendukung kacamata snorkeling, saya menyelami dasar laut yang menakjubkan tapi sayang banyak bulu babi yang bisa melukai kaki karena kebetulan tidak memakai sepatu katak.
[caption id="attachment_330690" align="aligncenter" width="300" caption="Sunshet & Sunrise"]
Puas berkeliling dan nyemplung, saatnya menunggu matahari kembali ke peraduannya untuk memotret matahari terbenam/sunshet, setelah Magrib pengunjung makin ramai karena ada lagi kapal yang datang dengan membawa puluhan orang yang ingin menikmati keindahan Pulau Cengkeh/Cangke. Wisatawan-wisatawan ini tidak saja wisatawan lokal, tapi dari mancanegara pun ada, bahkan ada bule-bule yang membawa keluarga besarnya termasuk yang tua maupun yang anak-anak.
Sambil ditemani cemilan kecil, kami duduk berdua di dermaga kayu bercerita mengenang masa lalu di Gombara, beratapkan langit yang penuh bintang bersanding dengan cahaya rumpon atau bagang di tengah lautan. Suara deru ombak yang beriak berkejaran, angin sepoi-sepoi mengibaskan tubuh membuat waktu tak terasa sudah pukul 10 malam dan saatnya tidur. Keesokan harinya setelah Shubuh, kami melanjutkan berkeliling pulau menghirup udara segar ditemani kicauan burung dan kokok ayam piaraan Dg Abu di pagi hari sambil menunggu matahari terbit/sunrise. Ketika matahari sudah mengintip yang juga tak kalah eksotisnya dengan sunset yang kemarin. Setengah jam kemudian kapalnya Pak Ilyas datang menjemput kami untuk kembali ke daratan yang tentunya pulang membawa kenangan yang cukup berharga, apalagi tentang arti sebuah pelajaran kehidupan cukup sederhana dari Dg Abu dan Dg Mida, tapi bagi kami itu luar biasa.
[caption id="attachment_330239" align="aligncenter" width="300" caption="Sunshet"]
Indonesia kita ini, itu menarik Kawan..
Acchi 02 : 56 PM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H