Di bulan Juni 2011, saya melakukan sebuah perjalanan. Berdua dengan seorang rekan bernama Opic, kami menyusuri jalan, hari demi hari. Ini adalah impian seorang bocah yang baru terlaksana dikala dia dewasa. Dan semua berawal dari dongeng tentang para pejalan.. Tulisan Pembuka Yang Panjang Saya dilahirkan di tengah keluarga sederhana (nama lain dari keluarga bertaraf ekonomi pas pasan). Namun begitu saya bahagia karena memiliki seorang Bapak yang seorang pendongeng dan Almarhumah Ibu yang pandai memasak. Saat saya belum lagi besar, Bapak hobi mendongengkan kisah-kisah perjalanan hidupnya dan kisah perjalanan orang-orang hebat. Yang paling sering Bapak kisahkan adalah jalan hidup meraka yang begitu ingin tahu luasnya dunia. Aneh, Bapak senang sekali bercerita. Padahal sejatinya beliau tidak pernah mengajak saya kemana mana selain hanya lintas alam ke tempat-tempat terdekat. Kelak, saat saya dewasa baru saya tahu, itu semua hanya karena masalah ketiadaan ongkos perjalanan saja. Pantaslah jika saat saya kecil dulu dan mengajukan nama-nama tempat semacam pantai, danau, atau gunung-gunung, Bapak hanya membalas impian saya dengan senyuman. Hmmm.. keadaan ekonomi yang menindas memang harus dihadapi dengan senyuman. Haripun berlalu, saya tumbuh membesar bersama masakan buatan Ibu. Dan inilah cita-cita saya semasa SMA. Lulus sekolah, bekerja untuk mengumpulkan uang, kemudian terbang entah kemana. Yang saya inginkan hanya satu, mewujudkan apa saja yang pernah Bapak dongengkan. dan itu artinya adalah saya akan mengelana sejauh mungkin mengikuti kata hati, agar saya tahu luasnya dunia. Mei 1998. Indonesia sedang bergejolak, tapi saya tidak. Saat itu saya sedang berkelahi dengan EBTANAS (ujian akhir). Setelah semuanya selesai, tiba-tiba hampir setiap orang yang saya temui senang berceloteh seputar dunia mahasiswa. Ya, itu adalah jaman keemasan mahasiswa. Saat itu, siapa yang tidak terinspirasi untuk menjadi seorang mahasiswa? Sayapun larut di dalamnya. Beberapa waktu kemudian, saya yang tadinya berseragam putih abu-abu telah menjadi seorang mahasiswa semester satu di sebuah perguruan tinggi lokal di kota kelahiran saya. Gugur sudah impian saya untuk bekerja mengumpulkan uang lalu terbang menjadi seorang pejalan. Empat semester pertama saya lalui dengan terengah engah. Ini bukan tentang IPK. Nilai saya di empat semester pertama baik-baik saja. Saya hanya merasa tidak nyaman. Gembar gembor kehebatan mahasiswa semakin hari semakin terkikis oleh jadwal kuliah yang menyebalkan. Saya tidak bisa kemana mana. Padahal impian yang dulu terkubur oleh gegap gempita 1998, kini kembali hadir menyeruak. Saya ingin berjalan entah kemana. Syukurlah, semester 5 saya bergabung dengan pencinta alam kampus. Di sini, saya seperti sedang memeluk mimpi. Detik demi detik menghunjam dan kita tak pernah bisa untuk menghentikannya. Sebaliknya, dengan beringasnya sang waktu memanen usia kita. Tiba-tiba saya sudah bisa dibilang dewasa. Tiba-tiba saya sudah akan melangkah ke pelaminan. Tiba-tiba impian lama hadir kembali seperti hendak menghajar ingatan saya. Kemudian, suatu hari di bulan Juni 2011 (sesaat sebelum saya menikah), saya sadar bahwa saya harus melakukannya. Saya hanya punya waktu yang sedikit. Saat nanti saya sudah berkeluarga, impian ini akan menjadi semakin rumit. Rencana Gila Yang Terwujud : Mengalir Jauh Mengayuh BMX Hari ini setahun yang lalu.. Say sedang ada di Kabupaten Sumenep, sebuah kota di Pulau Madura - Jawa Timur. Ya, akhirnya saya benar-benar terbang. Memang tidak jauh, tidak sehebat orang-orang yang berkeliling nusantara atau bahkan dunia. Tapi inilah yang saya inginkan. Sudah bertahun tahun saya menundanya. Mengayuh sepeda kecil BMX mencumbui pesona Pulau Jawa bagian timur.
Saat Tiba di Sumenep
Inilah Kisah Perjalanan Saya Dimulai pada tanggal 3 Juni 2011 sekitar pukul 18.30 WIB. Saat itu saya sedang di rumah (Jember), menikmati secangkir kopi bersama beberapa kawan pencinta alam. Selayaknya pencinta alam yang lain, obrolan kami juga tak jauh-jauh dari yang namanya petualangan. Cerita mengalir begitu saja, mulai dari mendaki, susur sungai, hingga berbagi cerita tentang sepak terjang para petualang yang pernah kami baca di sebuah buku atau blog. Kisah kisah yang kami ceritakan, mengantarkan saya untuk kembali mengingat impian masa kecil. Dulu, ketika saya masih SD (entah kelas berapa) dan ketika saya hanya memiliki sepeda BMX merk tak terkenal, saya sering membayangkan berkelana jauh menggunakan BMX. Dan sekarang, entah mendapat inspirasi dari mana, tiba-tiba keinginan itu muncul kembali dan semakin mengerucut. Saya ingin bmengayuh BMX menuju pulau garam Madura. Menyadari keterdiaman saya, salah seorang dari teman saya bertanya kenapa saya diam. Nah, saat itulah saya mengucapkan apa yang ada di benak. Tak lama kemudian, seorang kawan bernama Opic menimpali ucapan saya, “Ikut Mas..” Permulaan cerita yang menurut orang lain bisa jadi hanya dianggap insidental. Tapi sejatinya itu hanyalah bom waktu. Begitulah awalnya, kisah bulan Juni tahun lalu. Karena saya hanya punya satu sepeda BMX sementara si Opic tidak punya, langkah selanjutnya adalah mencarikan Opic pinjaman BMX. Satu jam kemudian, masalah teratasi. Seorang sahabat bernama Mungki meminjamkan BMX-nya untuk Opic. Berikutnya, kami segera packing. Dan pada pukul sepuluh malam (hari itu juga) kami memulai kayuhan yang pertama. Ohya, masing-masing dari kami hanya mengantongi uang 50 ribu rupiah. Total hanya seratus ribu. Uang itu kami lipat kecil sekali sebelum akhirnya dimasukkan dompet. Berharap uang itu akan digunakan jika benar-benar dibutuhkan. Perjalanan pertama di malam hari tidak sampai mengantarkan saya untuk keluar dari Kabupaten Jember. Kami terdampar di Sekretariat Pencinta Alam WACHANA yang ada di Balung, sebuah desa di Jember Selatan. Esok paginya, sekitar pukul delapan, saya dan Opic kembali melanjutkan perjalanan. Lumajang adalah kota pertama yang berhasil kami kecup. Rute Perjalanan
Jember - Lumajang - Probolinggo - Pasuruan - Sidoarjo - Surabaya - Bangkalan - Sampang - Pamekasan - Sumenep - Situbondo - Bondowoso - dan kembali ke kota kecil Jember.
Saya dan Opic juga sempat mengunjungi dua pulau kecil. Pulau-pulau kecil itu adalah Pulau Mandangin (masuk Kabupaten Sampang - Madura) dan Pulau Talango (masuk Kabupaten Sumenep - Madura). Wisata Kota Paling Indonesia
Lumajang
Probolinggo
Opic dan Suhada (nama BMX-nya), teman seperjalanan saya
Hotel bintang lima bagi seorang pejalan adalah POM bensin. Saya selalu mengingat itu, belajar dari perjalanan-perjalanan kecil sebelumnya. Dan itu terbukti saat saya (dan Opic, rekan seperjalanan) sampai di kota Probolinggo. Ada sebuah POM yang unik, asyik dan sejuk buat berteduh. Sangat sejuk malah, mengingat POM ini ada di jalur terik matahari (kalau siang hari). Menurut salah satu petugas POM, ini adalah milik keluarga AKAS. Terima kasih, saya pernah sangat nyaman berteduh di sana.
Pasuruan
Sidoarjo
Di atas jembatan penyeberangan Bungurasih
Langit Sidoarjo indah di malam hari. Sebentar-sebentar ada kapal terbang yang lewat, haha.. Hanya itu yang bisa saya ceritakan. Malam di Sidoarjo saya lewati hanya dengan bertemu Yopi (seorang teman pencinta alam), makan sebanyak banyaknya, untuk kemudian tidur. Kali ini saya tidur nyenyak sekali. Matur tengkyu Yopi, atas kasur empuk, makan malam gratis, dan persahabatannya.
Surabaya
Opic berpose di depan gerbang Suramadu
Dari sekian banyak cerita saat saya dan Opic membelah Surabaya, ada satu yang sulit terlupakan. Itu adalah ketika saya dan Opic telah sampai di gerbang jembatan Suramadu dan kami tidak diperbolehkan untuk menyeberang dengan alasan yang masuk akal. Angin kencang. Ya, saya tahu itu benar. Tapi saya begitu menginginkannya, menyeberangi Suramadu dengan BMX. Pada akhirnya saya dan Opic memang tidak bisa memaksa. Segala argumentasi yang coba saya keluarkan pada seorang petugas berseragam Dishub (dan seorang Bapak Polantas) hanya ditanggapi dengan senyum ramah. Hmmm, saya jadi teringat Bapak saya. ketika kecil dulu, saya saya ngeyel mengajaknya bertamasya ke pantai, beliau hanya tersenyum untuk kemudian mengajak saya berjalan jalan ke pematang sawah belakang rumah. Endingnya bisa ditebak, saya dan Opic kembali mengayuh menuju pelabuhan perak. Jauh, lelah dan di siang yang terik. Tapi semuanya kembali terlihat indah manakala kami sudah ada di atas kapal yang menyeberang menuju pulau garam. Beberapa kemudian, kami benar benar mengecup tanah Madura. Horeee...
Pulau Garam Madura
Opic berpose di tanah Madura, depan pelabuhan Kamal
Madura, pulau yang eksotis. Besarnya kurang lebih 5.250 km persegi, dengan empat Kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep). Tentu saja saya berpose di setiap perbatasan kotanya. Itu memang hobi saya, hehe.. Setiap perbatasan kota menawarkan keindahannya sendiri, selain juga menawarkan kerinduan pada kota sebelumnya. Dengan kata lain, perbatasan adalah pintu gerbang menuju budaya yang berbeda, logat yang berbeda, makanan yang berbeda, dan irama kehidupan yang tak lagi serupa. Tidak setiap tempat wisata sempat saya kunjungi. Namun begitu, saya bahagia bisa bercumbu dengan dengan pulau garam dalam tempo yang lambat. Bagi saya, Madura terlihat lebih anggun manakala dinikmati di atas sadel BMX. Keramahan Bangkalan, eksotisnya Sampang, manisnya api tak kunjung padam Pamekasan, dan cantiknya Sumenep, semua masih terekam di ingatan. Seakan akan kenangan itu direkatkan oleh setiap peluh yang mengucur. Ketika saya mengunjungi Pulau Mandangin, jujur saja saya terkesiap. Sebelumnya, manalah saya tahu kalau di Indonesia ini ada sebuah pulau bernama Mandangin?
Pulau Mandangin
Pulau Talango
Di atas sampan kecil
Esoknya saya dan Opic melangkah pulang. Menyeberang menuju Pelabuhan Kalianget, menikmati sensasi perahu kecil bersama penduduk setempat. Penyeberangan yang singkat, hanya hitungan menit, tapi alangkah menyenangkannya.
Sesampainya di Pelabuhan Kalianget, saya dan Opic (dan dua BMX tentunya) langsung ikut Kapal kartika menuju Pelabuhan Jangkar - Kabupaten Situbondo. Kali ini kapalnya besar, dan saya ada di dalamnya. Butuh waktu kurang lebih 5 jam untuk menuju Jangkar.
Saya dan Opic
Di atas Kapal Kartika yang menuju Pelabuhan Jangkar
Dari Pelabuhan Jangkar (sekitar pukul satu siang), saya dan Opic kembali mengayuh. Masih ada dua kota lagi yang harus kami susuri, Situbondo dan Bondowoso, sebelum akhirnya kembali menghirup udara kota kecil Jember.
Seharusnya sangat melelahkan, melihat kondisi jalan yang lebih banyak tanjakannya daripada bonus turunannya. Tapi orang yang saya rindukan, wajahnya selalu berkelebat di kepala. Itulah doping terindah untuk para pejalan.
Penutup
Sekarang saya tahu, kenapa dulu waktu saya masih bocah, Bapak senang menjejali saya dengan dongeng para pejalan. Ternyata dongeng adalah juga sumber kekuatan untuk menggapai mimpi. Seakan akan Bapak berkata, "jika kau ingin menjadi seorang kompasianer yang baik, maka mengelana dan menulislah." Dan saya pun memahatnya. Menjadikannya sebuah kenangan yang selezat masakan Almarhumah Ibu. Sahabat kompasianer, mohon maaf, tulisan ini sangat panjang. Saya sudah berusaha meringkasnya tapi tidak berhasil. Sebelum berakhir, alangkah baiknya jika kita menyepakati yang satu ini. Bahwa perjalanan adalah ketika kaki kita telah berayun dari satu titik ke titik yang lain. Semoga kita tidak terjebak dengan kata "jauh" karena itu seringkali memenjara, menyebabkan kita (pada akhirnya) tidak pernah kemana mana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI