Mohon tunggu...
RZ Hakim
RZ Hakim Mohon Tunggu... lainnya -

Rakyat biasa yang senang menulis. Kini tinggal di Kalisat, kabupaten Jember.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Nostalgia Perjalanan Setahun Yang Lalu

13 Juni 2012   07:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bulan Juni 2011, saya melakukan sebuah perjalanan. Berdua dengan seorang rekan bernama Opic, kami menyusuri jalan, hari demi hari. Ini adalah impian seorang bocah yang baru terlaksana dikala dia dewasa. Dan semua berawal dari dongeng tentang para pejalan.. Tulisan Pembuka Yang Panjang Saya dilahirkan di tengah keluarga sederhana (nama lain dari keluarga bertaraf ekonomi pas pasan). Namun begitu saya bahagia karena memiliki seorang Bapak yang seorang pendongeng dan Almarhumah Ibu yang pandai memasak. Saat saya belum lagi besar, Bapak hobi mendongengkan kisah-kisah perjalanan hidupnya dan kisah perjalanan orang-orang hebat. Yang paling sering Bapak kisahkan adalah jalan hidup meraka yang begitu ingin tahu luasnya dunia. Aneh, Bapak senang sekali bercerita. Padahal sejatinya beliau tidak pernah mengajak saya kemana mana selain hanya lintas alam ke tempat-tempat terdekat. Kelak, saat saya dewasa baru saya tahu, itu semua hanya karena masalah ketiadaan ongkos perjalanan saja. Pantaslah jika saat saya kecil dulu dan mengajukan nama-nama tempat semacam pantai, danau, atau gunung-gunung, Bapak hanya membalas impian saya dengan senyuman. Hmmm.. keadaan ekonomi yang menindas memang harus dihadapi dengan senyuman. Haripun berlalu, saya tumbuh membesar bersama masakan buatan Ibu. Dan inilah cita-cita saya semasa SMA. Lulus sekolah, bekerja untuk mengumpulkan uang, kemudian terbang entah kemana. Yang saya inginkan hanya satu, mewujudkan apa saja yang pernah Bapak dongengkan. dan itu artinya adalah saya akan mengelana sejauh mungkin mengikuti kata hati, agar saya tahu luasnya dunia. Mei 1998. Indonesia sedang bergejolak, tapi saya tidak. Saat itu saya sedang berkelahi dengan EBTANAS (ujian akhir). Setelah semuanya selesai, tiba-tiba hampir setiap orang yang saya temui senang berceloteh seputar dunia mahasiswa. Ya, itu adalah jaman keemasan mahasiswa. Saat itu, siapa yang tidak terinspirasi untuk menjadi seorang mahasiswa? Sayapun larut di dalamnya. Beberapa waktu kemudian, saya yang tadinya berseragam putih abu-abu telah menjadi seorang mahasiswa semester satu di sebuah perguruan tinggi lokal di kota kelahiran saya. Gugur sudah impian saya untuk bekerja mengumpulkan uang lalu terbang menjadi seorang pejalan. Empat semester pertama saya lalui dengan terengah engah. Ini bukan tentang IPK. Nilai saya di empat semester pertama baik-baik saja. Saya hanya merasa tidak nyaman. Gembar gembor kehebatan mahasiswa semakin hari semakin terkikis oleh jadwal kuliah yang menyebalkan. Saya tidak bisa kemana mana. Padahal impian yang dulu terkubur oleh gegap gempita 1998, kini kembali hadir menyeruak. Saya ingin berjalan entah kemana. Syukurlah, semester 5 saya bergabung dengan pencinta alam kampus. Di sini, saya seperti sedang memeluk mimpi. Detik demi detik menghunjam dan kita tak pernah bisa untuk menghentikannya. Sebaliknya, dengan beringasnya sang waktu memanen usia kita. Tiba-tiba saya sudah bisa dibilang dewasa. Tiba-tiba saya sudah akan melangkah ke pelaminan. Tiba-tiba impian lama hadir kembali seperti hendak menghajar ingatan saya. Kemudian, suatu hari di bulan Juni 2011 (sesaat sebelum saya menikah), saya sadar bahwa saya harus melakukannya. Saya hanya punya waktu yang sedikit. Saat nanti saya sudah berkeluarga, impian ini akan menjadi semakin rumit. Rencana Gila Yang Terwujud : Mengalir Jauh Mengayuh BMX Hari ini setahun yang lalu.. Say sedang ada di Kabupaten Sumenep, sebuah kota di Pulau Madura - Jawa Timur. Ya, akhirnya saya benar-benar terbang. Memang tidak jauh, tidak sehebat orang-orang yang berkeliling nusantara atau bahkan dunia. Tapi inilah yang saya inginkan. Sudah bertahun tahun saya menundanya. Mengayuh sepeda kecil BMX mencumbui pesona Pulau Jawa bagian timur.

Saat Tiba di Sumenep

Inilah Kisah Perjalanan Saya Dimulai pada tanggal 3 Juni 2011 sekitar pukul 18.30 WIB. Saat itu saya sedang di rumah (Jember), menikmati secangkir kopi bersama beberapa kawan pencinta alam. Selayaknya pencinta alam yang lain, obrolan kami juga tak jauh-jauh dari yang namanya petualangan. Cerita mengalir begitu saja, mulai dari mendaki, susur sungai, hingga berbagi cerita tentang sepak terjang para petualang yang pernah kami baca di sebuah buku atau blog. Kisah kisah yang kami ceritakan, mengantarkan saya untuk kembali mengingat impian masa kecil. Dulu, ketika saya masih SD (entah kelas berapa) dan ketika saya hanya memiliki sepeda BMX merk tak terkenal, saya sering membayangkan berkelana jauh menggunakan BMX. Dan sekarang, entah mendapat inspirasi dari mana, tiba-tiba keinginan itu muncul kembali dan semakin mengerucut. Saya ingin bmengayuh BMX menuju pulau garam Madura. Menyadari keterdiaman saya, salah seorang dari teman saya bertanya kenapa saya diam. Nah, saat itulah saya mengucapkan apa yang ada di benak. Tak lama kemudian, seorang kawan bernama Opic menimpali ucapan saya, “Ikut Mas..” Permulaan cerita yang menurut orang lain bisa jadi hanya dianggap insidental. Tapi sejatinya itu hanyalah bom waktu. Begitulah awalnya, kisah bulan Juni tahun lalu. Karena saya hanya punya satu sepeda BMX sementara si Opic tidak punya, langkah selanjutnya adalah mencarikan Opic pinjaman BMX. Satu jam kemudian, masalah teratasi. Seorang sahabat bernama Mungki meminjamkan BMX-nya untuk Opic. Berikutnya, kami segera packing. Dan pada pukul sepuluh malam (hari itu juga) kami memulai kayuhan yang pertama. Ohya, masing-masing dari kami hanya mengantongi uang 50 ribu rupiah. Total hanya seratus ribu. Uang itu kami lipat kecil sekali sebelum akhirnya dimasukkan dompet. Berharap uang itu akan digunakan jika benar-benar dibutuhkan. Perjalanan pertama di malam hari tidak sampai mengantarkan saya untuk keluar dari Kabupaten Jember. Kami terdampar di Sekretariat Pencinta Alam WACHANA yang ada di Balung, sebuah desa di Jember Selatan. Esok paginya, sekitar pukul delapan, saya dan Opic kembali melanjutkan perjalanan. Lumajang adalah kota pertama yang berhasil kami kecup. Rute Perjalanan

Jember - Lumajang - Probolinggo - Pasuruan - Sidoarjo - Surabaya - Bangkalan - Sampang - Pamekasan - Sumenep - Situbondo - Bondowoso - dan kembali ke kota kecil Jember.

Saya dan Opic juga sempat mengunjungi dua pulau kecil. Pulau-pulau kecil itu  adalah Pulau Mandangin (masuk Kabupaten Sampang - Madura) dan Pulau Talango (masuk Kabupaten Sumenep - Madura). Wisata Kota Paling Indonesia

Lumajang

1339503283840213988
1339503283840213988
Sahabat kompasianer, apa yang anda tahu tentang Kabupaten Lumajang? Konon kabarnya, kota yang terkenal dengan julukan kota pisang ini dulunya bernama Lamajang. Ah, entahlah.. saya tidak berani memastikan. saya dapatkan kisah itu di sebuah warung kopi dekat POM bensin. Mereka juga sempat bertutur tentang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharsa. Itu tertulis di sebuah prasasti dan saya tidak tahu artinya, hehe.. maap. Lumajang memang penuh peninggalan berupa prasasti. Yang paling dikenal oleh pendaki dan para pencinta alam Jawa Timur adalah prasasti Ranu Gumbolo. Begitulah sekelumit tentang Lumajang, kota yang sangat tua dan berhawa sejuk.

Probolinggo

13395036501683914046
13395036501683914046

Opic dan Suhada (nama BMX-nya), teman seperjalanan saya

Hotel bintang lima bagi seorang pejalan adalah POM bensin. Saya selalu mengingat itu, belajar dari perjalanan-perjalanan kecil sebelumnya. Dan itu terbukti saat saya (dan Opic, rekan seperjalanan) sampai di kota Probolinggo. Ada sebuah POM yang unik, asyik dan sejuk buat berteduh. Sangat sejuk malah, mengingat POM ini ada di jalur terik matahari (kalau siang hari). Menurut salah satu petugas POM, ini adalah milik keluarga AKAS. Terima kasih, saya pernah sangat nyaman berteduh di sana.

Pasuruan

13395044972055402210
13395044972055402210
Di kota inilah awal mula saya drop. Jalan Pasuruan yang memanjang seperti tak pernah habis saya lewati. Padahal saya start sejak pagi hari. Berkali kali istirahat hanya membuat saya semakin merasa lelah. Saat matahari tepat ada di atas kepala, saat itulah saya hampir benar-benar menyerah. Rencananya, mencari tempat berteduh (entah gardu entah POM bensin), lalu tidur sepuas puasnya. Tapi rencana itu berubah manakala ada sebuah mobil pick up warna hitam menepi dan mengajak kami bergabung. Alhamdulillaaaah.. Tuhan memang Maha Penyayang. Foto di atas diambil saat saya dan Opic ada di gerbang tol Gempol yang tak terpakai. Dari sana saya mengambil jalan pintas, seperti yang dikatakan penduduk setempat. Ternyata jalan itu mengantarkan saya untuk memutari tebing semburan lumpur Lapindo. Selepas maghrib saya baru bisa menggapai sebuah papan nama bertuliskan Sidoarjo. Foto-fotonya gelap, maap.

Sidoarjo

1339526013399695206
1339526013399695206

Di atas jembatan penyeberangan Bungurasih

Langit Sidoarjo indah di malam hari. Sebentar-sebentar ada kapal terbang yang lewat, haha.. Hanya itu yang bisa saya ceritakan. Malam di Sidoarjo saya lewati hanya dengan bertemu Yopi (seorang teman pencinta alam), makan sebanyak banyaknya, untuk kemudian tidur. Kali ini saya tidur nyenyak sekali. Matur tengkyu Yopi, atas kasur empuk, makan malam gratis, dan persahabatannya.

Surabaya

13395272942111175690
13395272942111175690

Opic berpose di depan gerbang Suramadu

Dari sekian banyak cerita saat saya dan Opic membelah Surabaya, ada satu yang sulit terlupakan. Itu adalah ketika saya dan Opic telah sampai di gerbang jembatan Suramadu dan kami tidak diperbolehkan untuk menyeberang dengan alasan yang masuk akal. Angin kencang. Ya, saya tahu itu benar. Tapi saya begitu menginginkannya, menyeberangi Suramadu dengan BMX. Pada akhirnya saya dan Opic memang tidak bisa memaksa. Segala argumentasi yang coba saya keluarkan pada seorang petugas berseragam Dishub (dan seorang Bapak Polantas) hanya ditanggapi dengan senyum ramah. Hmmm, saya jadi teringat Bapak saya. ketika kecil dulu, saya saya ngeyel mengajaknya bertamasya ke pantai, beliau hanya tersenyum untuk kemudian mengajak saya berjalan jalan ke pematang sawah belakang rumah. Endingnya bisa ditebak, saya dan Opic kembali mengayuh menuju pelabuhan perak. Jauh, lelah dan di siang yang terik. Tapi semuanya kembali terlihat indah manakala kami sudah ada di atas kapal yang menyeberang menuju pulau garam. Beberapa kemudian, kami benar benar mengecup tanah Madura. Horeee...

Pulau Garam Madura

1339527933336703315
1339527933336703315

Opic berpose di tanah Madura, depan pelabuhan Kamal

Madura, pulau yang eksotis. Besarnya kurang lebih 5.250 km persegi, dengan empat Kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep). Tentu saja saya berpose di setiap perbatasan kotanya. Itu memang hobi saya, hehe.. Setiap perbatasan kota menawarkan keindahannya sendiri, selain juga menawarkan kerinduan pada kota sebelumnya. Dengan kata lain, perbatasan adalah pintu gerbang menuju budaya yang berbeda, logat yang berbeda, makanan yang berbeda, dan irama kehidupan yang tak lagi serupa. Tidak setiap tempat wisata sempat saya kunjungi. Namun begitu, saya bahagia bisa bercumbu dengan dengan pulau garam dalam tempo yang lambat. Bagi saya, Madura terlihat lebih anggun manakala dinikmati di atas sadel BMX. Keramahan Bangkalan, eksotisnya Sampang, manisnya api tak kunjung padam Pamekasan, dan cantiknya Sumenep, semua masih terekam di ingatan. Seakan akan kenangan itu direkatkan oleh setiap peluh yang mengucur. Ketika saya mengunjungi Pulau Mandangin, jujur saja saya terkesiap. Sebelumnya, manalah saya tahu kalau di Indonesia ini ada sebuah pulau bernama Mandangin?

Pulau Mandangin

1339530425231386833
1339530425231386833
Mandangin adalah pulau yang kecil, masuk Kabupaten Sampang. Luasnya kurang lebih hanya 2 Km persegi atau bisa jadi lebih kecil dari itu. Hebatnya, pulau Mandangin berpenduduk padat (mengingat kecilnya pulau tersebut). Oleh masyarakat Sampang, Mandangin lebih dikenal sebagai pulau yang dulu dijadikan pulau buangan untuk penderita kusta. Wew, ini juga saya baru tahu sesampainya di sana. Dari masyarakat setempat saya lebih mengenal Mandangin. Katanya, pada Orde Baru Mandangin dinyatakan sebagai pulau buangan penderita kusta. Ini untuk mempermudah pengobatan dan agar kusta tidak mudah menyebar. Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi.

Pulau Talango

13395309341145281705
13395309341145281705
Pulau kecil kedua yang sempat saya kunjungi adalah Pulau Talango, di ujung Kabupaten Sumenep. Ini adalah persinggahan terakhir saya selama menyusuri Madura. Ya, saya bersyukur bisa menikmati Mandangin, api tak kunjung padam, goa lebar, air terjun Pamekasan yang saya lupa namanya, Keraton dan Museum Sumenep, Pantai Lombang, sebuah pesantren, dan beberapa lagi. Memang, BMX membuat perjalanan saya terlihat lambat dan melelahkan. Tapi ternyata tidak juga. Lambat hanyalah masalah waktu kita sampai di tujuan. Dan saya tahu bagaimana caranya bersenang senang meski selelah apapun. Cerita selanjutnya.. Saya menerima sebuah kabar, datangnya dari kota kecil Jember. Kabar yang sangat panjang jika saya jelaskan di sini. Intinya, dalam beberapa hari ke depan ada agenda yang setia menunggu. Ah, kabar ini hanya mengingatkan saya pada sebuah kata bernama 'pulang.' Menuju Sebuah Kata Bernama Pulang

Di atas sampan kecil

13395389492108698361
13395389492108698361
Dari Pelabuhan Talango Menuju Pelabuhan Kalianget

Esoknya saya dan Opic melangkah pulang. Menyeberang menuju Pelabuhan Kalianget, menikmati sensasi perahu kecil bersama penduduk setempat. Penyeberangan yang singkat, hanya hitungan menit, tapi alangkah menyenangkannya.

Sesampainya di Pelabuhan Kalianget, saya dan Opic (dan dua BMX tentunya) langsung ikut Kapal kartika menuju Pelabuhan Jangkar - Kabupaten Situbondo. Kali ini kapalnya besar, dan saya ada di dalamnya. Butuh waktu kurang lebih 5 jam untuk menuju Jangkar.

Saya dan Opic

13395395912143178135
13395395912143178135

Di atas Kapal Kartika yang menuju Pelabuhan Jangkar

Dari Pelabuhan Jangkar (sekitar pukul satu siang), saya dan Opic kembali mengayuh. Masih ada dua kota lagi yang harus kami susuri, Situbondo dan Bondowoso, sebelum akhirnya kembali menghirup udara kota kecil Jember.

Seharusnya sangat melelahkan, melihat kondisi jalan yang lebih banyak tanjakannya daripada bonus turunannya. Tapi orang yang saya rindukan, wajahnya selalu berkelebat di kepala. Itulah doping  terindah untuk para pejalan.

Penutup

Sekarang saya tahu, kenapa dulu waktu saya masih bocah, Bapak senang menjejali saya dengan dongeng para pejalan. Ternyata dongeng adalah juga sumber kekuatan untuk menggapai mimpi. Seakan akan Bapak berkata, "jika kau ingin menjadi seorang kompasianer yang baik, maka mengelana dan menulislah." Dan saya pun memahatnya. Menjadikannya sebuah kenangan yang selezat masakan Almarhumah Ibu. Sahabat kompasianer, mohon maaf, tulisan ini sangat panjang. Saya sudah berusaha meringkasnya tapi tidak berhasil. Sebelum berakhir, alangkah baiknya jika kita menyepakati yang satu ini. Bahwa perjalanan adalah ketika kaki kita telah berayun dari satu titik ke titik yang lain. Semoga kita tidak terjebak dengan kata "jauh" karena itu seringkali memenjara, menyebabkan kita (pada akhirnya) tidak pernah kemana mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun