Mohon tunggu...
RZ Hakim
RZ Hakim Mohon Tunggu... lainnya -

Rakyat biasa yang senang menulis. Kini tinggal di Kalisat, kabupaten Jember.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tumpang Pitu

4 Februari 2012   02:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:05 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Detik berikutnya, Mas Adi lebih banyak diam. Itu membuat saya juga ikut ikutan diam, tapi tidak benar benar diam. Saya sedang merenungkan sesuatu.

Ingatan saya kembali pada pertengahan tahun 1994. Saat itu saya SMP kelas dua dan pertama kalinya dalam hidup, saya membeli kaset (pita). Ya, saya sedang kesengsem dengan suara serak Mayangsari di album rasa cintaku. Tapi bukan ini yang hendak saya ceritakan.

Sepulang dari toko Melody  Jember (tempat saya membeli kaset), terdengar kabar bahwa ada bencana tsunami di Banyuwangi. Di tahun tersebut, generasi saya masih asing dengan kata tsunami. Jadi saya biasa biasa saja mendengarnya. Berbeda dengan saya, Ibu selalu memantau perkembangan lewat RRI. Mungkin karena Ibu saya lahir dan besar di Banyuwangi, meskipun bukan dari Kecamatan Pesanggaran.

Ibu pernah bercerita, dia punya teman di sana. Orang tua temannya adalah seorang nelayan. Dari keluarga temannya inilah Ibu jadi mengerti bahwa Gunung Tumpang Pitu dianggap sebagai penahan laju angin dan sebagai penanda nelayan setempat manakala mereka hendak pulang.

Kelak saat saya besar, saya mengamini kata kata beliau. Bahkan beberapa waktu terakhir saya jadi semakin akrab dengan Tumpang Pitu. Ini semua gara gara beberapa teman pencinta alam senang mendiskusikan perihal rencana eksploitasi tambang emas Tumpang Pitu.

Dimana mana yang namanya eksploitasi tambang emas tidak akan jauh dari yang namanya sianida. Padahal selama proses pelepasan sianida, harus disertai dengan bahan kimia yang lain semacam arsenik, merkuri, kadmium timah, dan entah apalagi namanya. Sianida sudah cukup menakutkan bagi saya. Bisa jadi pekerja tambangnya juga punya perasaan yang sama saat mereka harus melakukan proses ekstraksi tangki (pencucian tumpukan). Sianida seukuran biji kacang ijo saja sudah cukup mengerikan, apalagi yang berjuta juta ton.

Kabar buruknya, bukan tambang emas namanya jika tanpa sianida. Kabar buruk yang lain, tambang emas menyedot berliter liter air setiap harinya. Kabar yang lebih buruk lagi, limbah tailing penuh racun ini perharinya ada ribuan ton. Andai nanti eksploitasi direstui, kemana lagi IMN akan membuang tailing jika tidak ke laut Pancer? Bukan hanya mahluk bawah air yang teracuni, ini juga tentang nasib banyak orang.

Ah, ternyata usai sudah Mas Adi memangkas rambut saya. Dia menyelamatkan saya dari renungan yang menakutkan.

Entah mendapat kekuatan darimana, setelah membayar ongkos pangkas rambut, masih sempat sempatnya saya bertanya tentang keseriusan Mas Adi menjadi penambang tradisional.

"Oalah Maaaas.. Ora. Tidak kok, tadi saya cuma bercanda"

Ah, Mas Adi. Gara gara obrolannya, ingatan saya akan Tumpang Pitu tersegarkan kembali. Tumpang Pitu butuh cinta. Meskipun hanya segenggam, akan saya berikan cinta ini. Cukuplah Tumpang Pitu tetap menjadi emas hijau saja, bagi saya itu lebih indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun