Mohon tunggu...
RZ Hakim
RZ Hakim Mohon Tunggu... lainnya -

Rakyat biasa yang senang menulis. Kini tinggal di Kalisat, kabupaten Jember.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tumpang Pitu

4 Februari 2012   02:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:05 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mau potong rambut model apa Mas?"

Itu sapaan pertama dari Mas Adi, tukang cukur langganan saya di Jember. Setelah saya katakan bahwa saya ingin model yang seperti biasanya saja, barulah acara gunting menggunting dimulai.

Mas Adi adalah pribadi yang hangat. Wajar jika selama melaksanakan tugasnya, dia sesekali mengajak saya berbincang. Hanya seputar masalah keseharian, tapi cukuplah membuat kami akrab. Yang membuat saya heran,  kali ini temanya berbeda. Tanpa saya sangka, tiba tiba Mas Adi nyeletuk tentang rencana eksploitasi tambang emas Tumpang Pitu.

"Waduuuh, ngeri kalau lihat Tumpang Pitu sekarang.."

Mas Adi pun mulai bercerita. Tentang bagaimana reaksi masyarakat sekitar tambang, tentang orang orang yang berdatangan ke Dusun Pancer Banyuwangi, dan masih banyak lagi. Mereka sengaja datang untuk turut menambang secara tradisional.

Selama Mas Adi bercerita, bisa saya tangkap adanya keresahan di raut wajahnya. Ya, cermin di depan saya terlalu besar untuk hanya sekedar memandang mimik muka Mas Adi.

Hmmm, kira kira apa ya yang diresahkan Mas Adi? Apakah sama dengan keresahan saya? Ah ternyata tidak. Bahkan berlawanan. Di luar perkiraan saya, Mas Adi menyimpan hasrat untuk turut serta mengayak tanah di sungai Gonggo (lembah Gunung Tumpang Pitu Kecamatan Pesanggaran). Lho, kenapa tadi dia bilang ngeri?

"Enak kan Mas, tinggal ngayak dapat emas. Siapa yang nggak mau emas?", begitu kata Mas Adi dengan bahasa jawanya yang kental. Lalu saya tanyakan ke dia, kenapa kok tidak berangkat saja? Ternyata ada yang ditakutkan olehnya. Yang pertama, dia takut ditangkap oleh petugas. Dan yang berikutnya, Mas Adi takut kualat. Menurutnya, Sungai Gonggo adalah tempat yang sangat angker. Saya tersenyum simpul mendengar alasan yang kedua. Dalam hati saya membatin, andai saja PT INDO MULTI NIAGA termakan oleh mitos pro kelestarian alam ini, pasti ceritanya akan berbeda.

"Menangkap penambang tradisional itu mudah kok Mas Adi. Tinggal dilabeli 'liar' atau 'masuk tanpa ijin' maka urusan sudah selesai", saya mencoba nimpali omongannya. Siapa tahu dia menjadi semakin tak bernyali. Kalau sudah begitu, saya akan menemukan celah untuk menyampaikan pendapat.

Lagi lagi dugaan saya meleset. Bukannya mengangguk setuju, Mas Adi malah bilang, "Itu urusan kecil, kan masih bisa 'mlipir' lewat pantai Lampon. Di sana penjagaannya longgar kok"

Ah iya, saya melupakan satu hal. Manusia kalau sudah menginginkan sesuatu (yang seperti itu), apapun bisa diterjangnya. Sama seperti PT IMN, mudah bagi mereka untuk menancapkan kuku kuku tajam. Bahkan saat mereka menerima kuasa pertambangan eksplorasi (sebelum eksploitasi), Banyuwangi sedang menggencarkan program Ijo Royo Royo. Kalau tidak salah, itu terjadi di tahun 2007.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun